Lovely Mom

1.6K 92 1
                                    


"Jadi, apa akhirnya Mama sudah bisa lupain Papa?" Marsha bertanya pelan, seraya mengamati reaksi sang mama.

Wajah Vania yang tadi tersipu, kini berubah sendu. Rona di wajahnya tak ada lagi, berganti dengan mendung yang menggelayut.

Bukan tanpa alasan mengapa Vania terlihat sedih. Sebab, selama ini ia tahu betapa Marsha amat merindukan sosok ayah. Putrinya itu bahkan sempat memiliki angan-angan bahwa suatu saat mereka akan berkumpul dalam sebuah keluarga utuh yang damai dan bahagia. Maka, pertanyaan yang dilontarkan Marsha tadi membuat ia merasa sedih. Ia takut memupus harapan Marsha selama ini.

"Ma." Melihat perubahan di wajah sang mama, Marsha berkata perlahan. "Aku ikut bahagia kalo Mama bahagia."

"Sha, Mama hanya--"

"Pernah patah hati seperti kemarin itu ... Mama percaya, 'kan, kalo aku sudah dewasa?"

Mata Vania berkaca-kaca sekarang. "Nak, maafkan Mama."

"Berjuang begitu keras selama ini, aku tau kehidupan Mama nggak gampang. Sampai di satu titik aku berpikir, kalo Mama menghabiskan waktu untuk kerja karena Mama pengen ngelupain sesuatu."

Vania terpana. Ia tak menyangka jika bayi yang dilahirkannya 17 tahun lalu itu, kini bertransformasi menjadi wanita dewasa, teman berbagi isi hati.

"Dan sampai di titik ini aku juga sadar, kalo yang pengen banget Mama lupain adalah sosok Papa. Bertahan untuk papaku selama itu, Mama ... sakit banget, ‘kan?"

Vania tergugu, tak mampu menahan tangis. Saat ini, ia merasa lega sekaligus sesak. Sebab, bertekad bangkit dari masa lalu berarti membebaskannya dari luka berkepanjangan.
Namun, hal itu tentu menyakiti hati Marsha dalam satu waktu.

“Sudah cukup Mama mengingat semua yang bikin sakit hati. Tujuh belas tahun ... aku yakin itu bukan waktu yang sebentar. Jadi, Mama berhak atas perasaan Mama sendiri.”

"Maaf." Vania menyebut kata itu berulang. Kepalanya tertunduk dalam, tangisnya terdengar menyayat.

"Mama nggak salah. Aku yang selama ini terlalu memaksa. Sampai aku lupa, kalo Mama juga berhak bahagia. Mama butuh tempat berbagi dan itu nggak cukup aku saja."

"Marsha ...." Vania tersedu-sedu.

"Kalo kebahagiaan Mama itu adalah melupakan Papa, maka aku pun bahagia dengan keputusan Mama. Karena kita harus lupa sama laki-laki yang cuma bisa menghadiahkan luka." Marsha menatap Vania dengan penuh kasih.

Apa yang baru saja ia ucap tak hanya sebuah nasihat kecil untuk sang mama, tetapi juga untuk diri sendiri. Bahwa sebagai perempuan mereka berhak atas jalan yang mereka pilih, termasuk membentuk kehidupan seperti apa di masa depan nanti.

"I love you." Vania membalas dengan kalimat terbata-bata, di antara senyum yang merekah menghias derai air mata.

Marsha menangkup jemari  Vania yang terulur di meja. "I love you more, Mam."
**

“Mama udah mau kerja lagi?”

Marsha yang tengah menonton televisi berbalik ke arah sang mama. Ia lantas memindai wanita terkasihnya yang tampak rapi. Rok pensil berwarna hitam tampak pas membalut tubuh bagian bawah, sedangkan blus merah jambu membuat sang mama terlihat berseri bak kuncup yang baru mekar. Cantik, tak terlihat jika  ibunya itu ada di usia tengah tiga puluhan. Jika bersisian, mereka justru terlihat bagai saudara, bukan ibu dan anak. 

“Iya, Sayang. Tapi Mama cuma bentar, kok.”

Vania menjawab sembari menuju rak sepatu, memilah salah satu yang pas dengan tampilannya saat ini.

Sembari mengenakan blazer yang tadi tersampir di lengan, ia berkata,  “Mama cuma mau ketemu satu client  aja, habis itu pulang. Mama juga sudah telepon Bibik, supaya dikerja lagi muai besok. Sekarang lagi di jalan, mungkin sampe sejam lagi.”

Marsha hanya mengangguk. “Aku nggak apa-apa, kok, kalo Mama kerja lagi.”

Gerakan Vania yang tengah merapikan blazer terhenti. “Sayang—“

“Aku serius, Mama. Mulai sekarang Mama harus percaya sama aku, kalo aku baik-baik aja. Nggak ada yang perlu Mama takutkan.”

“Apa kamu yakin?”
Marsha mengangguk mantap. “Aku udah dewasa, Mama. Aku juga bisa ngurus rumah sendiri, kok.”

Vania tersenyum. “Ya udah. Mama percaya. Kamu bebas mau ngapain aja, sesuai batasan yang sudah Mama tetapkan. Masih ingat?”

“Siap, Bos!” Marsha bangkit, dan mengambil posisi hormat.

Vania tersenyum, kemudian mendekati sang putri semata wayang. Dikecupnya sekilas kening Marsha, kemudian ia berkata, “Mama percaya Marsha udah dewasa dan tau mana yang baik, mana yang enggak.”

Marsha menatap sang bunda dengan mata menghangat. Saat percakapan mereka serius seperti sekarang, kelebat masa lalu itu melintas lagi. Masa lalu yang membuat ia bersyukur dan menyesal dalam satu waktu, hanya karena lelaki tak bertanggung jawab tempat ia menitipkan cinta pertama.

Marsha tak bisa membayangkan, jika kala itu ia berserah pada sang pacar. Sebagai pasangan remaja yang bebas dan tanpa pengawasan orang tua, kala itu mereka nyaris melakukan kesalahan besar. Untung saja banyak hal yang membuat hubungan terlarang itu gagal. Pada saat itu, Marsha merasa menyesal dan dihantui rasa bersalah. Bahwa sebagai pacar, ia tak mampu menuruti apa yang diinginkan pasangan.

Akan tetapi kini, semua rasa sesal bodoh itu menjadi hal yang sangat ia syukuri. Bahwa saat ini, ia masih patut berbangga atas apa yang seharusnya dijaga seorang wanita. Apa jadinya jika sekarang ia telah sepenuhnya rusak, sedangkan lelaki itu menikah dengan orang lain? Akankah ada lelaki yang menerimanya dalam keadaan tak utuh lagi? Mungkin, Marsha benar-benar memilih mati.

“Maafin Marsha, Ma.” Marsha berkata pelan ketika merasa telapak tangan mamanya melekat di pipi. Kata-kata inilah yang harus ia ucapkan sejak beberapa bulan yang lalu.

Namun, semua tertahan di tenggorokan dan baru bisa diungkapkannya sekarang. Lagi-lagi, dalam balutan sesal dan syukur dalam satu waktu. Tragedi bodoh yang hampir merenggut nyawanya kala itu, membuat Marsha banyak mengambil hikmah. Yang paling terasa adalah hubungan dengan sang ibunda yang kian membaik.

Vania tersenyum, menatap wajah putrinya lekat-lekat. Benar apa yang baru saja didengarnya, bahwa Marsha memang telah sepenuhnya dewasa. Cara memandang dan berbagi cerita, putri kecil yang dulu ia kandung kini benar-benar menampilkan jati diri wanita secara utuh.

“Nggak ada yang perlu Mama maafkan.” Vania berkata lembut, diiringi senyuman manis. “Oh, iya. Makanan sudah Mama siapkan. Kalo kamu lapar sebelum Bibik datang, ya makan gitu aja. Nggak usah nyalain kompor.”

Marsha mengangguk lagi. “Oh, iya. Nanti aku mau keluar. Boleh, ‘kan?”

“Ke mana? Sama temen kamu?”

“Ng ....” Marsha kembali ke kursi. “Ada, deh!” Jawaban itu akhirnya muncul juga, sebab tak mungkin baginya untuk berkata jika ia akan menemui Danu. Betapa pun kali ini ia yakin dengan perasaannya, tetapi tetap saja, ia masih ragu untuk memperkenalkan lelaki itu pada mamanya.

**

Bersambung .....

My Sexiest Sugar DaddyWhere stories live. Discover now