First Sight

1.9K 91 0
                                    


Danu yang baru saja selesai mandi melangkah cepat karena dering telepon itu seperti enggan menunggunya. Sambil menggosokkan handuk kecil ke kepalanya yang basah, ia menuju ponsel yang terletak di meja. Nama Marsha yang tertera di layar membuatnya tersenyum.

“Ya?” sapanya pelan seraya tersenyum.

“Jawaban kamu salah. Harusnya gini, ‘ya, sayang’?’

Danu tersenyum lebar mendengar suara dari seberang. Kemudian ia berkata, “Ya, Sayang. Kenapa?”

“Kok tanyanya gitu?” Terdengar lagi suara protes yang membuat Danu meringis sambil menggeleng pelan. Ia membayangkan gadis kesayangannya itu tengah bersungut-sungut sekarang.

“Oke. Sekarang kamu ngomong, aku dengerin.” Danu berkata tegas.

Kemudian, ia menuju lemari, mengambil kaus dan celana kasual. Sementara itu, ia masih mendengarkan suara Marsha melalui ponsel yang speaker-nya sengaja diaktifkan.

Usai mengenakan pakaian yang tadi dipilih, Danu menuju ranjang dan bersandar di sana. Ia masih menyimak semua kalimat Marsha yang berisi banyak aturan mengenai hubungan mereka ke depannya, juga hal kecil lainnya. Mendengar suara penuh semangat di ujung telepon, angannya kembali ke masa sekitar dua bulan yang lalu, ketika ia bertemu Marsha pertama kali.

“Ah, sialan!” Danu mengumpat ketika mobil yang ia kemudikan nyaris menabrak seorang gadis.

Di dalam tadi ia memang sempat minum, tetapi Danu sadar benar jika dirinya tak sedang mabuk dan dalam keadaan baik-baik saja. Mobilnya juga belum mencapai area keluar parkir kelab, tapi nyaris tertimpa sial karena gadis yang berjalan tak hati-hati.

Ketika melihat gadis di depannya tak kunjung terlihat berdiri, Danu segera turun. Selain memastikan semua baik-baik saja, ia pun berniat memberi peringatan pada gadis labil yang tadi berjalan sempoyongan. Ketika ia sampai, gadis yang hampir ditabraknya itu justru tengah berusaha bangkit, lalu merebahkan kepala ke kap depan mobil.

“Hei, Nona! Hati-hati dengan—“

Belum selesai kalimat Danu, ketika gadis yang matanya setengah tertutup itu malah muntah. Lelaki yang mengenakan kemeja sedikit kusut itu berdecak kesal, berniat membentak. Betapa tidak, ujung sepatu yang ia kenakan terkena cairan menjijikkan itu. Namun, lagi-lagi langkah Danu tertahan ketika gadis asing itu jatuh ke dalam dekapannya.

Danu mengangkat kedua tangan, tak ingin menyentuh gadis yang kini mengalungkan tangan ke lehernya. “Hey! Kamu ini apa-apaan—“

“Hmm ... pulang ... a-ntar aku pulang.” Gadis yang baru dihardiknya itu menggumam, antara tertawa juga menampilkan wajah sedih. Sesekali bibir merona itu mengeluarkan serdawa beraroma alkohol yang pekat.

“P-pulang?” Danu yang tadi bersikap tak acuh kini menurunkan satu tangan, memeluk pinggang gadis yang mulai lemah seperti hendak terjatuh. “Oke, tapi rumah kamu di mana?”

Tak ada jawaban. Tubuh gadis itu merosot dari pelukan Danu karena kesadaran yang nyaris hilang. Mau tak mau, Danu segera mendekap dan membopong gadis itu ke mobilnya. Hal yang kemudian ia sadari sebagai kebodohan. Padahal bisa saja ia memanggil sekuriti untuk mengurus perempuan ini. Namun, sekali lagi, ia tak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Ketika mobil telah melaju, Danu melirik perempuan di sisi yang sesekali bergumam tak jelas. Dipandanginya tampilan gadis mungil itu. Mengenakan gaun gemerlap berwarna hitam, membuat kulit putihnya tampak berkilau di matanya. Model gaun dengan belahan rendah itu menampilkan sesuatu yang sempat membuat Danu menelan ludah. Belum lagi, rambut hitam yang meriap ke sebagian wajah dan dada, membuat gadis yang entah siapa ini tampak begitu seksi. Setidaknya, dalam beberapa detik memindai, itulah yang tertinggal di benak Danu.

Tak ingin terjebak dalam angan tak jelas, Danu menepi di daerah terang tak jauh di bawah lampu jalan. Kemudian ia membuka kemeja yang dikenakannya untuk menutup bagian depan tubuh gadis di sisinya. Gadis yang tampak pulas meski sesekali masih meracau.

Danu terus melajukan mobil membelah malam yang telah melewati pertengahannya. Karena tak mendapat informasi di mana gadis itu tinggal, maka ia memutuskan membawanya pulang. Paling tidak, itu lebih baik daripada menurunkan gadis itu di jalan atau di alamat yang salah. Bagaimanapun, ia masih memiliki sisi kemanusiaan, apalagi untuk makhluk secantik itu. Sejenak Danu mengacak rambut atas pikirannya sendiri.

“Siapa, Tuan?” Seorang asisten rumah tangga menyapa ketika melihat Danu datang membopong seorang gadis. Sebab, setelah perpisahan dengan sang nyonya, tuannya ini  memang tak pernah membawa siapa pun ke rumah.

“Bik Asih belum tidur?” Danu balas bertanya. Wanita di depannya hanya menggeleng, lalu mengikuti langkahnya. Dia juga yang membantunya membuka pintu kamar.

Tak ada percakapan di antara mereka, sampai Danu memanggil wanita yang akan meninggalkan kamarnya. “Bik, bantu saya ganti baju cewek ini.”

Lagi-lagi, tanpa jawaban, wanita setengah baya itu mendekat ke ranjang sang tuan setelah mengangguk. Sementara itu, Danu yang berniat pergi mengurungkan langkah karena gadis mabuk yang baru saja ia baringkan itu menahan tangannya, menggenggam erat.

“Jangan pergi.” Gadis itu menggumam lagi, lalu terdengar suara seperti cegukan.

Danu melirik Bik Asih, lalu menghela napas panjang. “Ambil baju saya yang mana saja, terus gantiin, Bik.”

“Baik, Tuan.” Bik Asih mengamati gadis yang tergolek di ranjang sembari menggenggam jemari tuannya, seperti sedang mengira baju apa yang akan pas di tubuh mungil itu. Tak lama kemudian, ia menuju lemari, lalu mengambil sebuah kemeja putih berukuran besar.

“Saya nengok ke sana. Bibik nggak usah kuatir, saya nggak lihat.” Danu berkata gugup ketika asisten rumah tangganya itu menatap dengan raut aneh. Apalagi gadis mabuk itu masih menggenggam tangannya sampai sekarang.

Bik Asih terkekeh, lalu melakukan pekerjaannya dengan cepat. “Tapi, kan bisa di kamar tamu, Tuan .. kenapa harus dibawa ke kamar ini?”

“Saya bisa tidur di luar.” Danu bangkit usai berkata demikian, sedikit memaksa jari lentik yang menggenggamnya lepas.

Keesokan harinya, ketika Danu masuk ke kamar untuk bersiap ia mendapati gadis semalam itu telah bangun. Namun, bukan ucapan terima kasih yang ia dapatkan, melainkan tatapan penuh curiga dan kalimat serupa interogasi.

“Jawab! Kamu udah ngapain aja waktu aku mabuk?”

Suara diiringi tatapan menuduh itu membuat Danu memutar bola mata. Tak menjawab, ia menuju lemari dan mengambil pakaian. Dengan santai ia berpakaian, mengabaikan gadis yang mendekatinya.

“Kamu ngapain ganti bajuku segala?”

Sementara itu, merasa sebal karena diabaikan, sang gadis beranjak dan mengajukan protes. Nahas, pengaruh alkohol yang belum hilang membuat gerakan refleks yang ia ambil mengantar pening ke kepala, ia nyaris terjatuh. “Ah!”

Danu menangkap gadis limbung yang nyaris jatuh itu, kemudian melayangkan tatapan mengintimidasi. “Seharusnya kamu bilang terima kasih. Dan lagi, aku masih terlalu sadar buat ngerjain cewek mabuk. Apa kamu pikir kamu seseksi itu?”

Gadis itu mendorong Danu, lalu menuju ranjang dengan susah payah seraya memegangi kepala. “Mana bajuku? Aku mau pulang!”

“Tanya Bibik. Mungkin sudah kering, karena semalem langsung dicuci. Oh, iya. Kenapa baju kamu harus dicuci, karena aku nggak mau kasurku bau muntahan. Kalo nggak biasa minum, jangan sok. Bawa kepala aja nggak kuat!” Danu menambahkan, lalu melihat ke arah meja kecil di sisi ranjang. “Itu air jahe hangat.”

Hening. Tak ada percakapan sampai Danu selesai memilih dasi. Dari rak yang terdapat di sisi kanan lemari.

“Namaku Marsha.”

Danu berbalik, mendapati gadis itu menatap padanya dengan tatapan redup, tak seperti tadi.

Tak lama kemudian, sok yang ia pandangnya itu berkata pelan, “Terima kasih.”

Danu hanya mengangkat bahu, lalu kembali melanjutkan aktivitas. Mengancingkan lengan kemeja, lalu mematut diri sekali lagi di depan cermin besar. Lalu, ia melihat gadis bernama Marsha itu mendekat, dan berdiri tepat di hadapannya. Belum sempat Danu bertanya, gadis itu meraih dasi.

“Sebagai ucapan terima kasih.” Marsha berkata, memberi isyarat agar lelaki tinggi di hadapannya menunduk.

Danu menghela napas, lalu sedikit merendahkan tubuhnya. Masih ada aroma alkohol yang menguar dari sosok di depanya, tapi ia memilih diam sampai Marsha selesai memasangkan dasi.

“Baju kamu semalam terlalu seksi. Kamu bisa pilih kemeja atau jaketku, buat pengganti outer.” Danu menunjuk ke arah lemari. “Aku tunggu di luar, kuantar pulang.”

Usai berkata demikian, Danu bergegas menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti ketika gadis di belakangnya bertanya, “Om, nama kamu siapa?”

Mengingat semua itu, Danu tertawa. “Om?” Ia mengulang sapaan Marsha untuknya kala itu.

**

Bersambung ....

My Sexiest Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang