Kejutan menyakitkan

5.3K 329 2
                                    

Tak terasa tiga bulan sudah, aku menjalani kehidupan rumah tanggaku bersama mas Alvand dengan sangat bahagia. Meskipun mas Alvand belum juga mengatakan jika dia mencintaiku, tak masalah bagiku, karena sikapnya padaku makin hari makin manis.
Aku bersyukur kesalahpahaman antara aku dan mas Alvand dulu, sudah terselesaikan dengan baik tanpa berlarut - larut.

Aku sedang duduk di ruang guru, sejak tadi pagi tubuhku rasanya lemas, sudah beberapa hari ini perutku juga mual, rasanya sungguh tak nyaman.

"Bu Zia sakit ya? Wajahnya pucat sekali." Kata Bu Reta mendekatiku.

"Nggak tahu Bu, rasanya lemas dan mual, sepertinya asam lambung saya naik." Kataku, karena memang aku memiliki masalah asam lambung yang sering kambuh jika telat makan.

"Jangan - jangan Bu Zia hamil." Aku terkejut mendengar perkataan Bu Reta, tak terasa sudut bibirku terangkat, benarkah aku hamil?
Aku menyentuh perutku, mengingat kembali apa tamu bulananku sudah datang apa belum dan seingatku belum, berarti? Aku menatap Bu Reta yang tersenyum padaku.

"Pulang ngajar langsung ke Rumah Sakit, semoga benar kalau Bu Zia hamil." Kata Bu Reta lagi sambil mengusap bahuku, aku mengangguk.

"Aamiin, doakan ya Bu." Kataku tersenyum, yang juga di balas dengan senyuman hangat Bu Reta yang penuh keibuan.

Selesai mengajar aku segera memesan taxi untuk ke Rumah Sakit, mas Alvand sedang ada kunjungan dan Hafiz juga ikut serta, jadi hari ini aku memang tak ada jemputan.

Taxi datang dan aku segera memasukinya, "Rumah Sakit ABDI ya pak." Kataku pada sopir taxi.

"Baik Bu.”

Jantungku sudah berdegup kencang, tanganku bahkan sudah terasa dingin. Semoga saja aku benar - benar hamil, mas Alvand pasti bahagia karena dia selalu mengatakan ingin segera memiliki Alvand junior.

Taxi sampai di Rumah Sakit aku segera membayarnya, keluar taxi berjalan menuju poli kandungan. Sepanjang jalan seperti biasa, para dokter dan perawat yang mengenalku sebagai menantu keluarga Abhimanyu, pemilik Rumah Sakit ini menyapaku ramah dan aku balas dengan senyuman.

"Bu Alvand, ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah satu suster saat aku sudah sampai di depan poli kandungan.

Aku mengangguk, "Saya mau bertemu dokter Obsgyn, di dalam siapa?" Tanyaku.

"Kebetulan hari ini yang praktik dokter Vina Bu, setelah ini ibu langsung masuk saja" Jawabnya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, terima kasih sus tapi saya tunggu sesuai antrean saja." Kataku.

"Tapi Bu."

"Nggak apa sus, santai saja." Aku berjalan menuju kursi tunggu.

Meski aku menantu pemilik Rumah Sakit dan juga kakak ipar dari dokter yang sedang praktik di dalam, aku harus antre. Semua sama tak ada yang istimewa, begitu juga denganku.

Sudah 3 jam lebih aku menunggu, bukan rahasia lagi jika Vina atau Mommy yang praktik, pasien memang sangat banyak karena mereka sangat enak di ajak konsultasi, setelah ini giliranku.

"Mbak Zia!" Aku menoleh, Vina berdiri di depan pintu praktiknya tersenyum dan melambaikan tangannya.

Aku berjalan mendekatinya, seperti Vino maka Vina pun sama setiap bertemu denganku akan mencium punggung tanganku.

"Kenapa nggak langsung masuk saja sih, untung suster bilang." Kata Vina sambil membawaku masuk ruangannya.

"Nggak apa dik, mbak juga ‘kan pasien, jadi harus ikut mengantre." Kataku tersenyum.

"Ish mbak Zia ini, mbak menantu kesayangan pemilik Rumah Sakit dan juga kesayangan Vina jadi bukan pasien biasa, mbak pasien VVIP." Kata Vina membuatku tertawa.

"Oke, sekarang katakan mbak datang ke sini mau konsultasi atau ... "

"Mbak mau memastikan saja dik, apa mbak benar hamil. Tadi di sekolah rekan guru mbak bilang, mungkin mbak hamil karena lemas, mual dan mbak juga belum haid dik." Jawabku dan adik iparku tersenyum lebar.

"Aamiin mbak, sus tolong siapkan tespack, mbak Zia ikut suster ya." Kata Vina dan aku mengangguk, berjalan mengikuti suster yang memberiku tespack.

Aku keluar dari kamar mandi membawa tespack yang langsung di minta Vina, dia sudah tak sabar melihat hasilnya.

"Aaaa mbak Zia! Vina bakal punya keponakan." Katanya yang berdiri lalu memelukku, aku terkejut mendengar perkataan Vina. Aku hamil? Benarkah? Terima kasih ya Allah.

Tak terasa air mataku berjatuhan, aku bahagia sekali akhirnya apa yang mas Alvand dan aku nantikan hadir juga dalam rahimku. Vina melepaskan pelukannya, dia tersenyum dan menghapus air mataku.

"Selamat mbak Zia, Vina ikut bahagia bahkan sangat bahagia."

"Terima kasih dik."

"Sekarang mbak naik ke bed, Vina mau lihat keponakan Vina sudah sebesar apa." Vina menuntunku untuk naik ke atas bed, suster mengoleskan gel pada perutku dan Vina yang duduk menghadap monitor, tak lama menyentuhkan alat USG di perutku.

"Aduuhh keponakan Aunty sudah gede ya, sudah 7 minggu mbak." Kata Vina, aku menatap layar di depanku, memperlihatkan titik hitam yang kata Vina itu janinku.

Aku tersenyum melihatnya, terima kasih Ya Allah sudah mengabulkan doaku juga doa mas Alvand untuk memiliki momongan.

Selesai USG aku kembali duduk di depan Vina yang sedang menuliskan sesuatu, mungkin resep Vitamin.

"Sus tolong tebusin resep ini." Kata Vina pada suster.

"Mbak saja dik." Vina menggeleng dan suster pun menerima resep dari Vina.

"Kenapa abang nggak antar mbak Zia?"

"Lagi ada kunjungan, dik jangan beri tahu mas Al atau orang rumah dulu ya, soalnya mbak mau kasih kejutan buat mas Al." Kataku dan Vina tersenyum menggodaku.

"Ciee kejutan, okelah kalau begitu Vina akan diam saja, memangnya kapan mau kasih tahu abang mbak?"

"Sepulang dari sini dik." Vina mengangguk.
Aku pamit pulang, setelah suster datang membawa Vitamin, sambil menunggu taxi datang aku menelefon suamiku.

"Assalamualaikum dik.”

"Waalaikumsalam mas, sudah pulang apa belum?"

"Ini lagi di jalan sebentar lagi sampai, kenapa? Kamu belum pulang?"

"Lagi nunggu taxi mas, ya sudah sampai jumpa di rumah, Zia ada kejutan untuk mas."

"Oya, apa dik?"

"Kalau kasih tahu sekarang namanya bukan kejutan mas."

"Iya deh iya mas tunggu, sudah dulu ya kamu hati - hati di jalan, Assalamualaikum."

"Iya mas, Waalaikumsalam"

Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam tas, rasanya sudah nggak sabar buat kasih tahu mas Al tentang kehamilanku ini. Taxi datang dan aku segera memasukinya, sepanjang perjalanan tak hentinya aku tersenyum dan bersyukur karena aku hamil, semoga saja dengan kehamilanku ini makin menguatkan hubunganku dengan mas Alvand, perlahan dia bisa mencintaiku seperti aku yang sudah lebih dulu mencintainya.

Taxi berhenti di depan gerbang asrama, aku turun dan berjalan memasuki asrama menyapa Om tentara yang sedang berjaga. Lampu - lampu sudah menyala karena magrib juga sudah lewat.

"Mbak Al wajahnya berseri amat, lagi bahagia ya?" Aku menoleh ke sampingku, Om Hafiz yang menaiki motor menyapaku, aku tersenyum.

"Sangat bahagia Om, sampai kapan?" Tanyaku.

"Baru saja mbak, boleh dong bagi – bagi, apa yang sudah membuat mbak Al bahagia."

"Nanti kalau mas Alvand sudah tahu ya, karena mas Alvand yang berhak tahu lebih dulu."

"Tunggu biar Hafiz tebak, Mmm mbak Al hamil ya?" Tanya Om Hafiz tepat sasaran dan aku tersenyum.

"Waaahh selamat mbak Al, kalau begitu ayo Hafiz antar, ‘kan mbak nggak boleh cape, nggak baik juga bumil malam - malam jalan sendirian di luar." Aku mengangguk dan menaiki motornya.

"Mbak tadi kata sertu Ali ada tamu perempuan mau ke rumah mbak Al, siapa mbak? Kalau mbak Vina semua sudah kenal."

"Nggak tahu Om, coba nanti mbak tanya mas Al.” Kataku yang di angguki Om Hafiz.

Sampai depan Rumdin aku segera turun dari motor dan mengucapkan terima kasih, Om Hafiz juga pergi melajukan motornya, aku memasuki rumah yang lampunya sudah menyala berarti memang benar mas Alvand sudah pulang, aku berjalan menuju kamar, tapi ko gelap? Tumben sekali.

"Terima kasih, mas bahagia sayang." Deg jantungku nyaris lepas saat mendengar suara seperti mas Alvand, sedang berbicara di dalam dan tadi apa? Sayang? Mas Alvand dengan siapa?

Aku penasaran, langsung aku buka pintu kamar dan aku nyalakan lampu kamar, betapa terkejutnya aku melihatnya.

Dua orang manusia berbeda kelamin hanya memakai handuk sedang berpelukan, lebih tepatnya perempuannya yang memeluk dari belakang.

"MAS ALVAND!" Teriakku.

Mas Alvand menoleh dan tampak terkejut melihatku.

"Dik kamu, loh ini siapa." Kata mas Alvand melepaskan pelukan perempuan itu.

"Mitha." Mas Alvand dan aku sama - sama terkejut.

"Kenapa bisa kamu di sini?" Tanya mas Al.

"Kamu sendiri yang memintaku datang Al, kamu lupa apa yang sudah kita lakukan? Jangan karena ada istrimu kamu jadi amnesia Al." Kata bu Mitha.

Maksud Bu Mitha apa? Apa yang sudah merek berdua lakukan? Apa mereka? Astagfirullah, tega sekali kamu mas.

"Kamu ngomong apa sih Mit." Sentak mas Al, dia mendekatiku dan menggenggam kedua tanganku erat.

"Dik, mas berani bersumpah kalau mas nggak ngapa - ngapain sama Mitha, percaya sama mas dik, mas kira itu kamu yang akan memberi mas kejutan." Kata mas Alvand menatapku, aku sendiri masih syok dengan semua yang aku lihat, aku bingung harus apa.

"Jahat kamu Al, setelah puas merenggut kesucianku kamu pura - pura lupa? Bu Zia, lihat ranjang itu bahkan masih berantakkan ulah suamimu dan aku." Aku menatap ranjang yang memang berantakan, dan noda merah pada seprei putihku, membuat dadaku makin sesak.
Air mataku sudah keluar dengan kurang ajarnya, aku menatap mas Alvand yang masih menggenggam tanganku.

"Tega kamu mas, kamu menuduhku selingkuh dengan kak Agam, tapi ternyata kamu sendiri yang selingkuh, jijik aku mas, ceraikan aku." Aku mengentak tangan mas Alvand dan segera keluar rasanya tak sanggup lagi, sakit sekali seperti tertusuk ribuan anak panah.

"Dik dengar mas, kamu salah paham dik." Mas Alvand mengejarku, menarik tanganku dan memelukku tapi aku berontak melepas pelukannya.

"Jangan sentuh aku mas." Teriakku.

"Dik, mas ... “

"Ada apa ini?" Aku menoleh ke pintu yang ternyata ada Bang Andi, Vino dan Om Hafiz.

"Kenapa mbak Zia menangis bang?" Tanya Vino yang mendekat dan aku langsung memeluknya menumpahkan air mataku. Ini pertama kalinya, aku memeluk Vino adik iparku, aku tak peduli dengan tatapan semua orang, aku butuh ketenangan.

"Tenang mbak ada Vino, jangan menangis." Katanya sambil mengusap bahuku.

"Vin bawa mbakmu ke kamar." Kata Bang Andi tapi aku menolaknya.

"Kenapa mbak?" Aku belum menjawab, Bu Mitha keluar kamar sudah memakai pakaiannya, membuat tiga pria yang baru datang ini terkejut.

"Pulang ke rumah Mommy ya mbak, bang Hafiz boleh minta tolong antarkan mbak Zia? Ada yang ingin Vino bicarakan sama mereka berdua." Kata Vino dengan nada suara tegas, terdengar menakutkan.

"Ayo mbak Al." Ajak Bang Hafiz dan aku mengikutinya berjalan keluar.

"Dik dengar dulu, kamu salah paham dik." Lagi dan lagi mas Al mencekal tanganku.

"Cukup Al, biarkan Zia di rumah Ayah Dhika, kamu selesaikan urusanmu dengan wanita itu, jangan sampai buat malu kesatuan Al." Perkataan Bang Andi membuat mas Al melepaskan cekalannya.

Aku kembali berjalan keluar menaiki mobil bersama Om Hafiz, hatiku sungguh hancur lebur. Rencana akan memberikan mas Alvand kejutan, malah aku yang mendapat kejutan, kejutan menyakitkan.

Kenapa mas Alvand tega melakukan itu semua, setelah hari – hari indah yang sudah kita lewati bersama. Kenap mas Alvand membawaku terbang tinggi ke atas awan, kalau akhirnya menjatuhkanku ke dalam jurang terdalam. Apa mas Alvand tidak bisa menghargai perasaanku? Aku yang sudah jatuh cinta begitu dalam padanya, aku yang sudah menyerahkan segalanya untuk mas Alvand, inikah balasannya? Sebuah pengkhianatan yang tak pernah sedikit pun terlintas dalam pikiranku.

Aku pikir sikap manis mas Alvand selama ini, karena dia sudah memiliki perasaan yang sama denganku, hanya menunggu waktu untuk mengungkapkannya padaku. Tapi nyatanya ini yang aku dapatkan, sungguh miris nasibku ini, menerima lamaran dadakan dari pria yang aku pikir pria baik – baik, namun kenyataannya dia sama saja dengan pria brengsek lainnya yang hanya bisa menyakiti.

Aku memejamkan mata, mengingat semua kenangan manisku dengan mas Alvand, kenangan manis yang saat ini berbalik menjadi kenangan yang sangat menyakitkan, setiap kenangan itu benar – benar seperti sayatan kecil dalam hatiku yang semakin banyak dan semakin menganga lebar.

Kapten Alvand ( Tersedia Ebook )Where stories live. Discover now