Lupa Lepas Susuk #1

Start from the beginning
                                    

"Ih ... manggil gituan lagi!" gerutu Dina.

"Dia ganggu, Mir?" tanya Si Tebo.

"Sedikit. Usir, Bo!"

"Kamu bukannya bisa ngusir juga?" Si Tebo malah balik nanya.

"Bisa, tapi males."

"Uh!" Si Tebo mulai menggeram.

"Pergi atau saya kepang lehernya!" ancamnya.

Dina yang ketakutan langsung terbang menuju toilet kampus. Tempat biasanya ia tinggal.

"Udah?" tanya Si Tebo.

"Udah," balasku.

Dalam satu kedipan mata si Tebo sudah menghilang.

______

"Udah pergi, Mir?" tanya Hendra.

"Udah kok," balasku.

Baru mengobrol sebentar. Dari kejauhan terlihat Wildan sedang berjalan ke arah kami.

"Tuh, pacarnya Dina datang," ucapku.

Spontan Hendra menengok ke belakang, lalu tertawa.

"Napa pada ketawa?" tanya Wildan kebingungan, lalu duduk.

"Ngomongin gw, Ya?" tanyanya.

"Ih GEER! Kagak!" balas Hendra.

"Abis darimana sih, Dan? Lama amat diteleponin daritadi."

"Kuliah lah. Lu kira ngapain!" Wildan ngegas.

"Ooo," ucapku dan Hendra kompak.

"Lu ngapain pada di mari. Mending ke aula, Yuk!" ajak Wildan.

"Ngapain?" tanya Hendra.

"Anak paduan suara sama tari lagi latihan buat lomba provinsi."

Aku melirik ke arah Hendra.

"Mau, Hen?" tanyaku.

"Ayolah, temenin gw."

"Ah, gw tau nih. Lu mau ngeliat si Hani, Kan?" ucap Hendra.

"Oh, si Hani anak paduan suara?" timpalku.

"Iye, Mir."

"Ya ... sambil menyelam minum air. Sambil nonton mereka latihan, sekalian liat Hani," ucap Wildan tersenyum lebar.

"Yuk ... Yuk!" sambungnya sambil berdiri.

"Ya udah deh." Aku pun berdiri, diikuti Hendra. Kemudian berjalan menuju aula.

______

Sesampainya di aula, suasana tidak terlalu ramai. Kami duduk di kursi lantai dua yang berhadapan langsung dengan panggung.

"Mana, Dan?" tanyaku sambil mencari keberadaan Hani.

"Mana, Ya?" Wildan fokus menatap ke area dekat panggung. Pandangan menyisiri setiap inci area tersebut.

"Tuh!" ucapnya sambil menunjuk seorang wanita berambut pendek yang duduk di deretan kursi, depan panggung.

"Belum latihan dia?" tanya Hendra.

"Belum kayanya. Masih giliran anak tari," balas Wildan.

Anak tari sudah berjejer rapih di atas panggung. Tak lama musik tradisional mulai terdengar. Mereka pun mulai bergoyang mengikuti irama.

Kuperhatikan kedua sahabatku yang duduk di samping. Mereka sangat fokus sekali melihat penampilannya. Sementara aku, lebih fokus terhadap sosok Wanita yang ikut menari.

Gerakan tarinya berbeda dengan yang lain. Pakaiannya pun begitu. Rambutnya terlihat berantakan. Aku sangat yakin dia bukan manusia.

"Eh, tau gak sih lu. Di antara anak tari, ada cewek yang ikut nari juga," ucapku, membuat pandangan Hendra dan Wildan langsung mengarah padaku.

"Masa, Mir?" tanya Hendra.

"Iya," balasku.

"Tuh, musiknya udah mati, tapi dia tetep nari," ucapku.

"Sosok apa sih?" tanya Wildan.

"Yang jelas bukan Kuntilanak," balasku.

"Terus apa?"

"Mau kenalan?"

"Ogah!"

Aku pun tertawa.

"Kayanya sih semasa hidupnya penari."

Penasaran, aku pun memanggilnya. Ia pun terbang perlahan ke arah kami. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Kulit wajahnya terkelupas. Sebagian mengeluarkan darah, sebagian lainnya mengeluarkan nanah. Ada lubang-lubang kecil di pipinya. Dihuni oleh belatung yang tak berhenti bergerak.

"Ngapain manggil-manggil!" ucapnya marah.

"Enggak, cuman pengen ngobrol aja," balasku melalui batin.

"Lu kentut, Dan?" tanya Hendra.

"Kagak!" balas Wildan.

"Lu ya, Mir?"

"Kagak."

"Kok tiba-tiba bau sih?"

"Idung sama mulut lu kedeketan, Hen," balas Wildan diikuti tawa.

Aku pun hanya tersenyum. Padahal bau itu, bersumber dari si Penari yang ada di dekat Hendra.

"Ih, asli bau banget dah!" Hendra terlihat kesal sambil menutup hidungnya.

"Maklum aja, dia kagak pernah mandi," balasku sambil melirik ke arah si Penari.

"Siapa?" tanya Wildan.

"Tuh cewek yang tadi nari di panggung. Sekarang ada di samping Hendra," jelasku.

Spontan Hendra dan Wildan menggeser tempat duduknya.

"Pada penakut ih," ledekku.

"Suruh pergi, Mir!" pinta Hendra.

"Tadi Dina, sekarang begituan. Demen amat deket-deket gw," sambungnya.

"Emang gw yang sengaja manggil dia," balasku.

"Wah parah!" ucap Hendra, kesal.

"Asli si Amir! Kagak ada kerjaan!" sahut Wildan.

Kutatap wajah si Penari tadi, sepertinya ada sebuah cerita yang ingin ia sampaikan. Cerita semasa hidupnya, sampai harus berakhir seperti itu.

BERSAMBUNG

CERITA AMIRWhere stories live. Discover now