Bab 17

117 23 0
                                    

            Sudah berulang kali cewek berseragam sekolah itu menaruh kain basah di kening adiknya. Namun, suhu tubuh si kecil tak kunjung turun. Tangannya gemetar saat ia mencelupkan kembali handuk kecil itu ke air hangat, memerasnya lalu menempelkannya ke kening si kecil. Ibunya sudah pergi bekerja beberapa jam yang lalu.

Xavera melirik jam di tangan kirinya. Cewek itu mendengkus. Hari ini ia terpaksa membolos. Xavera meletakkan baksom berisi air ke lantai di samping ranjang, kemudian mengoles minyak kayu putih ke perut adiknya yang naik turun dengan cepat.

Ibu Xavera tidak bisa mengambil cuti dadakan karena pekerjaan yang menumpuk di kantor. Mau tak mau, Xavera yang menggantikannya menjaga Dheo yang demam sejak tadi malam. Xavera hanya bisa mengompres kepala adiknya dengan handuk. Ia tak bisa ke mana-mana, bahkan ke warung membeli obat.

Satu jam berlalu, suhu tubuh Dheo semakin meningkat. Xavera mulai gelapagapan. Melihat perut adiknya yang naik turun semakin cepat membuat pikirannya kalut. Sesekali adiknya mengigau. Xavera menghubungi ibunya. Namun, setelah beberapa kali menelepon, ia tak mendapat jawaban.

Sejenak terbersit di benaknya untuk meminta bantuan Reiki. Namun, ia teringat cowok itu ada di sekolah. Lagi pula, Xavera enggan berkomunikasi lagi dengan cowok itu. Informasi yang ia dapat dari Evano dan Arvin membuyarkan rasa nyamannya pada Reiki.

Xavera meletakkan ponselnya ke nakas. Ia beranjak ke tempat tidur saat Dheo kembali mengigau. Dadanya kembang kempis. Napasnya tersengal-sengal. Xavera tak bisa membendung air matanya. Ia panik. Namun, tak bisa berbuat apa-apa.

***

Reiki bergegas ke kelas X 1 begitu bel jam istirahat berdentang. Sejak semalam, ia tak bisa tenang karena nomornya diblokir Xavera. Ia butuh penjelasan untuk itu. Jika Reiki bersalah, Xavera harus memberi alasan yang logis.

Reiki berdiri di depan pintu kelas X1. Ia menunggu sejenak karena guru yang mengajar di sana belum keluar. Begitu wanita berkacamata itu meninggalkan kelas., Reiki masuk tanpa basa-basi. Seluruh siswa memandang heran. Reiki tak peduli berapa pasang mata yang menatapnya.

"Di mana Xavera?"

Beberapa siswa berbisik, saling pandang.

"Di mana Xavera?"

"Xavera enggak masuk. Adiknya sakit," jawab ketua kelas yang duduk di kursi paling depan dekat pintu.

Reiki tak menunggu lebih lama. Ia bergegas kembali ke kelas, menyambar ranselnya di kursi. Evano yang belum meninggalkan kelas menghampiri.

"Mau ke mana lo?"

Reiki menoleh sejenak.

"Bukan urusan lo."

Reiki tak memedulikan tatapan heran dari Evano. Evano hendak mengejar, tetapi melihat temannya itu menyandang tas, ia tahu tak seharusnya ikut campur. Yang ada di benak Evano hanyalah tawuran. Seperti kebiasaan Reiki di masa SMP. Dan itu membuatnya senang.

Reiki mengenakan helm, kemudian menyalakan mesin motor. Ia menemui satpam untuk membukakan gerbang.

"Tolong dong, Pak. Ini masalah serius," pinta Reiki.

Satpam itu mendengkus.

"Kalau tidak ada surat izin, kamu tidak boleh keluar."

Reiki mengerang frustrasi. Karena pikirannya kalut, ia lupa, mustahil keluar dari gerbang sekolah tanpa surat izin. Namun, bukan bad boy namanya jika tak punya cara melarikan diri. Reiki mengalah, kemudian memarkirkan kembali motornya di pelataran parkir sekolah.

Ia mengambil kunci, kemudian mengendap-endap ke balik pohon. Ia memanjat tembok, lalu melompat ke jalanan berbatu di baliknya. Setelah itu, Reiki berjalan beberapa meter menjauh dari area sekolah. Ia memesan ojek online menuju rumah Xavera.

Bad Boy Gemoy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang