00 - PROLOG

1.8K 237 383
                                    

Jangan pernah lupa bahwa sebelumnya kita pernah mengukir sejarah berdua. Walau pada akhirnya semesta tak menakdirkan kita untuk bersama.

"Gak mau peluk saya, nih?"

Seorang laki-laki berambut hitam legam di tata rapi dengan tuxedo hitam berdasi merah menumpukan tangannya di teralis besi balkon gedung yang di pakai untuk acara perayaan akhir masa sekolah.

Perempuan yang berdiri di sampingnya terkejut, melebarkan matanya dan sedikit menggeser tubuhnya menjauh.

"Salah gak kalau saya makin jatuh cinta liat kamu malam ini?" tanya laki-laki beralis tebal itu memiringkan kepalanya, menatap gadis di sampingnya dengan sorot mata teduh.

Perempuan bergaun putih berkilau selutut itu tetap diam. Jemarinya saling bertaut, mengurangi rasa aneh yang bergejolak dalam dadanya. Sama seperti kemarin, ia tetaplah Airel Pabela. Perempuan kaku jika menyangkut soal Gibran Algebara, ketuanya sendiri.

"Rel?" tegur Gibran masih berusaha membuat perempuan di sampingnya berbicara.

"Makasih, ya," lanjut Gibran masih setia menatap Airel dengan tatapan dalam, seakan perempuan itu adalah satu-satunya.

Airel perlahan mendongak, memberanikan diri menatap Gibran. Sial, tubuhnya seakan tersengat setiap matanya bertemu dengan mata hitam kelam itu.

"Buat apa?" Setelah lama diam, Airel menjawabnya.

"Makasih udah ngukir sejarah indah di hidup saya."

Airel makin mengeratkan jemarinya, pembicaraan ini mulai membuat atmosfernya menegang. Hal yang sangat ia hindari.

"Tapi ajarin saya satu hal, Rel," ujar Gibran serius.

Airel lagi-lagi menatap laki-laki berwajah tegas itu. Laki-laki yang sudah berubah banyak. Tidak lagi dengan pemikiran pendeknya, bahkan terlihat lebih dewasa dan berwibawa. Gibran yang berbeda, tetap dengan segala pesona memabukkannya.

"Apa?" tanya Airel, menautkan alisnya.

"Ajarin saya terima takdir. Ajarin saya terima kenyataan kalau kamu bukan milik saya sekarang."

Airel meneguk salivanya susah payah. Terlihat wajah putus asa disana. Ketika semua orang di dalam gedung berbahagia, tapi tidak dengan laki-laki itu. Penampilannya sungguh berkharisma, namun hatinya tetap terlihat rapuh.

"AIREL!"

Sang empunya nama menoleh kebelakang, melihat seorang laki-laki dengan tuxedo abu-abu berdiri disana dengan bucket bunga di tangannya. Senyumnya perlahan mengembang, lalu perlahan berjalan menghampirinya, meninggalkan Gibran yang masih berdiri di sana.

"Maaf aku terlambat," Laki-laki itu menyodorkan bucket bunganya pada Airel.

"Thanks." Airel menunjukkan senyum manisnya, memegang bunga itu dengan tangan yang gemetar. Sungguh, ia tak suka situasi ini.

Laki-laki itu memiringkan kepalanya, melihat Gibran berdiri disana. Ia melemparkan senyuman singkat. Namun, Gibran hanya diam, berkelana dengan pikirannya sendiri.

"Dance with me?" tawar laki-laki bermata cokelat terang itu. Ia menengadahkan tangannya, berniat mengajak Airel masuk ke dalam gedung.

Airel mengulum senyumnya, lalu mengangguk dan menerima uluran tangan tersebut. Laki-laki di depannya lantas melingkarkan tangannya di pinggang Airel erat, lalu membawanya masuk ke dalam dengan penuh sayang.

Gibran hanya mampu membisu melihat itu. Dulu tangannya lah yang melingkar memeluk pinggang Airel. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menguatkan dirinya sendiri. Tak ada lagi kesempatan, karena kini takdir sudah tak searah dengannya. Perempuan itu, bukan lagi miliknya. Kini, perempuan itu milik orang lain.

Gibran mengeluarkan kalung liontin berbentuk harimau dari saku celananya. Di genggamnya kalung itu erat dengan rasa sakit yang ikut mengalir. Kalung yang sejak lama ingin ia berikan, namun semesta tak mengizinkannya.

"Gue harus berjuang lagi atau nyerah, Rel?" gumam Gibran parau.

Melihat senyum Airel yang di berikan untuk orang lain, haruskah Gibran tega merusaknya? Itu berarti sudah tak ada namanya di hati gadis itu, kan?

Sepersekian detik, laki-laki itu melemparkan kalung liontinnya asal ke lantai dasar. Ia mengusap wajahnya kasar, dan menjambak rambut hitamnnya kuat-kuat.

Di atas rooftop gedung Harmony, ditemani hembusan angin malam serta gemerlapnya bintang, Gibran berdiri sendiri.

Airel Pabela, bukan lagi perempuan yang sama.

Airel Pabela, bukan lagi perempuan yang akan menghiasi harinya.

Airel Pabela, bukan lagi perempuan yang akan menghapus gelisahnya

Airel Pabela, bukan lagi perempuan yang akan menjadi penghilang lukanya.

Airel Pabela, bukan lagi miliknya.

***

A/n :

GIMANA PROLOGNYA?!

SPAM NEXTNYA HAYU BUAT CHAPTER SATU!❤

SELALU VOTE, KOMEN, DAN SHARE SETELAH MEMBACA YA, GENGS!❤

Keep waiting and see you soon!

Babay.

Jumat, 21 Mei 2021.
Tertanda,
Tanzyla Dinda.

LOSING US (DEAR US 2)Where stories live. Discover now