Move On?

1.9K 109 0
                                    


"Minggir, nggak!" Marsha meninggikan suara, khas anak manja seperti selama ini.

"Oke! Oke!" Danu melirik spion sekilas, lalu menepikan mobil tak jauh dari sebuah minimarket berlogo A.

Setelah mobil berhenti sempurna, Marsha melepas sabuk pengaman, lalu beringsut ke arah Danu. Ia melepas dasi yang melingkar di leher lelaki itu, membuangnya ke sembarang arah. Tak hanya itu, ia pun melepas paksa jas yang dikenakan Danu dan membuang benda itu ke jok belakang.

Sementara itu, Danu hanya pasrah, tak menyangka akan diperlakukan seperti boneka. Ia juga menahan napas ketika beberapa kali wajahnya berhadapan dengan bagian depan tubuh Marsha karena gadis itu nyaris duduk di pangkuannya.

Aroma manis parfum gadis itu membuat pikirannya melayang entah ke mana, mungkin berkeliling dunia. Dunia mereka berdua.

"Aku tuh sebel tiap jalan sama kamu diliatin orang mulu. Mata mereka hampir copot, dipikir aku ini sugar baby apa!" Marsha masih mengomel sambil menggulung lengan kemeja yang dikenakan Danu.

Selesai dengan itu, Marsha kembali ke atas, lagi-lagi nyaris duduk di pangkuan Danu. Ia mengubah tatanan rambut yang semula rapi tersisir ke belakang, menjadi setengah acak-acakan.

"Nah! Udah. Kalo gini kan cakep!" Marsha menepuk-nepuk pipi Danu, tampak puas dengan hasil kerjanya.

Tak kuasa menahan gemas, kini Danu melepas sabuk pengaman, dan membingkai bahu sang kekasih.

"Eh, m-mau ngapain?" Marsha yang terkejut otomatis memundurkan kepala, sampai gerakannya menghindar terhenti karena membentur sandaran jok.

Danu melayangkan tatap mematikan pada gadis di hadapan. "Kamu udah selesai, 'kan? Sekarang giliran aku."

Marsha terbelalak. "M-maksud kamu apa--"
Tak selesai kalimat itu, sebab Danu terlanjur merunduk, melabuhkan sesuatu yang tak pernah diduga oleh Marsha.

Untuk sejenak gadis itu terbelalak, sampai kemudian hal lembut dan manis yang menyentuh bibirnya membuat ia memejam.
**

"Hai, Sayang. Gimana kuliah kamu hari ini?"

Vania menyapa ketika melihat putrinya pulang malam ini. Terlalu larut sebenarnya untuk jam belajar, tetapi ia tak ingin membahas apa pun. Marsha yang kembali ceria saja sudah cukup baginya.

"Ng ... biasa aja sih, Ma." Marsha menjawab tanpa ekspresi berarti. Ia berjalan ke arah rak sepatu di sisi kiri pintu masuk, lalu mengganti alas kaki dengan sendal bulu bermotif boneka sapi.

Vania menghela napas lega. Setidaknya, ia merasa bahwa Marsha sudah jauh lebih baik dalam dua bulan belakangan. Ia sempat takut setengah mati ketika membayangkan akan kehilangan Marsha, satu-satunya harta tak ternilai yang ia miliki.

Sebagai orang tua tunggal, Vania bekerja amat keras selama ini. Sebab ia sadar, bahwa menyajikan masa depan baik adalah tanggung jawabnya sebagai ibu. Kesalahan di masa lalu membuat ia tak memiliki tempat bergantung dan harus berjuang sendiri. Ia juga ingin memberi bukti pada dunia, bahwa hina tak selamanya hina, dan ia berhak hidup layak setelah menebus kesalahan.

Bukan tanpa alasan Vania hidup terasing dari keluarga. Hamil saat baru menginjak usia 18 tahun membuat ia dianggap sebagai anak yang mencoreng aib untuk keluarga.

Kala itu, tepat setelah pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Atas, Vania dinikahkan dengan kekasih yang menghamilinya. Sayang beribu sayang, pria tempat ia mencurahkan segalanya itu kabur hanya berselang beberapa saat saja setelah mengucap akad.

Vania dan keluarga telah mencari keberadaan lelaki itu, tetapi nihil. Ayah dari bayi yang ia kandung itu menghilang bak ditelan bumi. Tak hanya itu, seperti siasat yang telah direncanakan dengan baik, rumah mertua Vania pun kosong, bak hunian berhantu. Mereka semua pergi tanpa menyisakan petunjuk apa pun.

Pernikahan yang diharap akan membebaskannya dari rasa malu justru membuat Vania terpuruk. Siksaan fisik dan mental dari keluarga ia terima dengan derai air mata tak berkesudahan. Sesal dan mengiba pada takdir hanya percuma, sebab ia memang telah melakukan kesalahan amat fatal. Berserah pada lelaki tak bertanggung jawab, merusak hidupnya lahir batin.

Tak mau dianggap menorehkan aib berkepanjangan, Vania memutuskan kabur dari rumah di tengah malam buta, pada batas kesanggupannya untuk bertahan. Ia berpikir itu adalah jalan terbaik selain mati. Sebab saat itu, sebagai calon ibu, ia sadar ada nyawa tak berdosa yang harus ia kasihi.

Berbekal ijazah SMA, Vania mengadu nasib ke kota metropolitan. Perhiasan yang ia terima sebagai mas kawin habis, sekadar untuk bertahan hidup di kejamnya ibu kota. Tak bisa dijabarkan bagaimana kehidupan menempa Vania, sampai ia bertemu keluarga baik.

Awalnya, Vania tak mau menerima bantuan. Akan tetapi, takut melalui persalinan seorang diri membuat ia menurut, bekerja sebagai guru les di rumah seorang keluarga kaya yang baik itu. Kemudian, setelah memiliki bekal yang cukup, ia keluar dari rumah yang memberinya kehangatan keluarga itu, lagi-lagi berjuang menaklukkan kerasnya ibu kota.

Apa saja dilakoni Vania untuk menyambung hidup diri dan anaknya. Lalu, ia menembus batasan, menerima tawaran menjadi seorang broker properti, meski harus menyamarkan identitas. Mengaku gadis, padahal ada bayi yang menantinya di rumah kontrakan. Bayi yang ia percayakan pada pengasuh, dalam segala keterbatasan.

Lalu, melihat Marsha sekarang, ia merasa dilempar ke masa lalu. Saat ia terpuruk karena dihantam banyak penghakiman, saat ia menginginkan pelukan. Namun, hangat itu tak ia dapatkan dari keluarga, melainkan hujatan dan caci-maki semata. Bahkan, ia mendapat kalimat-kalimat demikian tajam dari orang terdekat yang harusnya memberi semangat.

Oleh karena itu, saat Marsha nyaris kehilangan nyawa, Vania memutuskan mendampingi sampai kondisi psikis putrinya sembuh. Marsha hanya memilikinya, dan ia tak ingin sang putri merasa sendiri.

Vania tahu, jika perhatiannya ini terlambat. Sibuk mengejar materi agar bisa hidup mapan membuat ia lupa akan tanggung jawab sebagai ibu. Bahwa anak yang ia lahirkan itu tak hanya membutuhkan uang, tapi juga kasih sayang.

"Makan dulu, yuk. Mama nungguin kamu loh." Vania berkata sembari menarik kursi, sebagai isyarat agar Marsha duduk di sana.

"Yah ... tapi aku udah makan, Ma." Marsha menjawab penuh sesal.

Vania mencebik. Namun, ia tak ingin kehilangan momen berharga, bercengkerama dengan belahan jiwanya. "Kalo gitu, kamu temenin Mama aja, Sayang. Masa kamu tega biarin Mama makan sendiri?"

Marsha tersenyum, kemudian mendekati sang bunda. "Mama kenapa, sih? Kayaknya belakangan ini lebbay banget. Lagi jatuh cinta, ya?"

Vania tersenyum ketika melihat Marsha mendekat, lalu duduk di kursi yang telah ia siapkan sebelumnya. Demi berduaan dengan putri kesayangannya, ia sampai rela memberi cuti pada pembantu, dan mengurus sendiri keperluan di apartemen. Termasuk memasak dan membersihkan, juga mencuci pakaian.

"Iya, Ma? Mama lagi jatuh cinta?" Marsha bertanya sembari membuka stoples berisi kerupuk.

"Kamu tanyanya genit banget, sih!" Vania tersipu.

"Siapa, Ma? Siapa laki-laki beruntung yang berhasil memenangkan hati mamaku yang nggak bisa move on ini?" Marsha menggoda sang mama. Entah mengapa ia merasa gemas melihat rona di wajah wanita yang telah melahirkannya.

"Genit, ih!" Vania memutar bola mata sebagai bentuk protes. Ia ingin pembahasan ini berakhir. Meski hubungan dengan Marsha telah jauh lebih baik, tetapi ia tak nyaman jika harus berbagi hal seperti ini.

"Jadi, apa akhirnya Mama sudah bisa lupain Papa?" Marsha bertanya pelan, seraya mengamati reaksi sang mama.

Pertanyaan dari Marsha membuat tawa di bibir Vania menghilang. Kemudian, ia menatap Marsha dengan rasa bersalah teramat.

"Mama jatuh cinta? Siapa?"

**

Bersambung ....

My Sexiest Sugar DaddyWhere stories live. Discover now