#22 Marsya [2]

20 7 6
                                    

"Kecerdasan tanpa ambisi itu bagai seekor burung tanpa sayap."

- Maria

------

"Bagaimana lo bisa nyimpulin fakta tadi dengan cepat, lo punya bukti apa?" Ini adalah pertanyaan yang ke sekian kalinya oleh Niana pada Allin. Pertanyaan pertama, saat mereka masih di jalan perumahan Marsya. Setelah itu, di perjalanan pulang Niana mengoceh terus minta penjelasan. Dan di sini, di rumah Dista, masih saja, dengan pertanyaan yang sama pula.

"Ada dong! Kasih tau kalian nggak ya?" Allin nampak berpikir, hal ini untuk menggoda sahabatnya. Ah fakta yang ia temukan sepertinya merubah sikap dinginnya.

"KASIH TAU DONG!" balas mereka bertiga bersamaan. Allin terhenyak dan mengerucutkan bibirnya malas. Dia lelah untuk cerita.

"Tadi pas gue di toilet umum rumah Marsya ..." Allin sengaja menjeda kalimatnya.

"Eh kok toilet umum?" potong Dista, dia baru menyadari kalau Allin menggunakan istilah toilet umum untuk kamar mandi keluarga Marsya.

"Toiletnya banyak anjir, udah bayangin aja toilet umum. Nah gue kan masuk, sembarang masuk toilet nih gue. Di sana itu kamar mandinya khusus-" Dista mengudarakan telapak tangannya tepat di depan wajah Allin. Bermaksudkan untuk menghentikan ucapan Allin.

"Apa lagi Dista?" tanya Allin jengah kepada Dista.

"Kamar mandinya khusus gimana?" tanya Dista dengan wajah cengonya. Salwa dan Niana pun mengangguk. Allin merotasikan matanya sebagai pertanda kekesalannya.

"Kayak kamar tidur gitu loh. Satu kamar mandi hanya untuk satu orang, nggak boleh lebih. Meski orangnya pergi jauh, ya kamar mandinya nggak boleh ditempati."

"Oh, kayak kamar mandi pribadi gitu?"

"Iya sejenis gitu lah. Gue lanjut ya?" Mereka menganggukinya.

"Gue kan masuk ke kamar mandi, gatau gue itu kamar mandinya siapa. Disana itu banyak banget foto-foto kecil yang digantung di samping kaca wastafel-nya." Allin menghentikan kata-katanya, membuat ketiga sahabatnya bertanya-tanya foto siapa yang dilihat Allin.

"Dan asal kalian tau," jeda Allin lagi. Dia melangkah ke depan, tepat dimana papan tulis putih tergantung seimbang. Disana dia mengambil spidol dan mulai menuliskan beberapa kata. "Marsya dan Darra adalah saudara."

"APA?!"

"Ye santai lah kalian. Gue yang pertama kali tahu aja nggak seheboh kalian."

"Heh anjir demi apa, mudah banget kita cari jawabannya," sorak Salwa melepas tawa.

"Foto-foto itu fotonya Marsya sama Darra?" Dista memastikan agar semuanya lebih jelas.

"Iya foto mereka berdua dan di atas kaca itu ada tulisan, 'sahabatku saudaraku'. Ada juga salah satu fotonya yang memakai pakaian almamater SMA Starlight. Yang gue masukin itu kamar mandinya Darra, untung arwahnya nggak nongol di kaca wastafel."

"Kok bisa tau kalau itu kamar mandinya Darra? Bisa juga kan itu kamar mandinya Marsya."

"Nah, saat gue mau keluar, Marsya itu datang ke ruangan itu. Dia marah-marah, sambil gejoh-gejoh lantai. Juga ..... kalau yang gue tempatin itu kamar mandinya Marsya, gue udah disuruh keluar dong. Dan pas gue keluar kan gue papasan sama Bi Asih, dia tanya ke gue. 'Neng, tadi masuk kamar mandi yang mana?' nah gue jawab kan masuk kamar mandi yang sebelah situ Bi. Bisa-bisanya, dia langsung kaget gitu, kayak shock. Terus gue tanya dong, 'emangnya kenapa Bi?' dia jawabnya gini 'itu kamar mandinya nggak boleh dimasukin neng, milik non Darra' terus dia langsung pegang alat pel dan pewangi. Bi Asih langsung bersihin kamar mandi yang barusan gue pakai."

Promise (Slow Update)Where stories live. Discover now