Hati yang memilih

5.5K 432 0
                                    

Alvand Putra Mahendra

Selesai shalat maghrib, aku bersiap karena harus menjemput bu guru di rumahnya, semoga saja semua rencana yang aku susun malam ini berjalan dengan lancar, bismillah niat baik insyaAllah Allah meridhoi. Aku menarik nafas dalam – dalam dan menghebuskannya perlahan, menetralkan rasa gugup yang tiba – tiba saja datang. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, turun ke lantai satu saat rasa gugup ini sudah sedikit berkurang.

“Abang mau kemana? Kondangan ya? Ko Vina nggak di ajak.” Suara adikku yang cantik, langsung menyambutku saat aku berjalan menuruni tangga.

“Nggak kok.” Jawabku sambil tersenyum.

“Terus mau kemana?”

“Kepo, princess abang.” Jawabku sambil mengacak rambutnya, saat sudah berada di depannya.

“Isshh abang, sudah main rahasia – rahasiaan ya sama Vina.” Aku tertawa, mencubit pelan pipi adikku yang menggemaskan jika merajuk.

“Katanya mau kakak ipar.” Kataku yang sukses membuat Ayah, Mommy dan Vina menatapku, aku tahu mereka terkejut karena baru kali ini aku berkata seperti itu.

Berulang kali Mommy dan Ayah menanyakan aku yang tak juga mengenalkan calis, Mommy sampai berniat menjodohkanku, tapi syukurnya sebelum aku protes, Ayah dan si kembar yang terlebih dahulu protes, menolak ide Mommy.

Vino bilang, “Mommy, sekarang bukan lagi jaman jodoh – jodohan, Mommy kira era Sinur yang serba di jodohkan.”

“Sinur?”

Vino mengangguk, “Iya Sinur alias Situ Nurbaya.” Jawabnya sambil tertawa dan Mommy pun langsung melempar jeruk ke arahnya, diantara kami bertiga, Vino memang paling suka menggoda Mommy dan Vina.

“Abang serius?” tanya Vina, aku tersenyum dan mengangguk.

“Do’akan abang, agar berhasil meyakinkannya, kalau dia menerima abang, malam minggu nanti akan abang bawa ke rumah.”

“Pasti Vina do’akan, semangat berjuang bang.” Katanya membuatku terkekeh dan kembali mengacak puncak kepalanya.

“Yah, Mom abang pamit dulu ya.”

“Iya hati – hati dijalan jagoan Ayah, semoga berhasil karena Ayah sudah ingin menimang cucu.” Aku tersenyum dan mengangguk.

“Insya Allah.” Jawabku, mencium kening Vina, menyalami Ayah dan juga Mommy.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku keluar rumah menuju mobilku dan melajukannya, menuju rumah gadis yang siang tadi sudah aku ajak untuk makan malam, rumah bu guru cantik. Aku tak salah menyebutnya cantik karena dia memang cantik, aku masih ingat tadi siang, saat pintu ruang tamu sekolah terbuka dan masuk gadis berhijab yang diam mematung menatapku.

Gadis berhijab warna dusty, dengan mata indahnya yang terus menatapku, wajahnya putih bersih meski tanpa polesan make-up, bibir tipisnya yang dipoles warna nude terlihat sangat imut untuknya, tak perlu heran darimana aku tahu itu warna nude, karena aku selalu diajak Vina belanja makeup. Hidungnya cukup mancung, sangat pas untuknya.

Aku tersenyum jika mengingat kejadian tadi, bukan hanya aku yang terkejut, karena seperti melihat bidadari turun dari langit, tapi dia pun tampaknya terkejut melihatku.

Jantung ini berdetak makin cepat saat tangan lembutnya menyambut uluran tanganku, hangat aku rasakan di sekujur tubuhku dan baru kali ini aku merasakan rasa seperti ini. Aku tak mau gegabah mengatakan jika aku sudah jatuh cinta padanya, karena baru pertemuan pertama kami, masih belum cukup untuk menyimpulkan bahwa ini cinta, aku belum mencintainya tapi hatiku sudah memilihnya, jauh sebelum aku melihat wajah cantiknya.

Mobilku berhenti, di depan sebuah rumah sederhana yang siang tadi sudah aku datangi, aku mematikan mesin mobil dan turun menuju pintu rumah.

Aku mengetuk pintu rumah beberapa kali, hingga perlahan pintu terbuka dan keluarlah gadis cantik dalam balutan gamis berwarna hitam berhias permata kecil dan list gold, jilbab warna mocca, dia cantik bahkan sangat cantik, malam ini dia memoles wajahnya dengan makeup tipis dan membentuk alisnya dengan sangat indah.

Aku benar – benar dibuat terpesona dengannya, jantungku dengan nakalnya seperti ingin loncat keluar, aku berani bersumpah baru kali ini aku merasakan debaran dan rasa gugup yang melebihi apapun, bahkan gugupnya melebihi saat aku sedang diuji tugas akhir sebagai syarat mutlak lulus Taruna Akmil.

“Assalamualaikum.” Suara lembutnya menyadarkanku, aku di buat salting olehnya, aku beberapa kali menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal.

“Waalaikumsalam.” Jawabku tersenyum, “Kita berangkat sekarang?” tanyaku dan dia mengangguk.

Aku mepersilahkan bu guru untuk jalan terlebih dahulu, sampai di mobil aku membukakan pintu dan mepersilahkannya untuk masuk.

“Terima kasih.” Jawabnya dan aku hanya mengangguk saja, menutup pintu mobil dan berjalan memutar ke depan sambil sesekali membuang nafas, menetralkan rasa gugupku, hingga akhirnya aku masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi dan melajukannya.

Sepanjang perjalanan hanya ada kesunyian, aku bingung harus bicara apa karena ini kali pertamanya aku satu mobil dengan gadis yang baru aku kenal, apalagi gadis itu sudah berhasil mmbangkitakan desiran aneh dalam tubuhku.

Sampai di Restoran, setelah memarkirkan mobil, aku dan bu guru berjalan bersisian memasuki restoran. Aku menyadari, banyak pasang mata yang menatap ke arah kami, mungkin mereka terpesona oleh kecantikkan bu guru, aku tak mempedulikannya.

Aku mempersilahkan bu guru untuk duduk, dengan menarikan kursi untuknya, walau aku tak berpengalaman soal pacaran, untuk hal kecil seperti ini aku cukup tahu, karena pernah di kasih tahu Vino, katanya ini salah satu usaha menyenangkan hati seorang wanita. Memang tak salah jika dia mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai pejuang cinta, dia sangat pandai membuat wanita manapun baper.

Pramusaji  datang membawa menu book dan aku menyerahkan pada bu guru.

“Mau pesan apa bu guru?” tanyaku, dia pun menerima menu book yang aku sodorkan dan mulai memilih apa yang akan dia pesan.

Fettucini Carbonara Smoke Beef, minumnya air mineral saja.” Aku mengangguk dan memesan pada pramusaji.

Menunggu pesanan datang kami masih saling diam, sibuk dengan pemikiran masing – masing, aku bingung untuk memulai pembicaraan. Malam ini aku memang sudah berniat mengutarakan keinginanku untuk melamarnya, tapi aku bingung harus berbicara apa dulu, karena ini pengalaman pertamaku mengajak seorang gadis untuk menjalin sebuah komitmen.

Pesanan datang dan kami makan dalam diam, aku sesekali mencuri pandang gadis di depanku, sambil menata hati dan juga merangkai kata untuk mengungkapkan niatku setelah selesai makan nanti.

“Ekhem, maaf bu guru ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan ibu.” Kataku mengawali pembicaraan setelah selesai makan, aku menatap gadis di depanku yang masih saja menunduk, membuatku gemas ingin mengangkat dagunya agar bisa menatapku, apa aku kurang tampan hingga dia tak mau menatapku? Tapi seingatku, banyak yang bilang aku tampan seperti Daddy Gavin, tapi kenapa gadis di depanku selalu menunduk.

“Silahkan. “ jawabnya tanpa menatapku.

“Sebelumnya saya minta maaf mungkin ini terlalu cepat buat bu guru, mengingat kita baru 2x bertemu, tapi saya sudah mantap untuk mengatakan ini.” Aku menjeda perkataanku, rasanya jantungku jedag jedug tak karuan, aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, jangan sampai bu guru tahu aku sedang gugup, malu ‘kan aku.

“Bu guru, saya ingin menjalin komitmen bersama ibu, bukan komitmen seperti anak muda yang bernama pacaran, tapi komitmen untuk membangun sebuah rumah tangga, saya ingin melamar bu guru untuk menjadi Ibu Persit saya, mendampingi saya mengabdi pada negara dan juga menjadi Ibu dari anak – anak saya.” Aku mengeluarkan cincin dari saku celana dan menyerahkannya pada gadis di depanku.

Dia menatapku, sangat terlihat jika dia terkejut mungkin karena lamaran dadakan ini. Aku tersenyum, “Ibu nggak harus jawab sekarang, tapi saya mohon terimalah cincin ini, jika ibu menerima saya, hari sabtu nanti saya mau lihat ibu memakainya, tapi jika ibu menolak saya, maka simpan dengan baik cincin ini anggap sebagai hadiah persahabatan dari saya.”

“Maaf kenapa tiba - tiba melamar saya? Kita belum saling mengenal, anda belum tahu saya, begitu juga saya belum tahu apa – apa tentang anda, apa lamaran ini permintaan pak Ardan? karena beliau ingin membalas jasa Ayah saya, yang sudah menyelamatkan cucu perempuannya?”

Aku tersenyum dan menggeleng, “Bukan, ini murni dari saya pribadi bukan karena permintaan Opa. Bu guru benar kita belum saling mengenal, kita bisa belajar saling mengenal setelah menikah nanti, bukankah itu lebih indah dan pastinya mendapat pahala juga? Saya sudah cukup tahu siapa bu guru, sebelum saya meyakinkan diri saya untuk melamar ibu.”

“Kalau ibu mau bertanya apa saya mencintai ibu? maka saya jawab jujur belum, saya belum mencintai bu guru, tapi saya akan berusaha belajar mencintai ibu setelah menikah nanti, karena jujur saya tak pernah mau pacaran, saya ingin merasakan pacaran saat sudah sah dengan kekasih halal saya. Lalu, kenapa saya berani melamar ibu jika saya belum mencintai ibu? maka jawabannya hati saya yang memilih ibu, hati saya yang menginginkan ibu dari pertama kali saya mendengar cerita tentang ibu dari Opa.”

“Apa anda merasa kasihan dan iba dengan saya?”

Aku kembali menggeleng, “Bukan, semua karena hati saya mengatakan ibulah perempuan yang tepat untuk mendampingi saya, ibu wanita yang selama ini saya cari, wanita yang gigih berjuang tanpa mau menerima bantuan dari siapa pun, saya merasa jika kita memiliki banyak kesamaan, salah satunya ingin sukses dengan perjuangan sendiri tanpa bantuan siapa pun, jadi bukan karena rasa kasihan atau iba seperti yang ibu katakan.”

“Bagaimana anda bisa seyakin itu? pernikahan bukan untuk main – main dan saya nggak mau gagal dalam pernikahan, karena yang saya mau menikah sekali seumur hidup.”

“Karena hati saya tak pernah salah menilai, saya juga sama hanya mau sekali seumur hidup, saya hanya mau satu wanita yang bertakhta di hati saya, wanita yang jelas sudah halal untuk saya dan dipilih hati saya.” Kataku dengan yakin dan terus menatapnya, “Maaf, apa bu guru sudah punya kekasih?” tanyaku dan dia menggelengkan kepalanya, lega rasanya hati ini dengan jawabannya itu, walaupun sebenarnya aku sudah tahu jika dia saat ini sedang sendiri.

“Hari sabtu ibu pulang mengajar jam berapa?”

“Jam 12 siang.” Jawabnya.

“Hari sabtu saya jemput ibu ya, saya berharap sudah ada jawaban atas lamaran saya ini.” Kataku lagi dan dia mengangguk.

Selesai berbincang aku mengantarkannya pulang, masih sama seperti tadi saat berangkat, sepanjang perjalanan kami diam tanpa ada pembicaraan apa pun, hingga mobil sampai di depan rumah gadis di sampingku ini.

"Terima kasih sudah mengajak saya makan malam dan mengantarkan saya pulang." katanya yang masih saja menunduk, aku makin gemas dibuatnya, kenapa dia suka sekali menunduk, berbeda dengan gadis pada umumnya yang malah menatap dengan memuja jika sedang berada di depanku.

"Sama - sama bu guru." jawabku.

"Kalau begitu saya permisi." dia membuka pintu mobil, belum sempat turun aku menahan tangannya dan dia pun tampak terkejut menatapku.

"Saya sangat berharap, sabtu nanti bisa melihat bu guru memakai cincin itu, saya serius sama ibu." Aku menatapnya dan tersenyum, "Good night, Ms. Zia, have a nice dream tonight."

"Good night too." jawabnya sambil tersenyum dan turun dari mobilku memasuki rumahnya.
Aku melajukan mobil untuk kembali ke rumah, semoga saja hari sabtu nanti aku mendapat jawaban sesuai dengan keinginanku, aku ingin segera menghalalkannya, menjadikan dia ibu Persitku.

💕💕💕
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
😊😘
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
🥰💞


Kapten Alvand ( Tersedia Ebook )Where stories live. Discover now