Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #2

Start from the beginning
                                    

"Macem-macem sih. Semuanya ada."

"Kita ke tengah aja," ajak Taka. Sebelumnya, ia pernah menyelusuri tempat ini.

Kunyalakan lampu senter di ponsel, untuk menyorot lantai. Takut ada pecahan kaca atau paku. Soalnya, itu jauh lebih bahaya.

Di bagian tengah, suasana lebih pengap. Apalagi banyak makhluk mulai mendekat. Terlebih bangsa Kuntilanak yang tidak tahan ketika melihat laki-laki. Dasar!

Kusorot ke atas, sebagian besar langit-langit sudah tak ada. Tembus langsung ke kerangka atap. Di sana sudah banyak makhluk yang duduk dan bergelantungan.

"Pusing banget ih," keluh Manda.

"Engap," sahut Hendra.

"Gw cuman merinding dikit ini di leher," ucap Galih.

"Jelasin dong, Mir. Ada apa aja!" pinta Taka.

"Di atas, ada banyak Kuntilanak lagi nonton," ucapku sambil menunjuk ke atas.

"Tuh di pojokan, ada Pocong lagi berjejer rapih," sambungku.

"Ada juga yang gosong, badannya gak lengkap dan siluman-siluman," sambungku lagi.

"Siluman apa?" tanya Fadil.

"Ular sama manusia setengah babi," balasku.

Di antara semua sosok yang kulihat. Aku masih penasaran dengan sosok yang membentakku tadi.

______

"Tidak usah ganggu kami!" Terdengar suara yang sama dengan sebelumnya. Spontan pandanganku beralih ke sumber suara itu. Berasal dari bagian lebih dalam area pasar. Yang sangat gelap dan tak terlihat apapun.

"Genderuwo," ucapku melalui batin, saat melihat sosok tinggi besar menampakan wujudnya.

"Maaf, kita di sini cuman sebentar aja," imbuhku menyambut kehadirannya.

"Pergi!" Genderuwo itu marah, matanya membesar dan memancarkan cahaya berwarna merah.

"Saya tidak takut sama kamu. Kita cuman sebentar aja di sini," balasku.

"Pergi atau ...." Genderuwo itu menghentikan ucapannya.

"Atau apa?" balas Si Hitam alias si Macan Kumbang yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Ngapain ke sini?" tanyaku pada si Hitam.

"Saya takut dia macam-macam," balasnya sambil menatap wajah Genderuwo itu.

"Tenang, jangan ribut." Aku berusaha menenangkan si Hitam. Soalnya jika terjadi keributan, efeknya akan dirasakan oleh teman-temanku.

"Iya, Mir." Si Hitam tetap tidak melepaskan pandangan dari Genderuwo itu.

"Jangan lama-lama, nanti Nyai marah!" ucap Genderuwo itu lalu menghilang dalam kegelapan.

"Nyai?" pikirku.

"Dia sosok penguasa area sini, Amir," balas Si Hitam.

"Ooo."

______

Tuk!

"Lu denger gak?" tanya Erwin, sambil menyorotkan kamera ponselnya ke salah satu sudut.

"Kagak," balas Taka.

"Denger gak, Mir?"

"Denger apa?"

"Kaya suara ketukan gitu, dari sini."

"Tikus kali," balasku.

"Masa sih." Erwin masih tidak percaya.

Hihihihi!

Terdengar suara tawa wanita melengking, tapi kecil sekali. Aku pun mendengar suara itu. Arahnya dari langit-langit. Ya ... paling ulah bangsa Kuntilanak.

"Nah pada denger gak?" tanya Erwin.

"Denger," balas yang lain, kecuali Wildan.

"Dan? Lu jangan ngelamun!" ucapku sambil menepuk pundaknya.

"Kagak, Mir," balasnya.

Huhuhuhu!

Kali ini terdengar suara isak tangis. Namun jaraknya tidak terlalu jauh dariku.

"Mir!" teriak Caca yang sedari tadi berdiri di dekat Manda. Sontak aku menoleh padanya. Ternyata suara tangis itu berasal dari Manda.

"Aduh ada yang masuk!" ucapku seraya menghampirinya.

Manda terus menangis. Tentunya itu bukan dia, melainkan Kuntilanak yang sedang merasukinya.

BERSAMBUNG

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now