14

18 16 2
                                    

Levina menatap Defa tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Defa menatap lurus ke depan dan melihat banyaknya gedung-gedung yang menjulang tinggi. Mereka terdiam beberapa saat sampai akhirnya Levina memecahkan keheningan yang terjadi.

"Apa kau tahu siapa dia?" tanya Levina

Defa menoleh padanya, "Aku tidak yakin."

"Jadi, apa yang sudah kau ketahui sejauh ini?"

"Entahlah, seperti yang terlibat bukan satu orang saja. Yang jelas, saat ini aku mencurigai kepala sekolah," terang Defa.

Gludung ...

Sebuah tong sedang yang tertumpuk di samping sebuah mesin pemanas air tiba-tiba terjatuh. Mereka langsung menoleh ke arah suara dan mendapati Rafael yang sedang jongkok di sana dan berusaha mengambil kembali tong itu untuk menutupi dirinya.

"Rafa?" Levina dan Defa saling menatap kemudian mendekati Rafael.

"Kau sedang apa? Menguping?" tanya Defa.

Rafael segera berdiri dan gelapan, ia menggaruk tekuknya yang tidak gatal.

"Emm ..." Rafael tidak dapat memikirkan alasan yang tepat karena ia sama sekali tidak menduga hal itu terjadi. "I-itu ..."

Levina mengangkat sebelah alisnya, sedangkan Defa menatap Rafael dengan datar. Rafael sangat tidak menyukai situasi seperti ini. Ia bukan tipe orang yang spontan, segala sesuatu harus direncanakan terlebih dahulu.

"Katakan apa maksud kau menguping pembicaraan kami?" tanya Levina.

"Ma-maaf, aku hanya ... curiga pada Defa ..." jelas Rafael.

"Curiga padanya? Kenapa?" tanya Levina.

Rafael menatap Defa juga Levina bergantian dan berkata, "Emm tidak ada. Kalau begitu aku permisi."

Rafael segera pergi dari sana dan meninggalkan mereka berdua yang masih bingung dengan tingkahnya. Kemudian Levina mengangkat bahunya dan memutuskan untuk pergi juga. Meninggalkan Defa sendirian di sana.

Sebuah nada dering terdengar di telinga, Defa segera mengambil ponselnya di saku celana dan mengangkatnya.

"Halo, iya?" ujar Defa menunggu jawaban dari seberang.

"Apa kau yang bernama Defa?"

Defa mengernyitkan alisnya, sebuah seuara perempuan yang asing di telinganya. Ia kemudian menjauhkan ponselnya dan melihat siapa meneleponnya, tetapi sebuah nomor tak dikenal malah terpampang pada layar.

Defa kembali meletakkan ponselnya di telinganya, "Iya, maaf anda siapa ya?"

"Bisakah kita bertemu? Ada hal penting yang ingin aku sampaikan, akan aku kirimkan alamatnya. Tut." Perempuan itu memutuskan sambungan telepon bahkan sebelum Defa mengiyakan ajakannya.

"Siapa sih?" gerutu Defa.

Beberapa saat kemudian, sebuah notif muncul dan ia pun membukanya.

Besok sore, jam 5 datang ke café PPP. Aku tunggu!

Defa kemudian menghela napasnya dan mematikan ponselnya, lalu berjalan turun keluar dari rooftop.

***

"Apa?" tanya Clara tak percaya dengan cerita Levina barusan. "Wow, aku baru tahu lho, dia gak pernah cerita soalnya," celutuk Clara kemudian.

DandelionWhere stories live. Discover now