Penari Ronggeng di Lantai Dua Pasar #1

Začať od začiatku
                                    

"Lama amat kalian!" ucap Manda menyambut ketiga temannya.

"Kenalin, ini Amir, Hendra sama Wildan," sambungnya memperkenalkan kami satu persatu.

"Yang ini Galih." Manda menunjuk temannya yang berbadan tinggi dan agak gemuk.

"Yang ini Caca." Kali ini teman wanitanya.

"Kalau yang ini Erwin."

"Salam kenal semuanya," ucapku, diikuti Hendra dan Wildan.

"Tadi lagi ngomongin apa, mukanya pada serius amat," tanya Galih.

"Ngomongin masalah dunia lain," sambar Wildan.

"Wah seru dong."

"Iya. SERU BANGET."

Aku, Hendra dan Manda hanya bisa tersenyum melihat tingkah Wildan.

"Ini si Amir anak Indomie, kalau mau tanya-tanya masalah begituan langsung aja," ucap Wildan. Sontak membuatku melotot padanya. Eh, dia malah tersenyum lebar.

"Anak Indomie?" tanya Caca.

"Indigo maksudnya, Ca," balas Manda.

"Oh yang bisa liat makhluk halus gitu ya?"

"Iya."

"Kagak ah. Sekarang aja gw gak liat begituan," elakku.

"Ya, lu tutup mata batinnya. Coba kalau dibuka. Bukannya manusia yang diajak ngobrol, malah Kuntilanak," sahut Hendra.

"Gw mau nanya dong!" ucap Erwin.

Aku menarik nafas panjang.

"Silahkan," balasku.

"Tau pasar yang di deket stadion?" tanyanya.

"Pasar Besar?" Aku memastikannya.

"Iya."

"Tau."

"Katanya di sana serem, Ya?"

"Serem gimana?"

"Itu lantai duanya, udah dua kali kebakaran terus. Anehnya lantai satunya aman-aman aja," ucap Erwin.

"Kata temen gw yang pernah iseng ke lantai duanya. Di sana serem banget, banyak setannya," lanjutnya.

"Lagian iseng ke tempat gituan," balasku.

"Sama kaya orang ini," sambungku seraya menunjuk Hendra.

Hendra pun hanya bisa tersenyum sambil menggaruk kepala.

"Tapi bener gak di sana banyak setannya?" tanya Erwin.

"Waduh, gw gak pernah ke sana. Jadi gak tau," balasku.

"Kan bisa diterawang, Mir," sahut Hendra.

"Kagak ah, capek."

"Ayolah, gw juga penasaran nih." Manda memaksa.

Terpaksa kubuka mata batin. Lalu menerawang ke pasar itu. Sebuah pasar yang cukup besar di kota ini. Makanya orang-orang menjuluki dengan Pasar Besar.

Apa yang dikatakan Erwin juga benar. Pasar ini sudah dua kali kebakaran. Setidaknya itu yang terjadi di zaman modern. Namun, kalau dihitung dari zaman dahulu kala, sudah lebih dari lima kali. Bahkan pernah memakan korban jiwa.

Aku tak punya gambaran yang jelas, kenapa pasar ini sering kebakaran. Bahkan sudah dibangun menjadi dua lantai pun kejadian itu tetap berulang. Sampai akhirnya, lantai dua tidak pernah digunakan lagi.

Jika ditanya, apakah di sana banyak makhluk halusnya? Ya, suatu tempat yang ditinggal bertahun-tahun dalam keadaan kosong, pasti akan banyak penghuninya.

"Gimana, Mir?" tanya Hendra saatku membuka mata.

"Ya emang banyak setannya," balasku.

"Ada apa aja?" tanya Erwin.

"Waduh gw gak sempet liat satu-satu. Pokoknya banyak aja."

"Gimana kalau malem ini, kita maen ke sana." Sebuah ide buruk diucapkan oleh Hendra.

"Mulai dah!" protesku.

"Boleh tuh, ide bagus," timpal Erwin.

"Yang lain gimana?" sambungnya.

"Gaskeun!" sahut Galih.

Kutatap wajah Manda. Berharap dia menolak ajakan Hendra itu.

"Lu gimana, Nda?" tanya Caca.

"Kalau lu ikut, gw sih ayo-ayo aja," balas Manda pada Caca.

"Gw pengen nyoba penelusuran gitu sih. Biar kaya yang di youtube," balas Caca.

Kini hanya tinggal Wildan harapan satu-satunya. Kutatap wajahnya dengan tatapan memelas.

"Gw juga ikut deh!" Belum ditanya, Wildan sudah menjawab. Pupus sudah harapanku.

"Nah ... pada mau semua tuh, Mir!" Hendra terlihat senang.

Terpaksa aku pun harus mengikuti keinginan mereka. Setelah selesai makan, kami berangkat menuju Pasar itu.

BERSAMBUNG

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now