BAB 10 - Keputusan Raya

Start bij het begin
                                    

"Selama ada dirimu yang mau menemaniku, aku akan terus berjuang mendapatkan restu Mami. Karena kamu wanita hebat. Justru aku khawatir kamu akan menyerah jika restu itu tak ada."

Aku menelan liur. Menikah tanpa restu mertua akan sangat berat. Aku tak yakin mampu. Apalagi dengan bayi pertama dan aku tak berpengalaman sama sekali.

"Aku akan selalu melindungimu." Mas Bram kembali membujukku. "Jika memang Mami tak menurunkan restunya, kamu boleh membatalkan pernikahan ini. Meski sejujurnya, aku ingin kawin lari saja. Namun, aku tahu, kamu bukan wanita yang mau bertindak seperti itu. Aku akan menghargai apa pun keputusanmu nanti."

Aku menarik napas lega. Begitu pengertiannya pria di sisiku ini. Dia begitu memahami diriku yang bahkan tak mengenalnya dengan akrab.

Aku tak punya jawaban lain...

"Ya, Mas. Aku setuju untuk berjuang mendapatkan restu dari ibunya Mas terlebih dahulu. Mohon bantuannya."

Seketika itu juga Maz Bram menyunggingkan senyum paling manis yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Kirimi aku alamat kosanmu. Apa ada kamar lain yang kosong?"

"A-ada beberapa. Tapi ini kos khusus wanita." Aku menjawab was-was. Apa jangan-jangan Mas Bram berpikir mau ngekos bersama denganku?

Dia menahan senyum geli. "Kamu pikir aku mau nginep di sana juga?"

"Salah, ya? Aduh, maaf, Mas." Aku salah tingkah.

"Bisa tolong kirimi alamatnya sekarang?" Dia tak menjawab pertanyaanku.

Aku pun akhirnya mengkopi alamat yang kusimpan di aplikasi notes dan mengirimkannya ke Whatsapp.

"Aku permisi mau menelepon sebentar." Tak beranjak dari tempatnya duduk, Mas Bram menekan gawainya dan mulai bicara setelah mengucap salam.

Aku mengerutkan kening penasaran.

"Iya, Mbak. Jadi mulai besok, saya tempatkan di kosan calon istri saya sampai dia lahiran. Biaya kamar kos, saya yang tanggung. Makan juga. Gaji saya naikkan dua kali. Bagaimana?"

Aku mengerjap kaget pada kalimatnya. Jadi, Mas Bram mengontak biro pembantu atau bagaimana? Aduh, aku sungguh merepotkan!

"Alhamdulillah kalau Mbak Titi bersedia. Hari ini tolong siapkan pakaian dan barang-barang yang harus dibawa. Tugas Mbak Titi adalah menjaga calon istri saya baik-baik, ya. Pastikan bayi kami sehat dan selamat sampai lahiran."

KAMI?

Tunggu.... Apa dia tidak salah menyebut kata 'kami'? Apa tidak akan menimbulkan kesalahpahaman nanti?

Aku merasa tubuhku lemas dengan semua perhatiannya. Mas Adnan saat awal menikah juga melimpahiku dengan segala perhatian, hadiah, juga ucapan mesra. Namun, semua berubah total sejak tahu bayiku perempuan.

Tanpa sadar kubelai perutku yang sebenarnya belum terlalu membuncit. Nak, apa pun kelaminmu nanti, semoga engkau menjadi anak yang taat agama dan kuat meski ayah kandungmu tak ada di sisimu.

Mas Bram pun terlihat memutus sambungan. Ada perasaan mengganjal di hatiku.

"Barusan menelepon siapa?"

"Oh, aku mengalihkan satu dari delapan pembantuku di rumah untuk nemenin kamu."

"De-delapan?"

Dia terkekeh. "Iya. Itu pun Mami kayaknya mau cari lagi buat yang khusus menangani bayi kakak iparku. Mbak Titi kebetulan beberapa waktu lalu mengeluh padaku tentang pekerjaannya nyaris tidak ada. Dia tidak ingin makan gaji buta katanya. Khawatir tidak berkah."

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu