04. diperiksa pak dokter

Start from the beginning
                                    

Huh sampai iya, rasa benciku nambah berkali-kali lipat. titik!

"Kamu sudah berhasil melewati masa kritis, selamat. Tinggal nunggu pemulihannya."

Gak usah sok peduli!!!

"Kalau begitu saya permisi. Semoga lekas sembuh."

Lah? Udah? Cuma gitu doang? Dia keluar ruanganku dengan langkah santainya. Beneran dia ga ingat siapa aku??

Wah ga bisa dibiarin. Dateng-dateng kerjaannya cuma ganggu terus ngilang pas udah sayang-sayangnya, eh?

Otak gue ikut kegeser nih pas kecelakaan kemarin.

Tadi apa katanya ya? Aku berhasil melewati masa kritis? emang aku kritis?! Omg separah itukah aksi Limbat ku? Kira-kira aku kritis berapa hari ya? Mamah tau ga ya kalau aku kritis?

"Mamah..." Aku memanggil nama Mamah dengan suara yang lemah. Kering banget ini tengorokanku. ingin minum tapi lemes. nasib... nasib.

Andai ada Mamah di sini, aku ingin manja-manja sama Mamah.

Oke! untuk semalam ini aku harus banyak-banyak istirahat. Agar besok lebih seger. Lalu aku bisa gembor-gembor ke Mamah-Papah, Arumi-Alya kalau aku dirawat di rumah sakit, hampir mininggal karena nambrak beton jalan. Masalah yang maboknya ga akan ceritain ke Mamah-Papah lah, yang ada aku disuruh bayar rumah sakit sendiri ntar.

Aku bobok, semoga mimpi indah. Sialnya malah muka si cowok rese itu yang muncul!

What the hell?!

***

Cklek.

"RHETA!!"

"Mamah?!"

Aku yang terbelalak segera memutar posisi badanku menjadi tidur menghadap atas. Mamah datang dengan raut muka yang... ehm. You know lah.

"Kenapa bisa begini?!" tanya Mamah ngegas. Aku meringis.

"Sakit Mah..." rengekku semoga berhasil membuatnya luluh.

"Halah mabok-mabokan aja ga sakit!"

"Mamah..."

"Apa?! Benerkan apa kata Mamah? Kamu pasti abis mabok-mabokan. Sama siapa? Sama si Arumi-Arumi itu? Iya?"

"Bukan Arumi yang ajak, i-ini Rheta sendiri yang mau." Terpaksa deh aku jujur, takutnya Mamah salah paham sama Arumi. Mamah sedikit kurang suka sama Arumi meskipun kita udah sahabatan lama banget.

"Ck kamu ini Rheta." Mamah memijat pangkal hidungnya. Kayanya pusing banget deh punya anak kaya aku. Hiks. Maapin Rheta ya Mah.

"Mau sampai kamu kaya gini? Nunggu dijemput malaikat dulu, baru mau berhenti?!"

"Mamah kok omongnya gitu sih. Aku ga mau meninggal dulu Mah."

"Ya terus? Kelakuanmu aja ga beradab gini! Mabok itu bahaya Rheta, ga baik untuk tubuh kamu. Ga baik untuk kesehatan kamu. Kamu kan tau sendiri itu. Kamu juga anak kesehatan, kenapa ga tobat-tobat?!"

Aduh kayanya Mamah beneran marah besar sama aku. Sebelum-sebelumnya Mamah ga pernah secerewet ini. Mana segala bawa-bawa jurusan kuliahku lagi. Kan malu sama Mr.Galen, anaknya bandel begini.

"Iya Mah janji Rheta ga ulangi lagi."

"Janji-janji palsu. Bosen Mamah dengarnya." Mamah kini duduk di sofa, menaruh tas mahalnya lalu memejamkan mata.

Kasian banget Mamah, pasti capek banget dari German ke Indo.

"Mamah khawatir banget sama aku ya? Keliatan pusing gitu. Mamah terbang jam berapa tadi?" tanyaku sambil senyam-senyum kegeeran. Mengingat kepanikan Mamah.

"Mamah ga khawatir sama kamu. Mamah pusing mikirin biaya service mobil kamu. Tadi Mamah udah ke kantor polisi dan liat semuanya. Mamah juga udah ketemu sama dokter yang tanganin kamu."

Ck. Mamah malah lebih khawatirin mobilku!

"Tinggal minta Papah aja sih, Mah. Pake dipikir," sewotku kesal. Lagian masa lebih sayang ke uang daripada anak sendiri.

"Kamu itu. Ga kasian sama Papah apa? Udah tua dia. Harusnya kamu yang berhenti macem-macem. Jangan jadi beban keluarga terus. Mamah capek liatnya."

Hmm.

"Udah makan belum? Badanmu kok kurusan? Ntar ga dapet sua--"

"Belom." Aku buru-buru menyela ucapan Mamah. Paling males kalo udah bawa-bawa kata 'suami'. Merembet urusannya.

"Ya makanlah! Ga usah berpolah lagi ya kamu. Makan tinggal makan. Udah suster anter juga. Tinggal dimakan aja kok repot."

Hmm.

Selalu nih kalo sama Mamah aku olahraga mulut. Berdebat mulu. Ga tau tuh kenapa bisa aku tetep sebut-sebut Mamah waktu sakaratul maut kemarin.

Cklek.

"Selamat siang, ibu."

Aku liat Mamah menoleh. Aku memilih menatap jendela yang menampilkan langit cerah siang ini.

"Waktunya pemeriksaan siang ya bu."

"Iya silahkan suster," jawab Mamah.

Aku agaknya terjolak waktu tanganku diraih oleh seseorang. Hangat. Itu yang aku rasakan. Begitu ingin menoleh,

"Apa-apaan lo?!" Mataku melotot galak. Lalu menyentak tangan dokter itu.

Aduh! Malah tangan gue sendiri yang sakit!

Perasaan tadi cuma ada suara si suster doang. Kenapa sekarang malah ada dia? Dia dokter di sini juga?

Ihhhh kenapa harus dia sihh.

"Saya periksa sebentar." Suaranya berat tapi sopan banget masuk ke telingaku.

Aduh mikirin apasih lo Rheta. Dia musuh lo sekarang. Jangan kasih kendor!

"Ga usah. Sama dokter lain juga bisa, jangan elo!"

"Rheta."

Aku menatap protes ke Mamah.

"Dia dokter kamu. Jangan kurang ajar kamu," kata Mamah lagi.

Sumpah demi mimi peri paling cantik sedunia, aku benci banget situasi ini! Di mana aku sudah punya tenaga tapi aku ga bisa maki-maki cowok itu karena ada Mamah.

"Silakan dok, lanjutin aja. Anak saya udah jinak."

Aku mendengus melihat Mamah yang tebar senyum genit ke cowok itu. Cuih. Ternyata Mamah sama aja kaya yang lain. Aku kembali menatapi luar jendela daripada banget natapin dia.

Tanganku kembali dipegang dia. Gatau apa yang diperiksa sama dia. Lalu dia periksa ini-itu. Ditanya-tanyain juga, tapi aku males menjawab Kecuali kalau sudah Mamah pelototin.

Ada juga tahapan dia yang periksa dadaku pake alatnya yang bernama stetoskop.

Eh dada?

Anjrot dada gue!!!

Pak LinggarWhere stories live. Discover now