Kota Brebes

4.9K 332 2
                                    

Kereta berhenti di Stasiun Brebes, aku turun dari kereta dan duduk sebentar karena rasanya sangat lemas. Aku baru ingat terakhir makan tadi siang, itu pun sudah aku muntahkan saat di rumah Ayah Dhika.

Aku membeli Mie instan, pada pedagang di dekat Stasiun untuk sekedar mengganjal perutku. Jika mas Alvand atau Vina tahu aku makan Mie instan, pasti mereka berdua akan marah dan menceramahiku panjang lebar.
Aku tersenyum getir, bagaimana bisa aku masih tetap mengingat mas Al, padahal dia sudah menyakitiku dan sudah membuatku kecewa, bukan hanya kecewa tapi sangat kecewa.

Selesai makan, aku berjalan ke pinggir jalan, ada beberapa abang ojek dan becak yang menawariku, tapi aku hanya menjawab dengan tersenyum dan menggeleng saja. Aku bingung, tengah malam begini harus mencari tempat penginapan di mana.

Udara malam terasa sangat menusuk ke dalam tubuhku, aku tak membawa jaket rasanya sangat dingin, apa lagi sepertinya habis turun hujan.

Aku berjalan mendekati tenda pedagang nasi goreng, untuk bertanya tempat penginapan terdekat, tapi belum juga langkahku sampai ke pedagang nasi goreng, dari arah belakang ada yang membekapku, menyeret tubuhku entah akan dibawa ke mana.

Aku berusaha melawan sebisa mungkin, namun aku tak bisa karena mereka berdua dan tenaga mereka juga lebih besar dariku. Aku pasrah pada takdir selanjutnya yang akan terjadi padaku. Aku di bawa ke sebuah bangunan yang hampir saja roboh, kotor dan hanya terkena sinar lampu penerangan jalan saja.

"Apa mau kalian?" Kataku saat tubuhku sudah terjatuh ke tanah.

"Jebule ayu ndul." (Ternyata cantik ndul) kata pria yang lebih tinggi.

"Iya sih, eman - eman lah yen di anggurna." (Iya sih, sayang kalau di anggurin).

Aku tak tahu mereka sedang berbicara apa, karena menggunakan bahasa Jawa ngapak. Aku menyerahkan tasku yang berisi dompet dan beberapa lembar uang tunai.

"Ini, ambil semua, saya mohon jangan sakiti saya, saya sedang hamil saya mohon." Kataku memohon sambil terus menangis, sambil terus berharap akan ada yang menolongku.

"Paling ngapusi ndul, wetenge rata." (Paling bohong ndul, perutnya rata).

Salah satu dari mereka mendekat, aku mundur dalam posisi masih duduk sampai tubuhku mentok di tembok. Aku benar - benar sudah pasrah, aku sudah tak lagi memiliki tenaga, bahkan saat ini perutku juga terasa sakit.

"Sikat ndul." Aku memejamkan mata, sambil terus bershalawat meminta pertolongan Allah, dan saat itu juga aku mendengar suara orang berkelahi. Aku membuka mataku perlahan, di sana dua penjahat itu sedang berkelahi dengan seorang pria.

Aku bersyukur, karena ada yang menyelamatkanku, aku dan janinku selamat dari dua pria biadab itu. Tak butuh waktu lama, dua penjahat itu berhasil di kalahkan.

"Nggawa anggota maring umah tua biasa, begajul wis tak ringkus, buruan teka ngene." (Bawa anggota ke rumah tua biasa, begajul sudah aku ringkus, buruan datang kemari). Aku mendengar pria yang menyelamatkan aku berbicara lewat ponselnya, jantungku sudah berdebar tak karuan, aku takut dia juga orang jahat.

Pria itu berjalan mendekatiku, menatap aku yang keadaannya memang sangat kacau.
"Sampeyan wong ndi mbak?" (Anda orang mana mbak?).

Aku diam saja, karena tak tahu apa yang dia bicarakan, "Bisa bahasa Jawa?" Tanya pria itu kembali dan aku menggeleng.

"Maaf saya kira orang sekitar sini, mbak orang mana?"

"Jakarta." Jawabku.

"Apa mbak kenal dua pria itu?" Tanya dia lagi dan aku menggeleng.

"Tadi saya mau ke warung tenda nasi goreng, tapi dari belakang ada yang membekap saya." Jawabku dan dia mengangguk.

"Mari saya bantu berdiri, mbak nggak usah takut saya Polisi, sebentar lagi anggota saya juga datang kemari." Katanya lagi dan aku mengangguk, menerima uluran tangannya untuk berdiri.

Pria itu mengajakku keluar dari rumah tua ini, tapi baru beberapa langkah perutku terasa sangat nyeri dan kepalaku juga terasa pusing, pandanganku tiba – tiba saja menggelap dan akhirnya aku tak ingat apa pun lagi, tubuhku terasa melayang di udara.

***

Aku membuka mataku perlahan, sinar mentari sudah mulai muncul menyinari bumi. Aku mengedarkan pandanganku, saat ini aku berada di dalam sebuah kamar, entah kamar siapa.

Aku mengingat di mana terakhir kali aku berada, di dalam rumah tua dan hampir saja aku dilecehkan, lalu ada pria baik yang mengaku sebagai Polisi menolongku, lalu kepalaku pusing dan sekarang aku ada di sini.
Pintu kamar terbuka, aku menatap ke arah pintu dan masuklah pria kecil yang tampan, berusia mungkin sekitar 4 atau 5 tahun, dia menatapku tak berkedip.

Aku tersenyum dan melambaikan tanganku, memintanya untuk mendekat, namun dia malah berteriak, "Yayah pat nini, unda angun yah." Katanya dengan bahasanya yang membuatku tersenyum, pandangan matanya masih menatapku.

Tak lama aku mendengar suara derap kaki mendekat, "Kenapa Nak?" Tanya pria itu yang menampakkan dirinya di pintu.

Tatapan kami saling bertemu, aku ingat pria itulah yang menolongku semalam, lalu kenapa aku bisa ada di sini.

"Hai, sudah bangun." Sapanya sambil tersenyum, menggendong anak tampan itu mendekatiku.

Aku tersenyum dan mengangguk, “Sudah.” Jawabku

"Gimana? Apa sudah enakkan?" Aku mengangguk.

"Terima kasih sudah menolong saya, maaf saya sudah merepotkan." Kataku.

"It's okay, perkenalkan saya Yoga." Katanya mengulurkan tangannya dan segera aku sambut.

"Zia." Kataku singkat dan kembali tersenyum.

"Maaf kalau baju mbak Zia semalam diganti, karena basah dan kotor." Katanya membuatku langsung melihat pakaian yang aku kenakan dan benar saja, pakaianku sudah ganti. Aku menatap pria yang bernama Yoga itu dan lagi dia kembali tersenyum.

"Tenang saja bukan saya, tapi pengasuh putra saya yang mengganti pakaian mbak Zia." Kata pria bernama Yoga, di depanku.

Alhamdulillah, aku bernafas lega mendengarnya, karena aku pikir dia yang menggantikannya.

"Yah unda akit?" Aku menatap anak kecil yang berada dalam gendongan mas Yoga, kenapa dia memanggilku bunda? Apa dia mengira aku bundanya?

"Masih nggak enak badan, Kenzi keluar dulu ya Ayah mau bicara sebentar sama tante Zia."

"Unda yah, ukan ate." Kata pria kecil itu yang ternyata bernama Kenzi.

Mas Yoga mengangguk dan tersenyum, "Iyah bunda, sekarang Kenzi keluar dulu ya."

"Oke." Kenzi berlari keluar kamar.

"Maaf sebelumnya mbak Zia." Kata mas Yoga mengawali pembicaraan dan matanya menatapku. Mata tajam seperti milik mas Alvand. Mas Alvand? Lagi dan lagi aku masih terus saja mengingatnya.

"Zia, panggil saya Zia saja tak perlu mbak." Kataku.

"Okey, kalau begitu obrolan kita juga nggak usah formal ya, pakai aku kamu saja biar lebih enak, Zia juga boleh panggil namaku saja." Katanya dan aku mengangguk.

"Maaf kalau putraku tadi memanggilmu dengan sebutan bunda, karena jujur wajah kamu mirip dengan istri aku dan mungkin Kenzi sedang merindukannya."

"Maaf kalau boleh tahu, bundanya Kenzi ke mana?"

"Sudah di atas sana, bersama putra kedua kami." Jawabnya sambil menunjuk ke atas dan aku pun mengerti apa maksudnya itu, aku tak ingin banyak bertanya karena menurutku itu hal yang sensitif.

"Oya, tujuan Zia ke Brebes ngapain? Apa mau ke rumah saudara?" Aku diam menunduk, aku pun bingung akan ke mana.

Aku menatap pria di depanku, "Mas Yoga bisa bantu Zia?" Akhirnya dengan sangat terpaksa aku meminta bantuannya, karena aku yakin dia orang baik, mas Yoga mengangguk.

"Tolong carikan Zia kontrakan, nggak satu rumah juga nggak apa yang penting bisa buat Zia tinggal, sambil Zia mencari pekerjaan." Kataku jujur.

"Kalau begitu tinggallah di sini, Zia lulusan apa? biar aku bantu carikan pekerjaan."

"Terima kasih mas, tapi Zia mau kos saja, Zia S1 mas, di Jakarta Zia jadi guru, tapi ijazah Zia nggak ke bawa, jadi kerjaan apa saja yang penting halal dan nggak terlalu berat, karena Zia sedang hamil." Dia tampak terkejut mendengar kata terakhirku.

"Hamil? Suami kamu?" Tanya mas Yoga dengan wajah terkejutnya.

Aku tersenyum, "Dia di Jakarta, Zia pergi dari rumah, makanya nggak sempat bawa baju juga ijazah Zia, ada masalah antara Zia dan suami yang nggak bisa Zia ceritakan." Kataku dan mas Yoga mengangguk mengerti.

"Nanti coba aku carikan kos, kalau kerja mudah - mudahan tanteku bisa bantu, kalau nggak di sekolah ya paling enggak, mungkin kamu bisa ngajar les atas rekomendasi tante aku."

"Terima kasih mas Yoga, maaf karena Zia kembali merepotkan mas Yoga."

"Santai saja Zia, kalau begitu aku pergi dulu, kalau lapar di dapur sudah ada masakan, di rumah ada Kenzi dan susternya."

Aku mengangguk, mas Yoga melangkah pergi keluar kamar. Aku bersyukur masih ada orang baik yang mau menolongku, semoga saja di sini aku bisa hidup tenang membesarkan anakku.

Kapten Alvand ( Tersedia Ebook )Where stories live. Discover now