1

5K 97 4
                                    

Hidup di keluarga sederhana membuat diriku tidak pernah berfikir akan menjalani hidup seperti ini. Memiliki mobil mewah, ponsel yang harganya puluhan juta, hingga memiliki hunian bak istana dalam negeri dongeng.

Di usiaku yang menginjak dua puluh dua tahun, semua itu nyata. Kemewahan yang tidak pernah aku rasakan, sekarang menjadi kenyataan. Ya, aku Anisa Hendrawan yang memilih menikah dengan seorang dosen salah satu universitas di Kota Semarang. Selisih usia yang cukup jauh, membuatku mendapatkan semua ini.

"Sayang, Ayah pulang." Suara dari arah pintu utama menyapa indera pendengaranku. Ya, siapa lagi kalau bukan, suamiku, Adnan Khalil Ahmad. Biasa disapa Pak Adnan di kampus.

"Sini Ayah, peluk." Jawabku dengan merentangkan kedua tanganku untuk menyambut tubuh tegap yang berjalan ke arahku.

Kami berpelukan, layaknya pasangan yang dilanda rasa rindu tak bertemu. Padahal, setiap hari kami bertemu hanya saat bekerja saja kami berpisah. Hari ini Pak Adnan pulang sampai rumah pukul lima lebih, katanya ada urusan penting tentang proyek penelitiannya.

Aku menyandarkan kepala di dadanya, mengusap punggungnya yang lebar. "Capek, Yah?"

"Hm, tapi capek Ayah hilang saat bertemu kamu, Sayang." Jawabnya dengan mencium pipiku.

"Yasudah, Ayah mandi dulu. Aku siapin makan malamnya ya." Dia melepas pelukan, mencuri ciuman bibirku dan melesat menuju kamar utama kami. Sedangkanku, melanjutkan acara memasak. Memasak sayuran sederhana, hanya sayur sawi, tempe goreng, dan ayam bacem.

Menyajikan semua hasil masakanku, aku bergegas membersihkan diri. Tadi aku belum sempat untuk mandi, ketika kaki ini memasuki kamar tidur aku mejumpai Pak Adnan sedang berganti pakaian. Ia hanya mengenakan kaos dan celana panjang berbading terbalik saat ia akan pergi ke kampus, "Ayah sudah selesai?" Tanyaku, sesaat ia keluar dan menyisir rambutnya.

"Iya, Nis. Kamu mau kemana?"

"Mandi, gerah."

"Yasudah, mandi gih. Saya tunggu di meja makan." Jawabnya dengan berjalan keluar meninggalkan diriku. Aku bergegas membersihkan diri, dan berganti pakaian.

"Ayah, sedang apa?" Saat memasuki meja makan, nampak raut wajah Pak Adnan yang serius dengan tatapan ke arah ponsel. "Enggak, ini saya hanya baca jurnal. Buat referensi penelitian saya nanti."

"Oh, makan dulu aja. Nanti dilanjut bacanya." Ajakku, menuangkan nasi beserta sayur mayurnya ke piring kosong dihadapannya. Hal sederhana ini dulu tidak pernah aku lakukan, tetapi ada di suatu titik aku merubah pola pikir dan menjadikan ini sebuah kebiasaan.

Kami menghabiskan makan malam dengan keheningan, tidak ada pembicaraan karena ia sangat tidak suka jika makan diselingi dengan obrolan, katanya tidak sopan.

"Yah," panggilku setelah aku membereskan sisa makanan dan berjalan menuju ruang tengah. Ia nampak fokus menonton televisi yang menampilkan berita hari ini.

"Hm, apa, Sayang?" Jawabnya tidak dengan menoleh melihatku. Ya, namanya Bapak-Bapak kalau sudah ada berita pasti konsentrasi akan tertuju kesana.

Aku berjalan mendekatinya, menyandarkan kepala ke pundaknya. "Aku sebel sama Putri, Yah."

"Kenapa?"

"Tadi aku berangkat, kan agak siangan. Masa dia bilang habis lembur ya, ya masa aku bocorin urusan kita, sih. Kan kita punya privasi masing-masing. Bu Erna saja ngizinin aku terlambat, masa si Putri enggak." Laporku sedikit kesal, bukan sekali dua kali aku diperlakukan seperti ini.

"Sabar, Sayang. Kan semua manusia tidak bisa kita sama ratakan, terkadang mereka memiliki permasalahan lain yang membuat mereka seperti itu. Mungkin dia iri sama kamu, kan kita tidak tahu kondisi hati masing-masing orang. "

"Ya, tapikan nggak usah nyindir, Yah. Aku sama dia sama-sama bekerja, aku nggak rugiin dia, kenapa dia juga nggak suka sama aku."

"Sudah, jangan diperpanjang. Nanti cepat tua." Pak Adnan menangkup wajahku, mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Awalnya hanya pangutan dan berlanjut ke kebutuhan biologis seorang pria dewasa. Ya, kami melakukannya di ruang tengah depan televisi.

Dulu aku tidak pernah memandang Pak Adnan sebagai sosok pria yang akan menjadi jodohku, terpaut usia cukup jauh membuatku berpikir banyak ketika membicarakan hubungan ini. Ya, Pak Adnan merupakan tetangga baru di didepan rumahku. Ia sangat ramah, murah senyum, dan tak jarang sering mengikuti kegiatan sosial warga. Dari situ Papa dekat dengan Pak Adnan yang ternyata juga seorang dosen di universitas yang sama saat aku menempuh bangku kuliah. Yang membuat hubungan kami lancar sampai di tahap menikah. Karena Papa menganggap Pak Adnan sosok yang cukup mengayomi diriku yang masih kekanakan.

Sekarang, lelaki itu terlelap disampingku. Dengan wajahnya yang nampak damai, aku tidak pernah berpikir akan hubungan kami yang sudah sampai ditahap ini.

***

Cerita ini sudah TAMAT ya di KBM dan Karyakarsa

Cinta Beda Usia ✔ (KBM & KARYAKARSA)Where stories live. Discover now