Part 1 : Daging Hitam di Dalam Panci

314 11 0
                                    

MISTERI ORANG HILANG
EPISODE 1

****

Tidak ada bau gosong atau hangus, tapi kenapa masakan ibu warnanya hitam begini? Kutaruh lagi tutup panci dan seperangkat batu serta genteng yang digunakan untuk menindih tutupnya itu.

"Bu ...! Masakannya gosong, nih!" teriakku di dapur sambil mematikan kompor yang masih menyala. Derap langkah kaki memburu langsung terdengar di telinga. Aku berbalik dan mendapati ibu seakan ingin menerjangku. Ibu tergopoh-gopoh dengan napas tersengal. 

"Kamu ini, Mira! Jangan buka-buka sesuatu sembarangan! Pake dimatikan segala!" oceh Ibu sambil menyalakan kembali api kompor. Apa yang kulakukan memangnya salah, ya? Kenapa ibu malah marah?

"Kok marah, Bu? Mira kan cuma ngira itu gosong. Habis dagingnya kok warna hitam begitu." Raut wajah ibu berubah drastis. Berbeda dengan yang tadi saat panik, kini wanita yang melahirkanku itu tersenyum lembut.

"Bukan hitam. Itu ayam cemani. Kamu kenapa pulang lagi, hm? Katanya tadi pagi mau berangkat persami?(1)" Tangan ibu lembut mengelus kepalaku. Ayam cemani? Aku tidak pernah dengar. Entahlah, mungkin resep ayam seperti ayam kecap atau ayam kuning. Warnanya hitam pasti karena diberi bumbu. 

"Aku pulang mau ambil bekal. Kan ibu sendiri yang bilang tadi pagi belum masak. Habis ini kegiatan persami sekolahnya bakal dilakukan di hutan. Buat main games sama kemahnya. Jadi nanti aku udah gak bisa pulang. Pembina nyuruh semua anak pulang dan ambil bekal." 

"Bu?" panggilku lagi saat mendapati Ibu malah memikirkan hal lain. 

"Eh, iya? Kenapa, Mir?" Ibu terkesiap. 

"Bekal aku mana?" tanyaku sambil menengadahkan tangan. Persis seperti pengemis. Ibu ini, bukannya memperhatikan malah bengong. Jangan-jangan bekalku belum disiapkan? Bisa kelaparan di kemah nanti aku. 

"Aku bekal pakai ayam cemani?" 

"Eh! Sst! Sst! Sst!" Bukannya menjawab ibu malah menaruh telunjuk di depan bibirnya. Loh, apa yang salah dengan pertanyaanku? 

"Sst! Jangan keras-keras bilangnya. Jangan pernah cerita ke orang lain kalau Ibu masak ayam cemani!" titahnya. Ibuku mulai berjalan menjauh dan menuju meja makan. Membuka tudung saji di sana. 

"Kenapa, Bu?" tanyaku heran. Memang apa yang salah, sih? Sejak tadi Ibu terus berbicara tidak seperti biasanya. 

"Pokoknya jangan! Nurut! Lagian, ngapain kamu ngomong-ngomong soal ibu masak apa hari ini atau hari esok. Ngobrol sama orang lain tentang hal lain aja!" suruhnya. Tangan ibu menyodorkan tiga buah kotak bekal yang telah dimasukkan ke dalam tas kecil lengkap dengan dua botol air minum dan susu cokelat kesukaanku. 

"Iya, iya! Aku berangkat dulu ya, Bu." Siapa yang peduli itu ayam apa atau apa. Untuk apa juga bodo amat. Aku harus sampai ke sekolah sekarang. Semua anak pasti sudah berkumpul dan bersiap untuk pergi ke hutan. Aku bersiap untuk melangkah keluar rumah. 

"Mira."

Tubuh ini refleks berbalik saat mendengar Ibu memanggil. "Ya?" 

"Memang ... semua anak nanti akan pergi ke hutan?" tanya Ibu. Loh, tumben Ibu peduli dengan kegiatan sekolahku. Ah, benar. Kalau tidak peduli kenapa aku disiapkan bekal? Ada-ada saja aku ini. 

"Huum. Kata pembina semuanya sih, begitu. Apa Ibu akan datang nanti? Akan ada api unggun dan aku ikut lomba pidato bahasa inggris," ujarku bersemangat. Walau belum tentu pemenangnya siapa, tapi aku yakin pidatoku akan dipanggil dan disuruh untuk maju ke depan saat api unggun nanti. Saat seleksi, anak-anak lain banyak melakukan kesalahan. Sedangkan aku sudah menghapalnya di luar kepala dan pidato tanpa menggunakan kertas lagi.

"Tempatnya di mana?" tanya Ibu. Benar juga, kami sekeluarga belum lama pindah ke lokasi ini. Lingkungan maayarakat yang berada di kaki gunung yang dekat lembah dan hutan. Ayah bekerja sebagai dokter relawan dinas di sini sejak setahun lalu. Ibu pasti belum banyak tau tentang beberapa tempat di daerah sini.

"Aku juga gak tahu. Hehe. Hutan belakang sekolah katanya," ujarku malu. Mengajak tapi tidak tahu tempatnya di mana. 

"Lain kali saja, ya. Ibu banyak pekerjaan." 

"Pekerjaan apa?" Kulihat seisi rumah sudah rapi. Jemuran baju pun sudah terlihat di depan tadi. Wastafel tidak ada piring kotor sama sekali. Harusnya Ibu sedang banyak waktu luang, 'kan? 

"Masa tidak bisa datang?" Aku mengerucutkan bibir. Semua teman-teman pasti membawa ayah ibu mereka. Sedangkan aku sendiri. Menyebalkan. 

"Sudah enam belas tahun gini masa masih minta ditemenin?" ledek Ibu. Bukan temenin, Bu. Hanya menonton saja. Ah terserahlah. 

Aku melangkahkan kaki keluar rumah. Sudah ada Saidah, teman sebangku dan satu kelasku setahun terakhir ini menunggu di depan gerbang. Kami sama-sama kelas dua tapi dia setahun lebih tua dariku. Dia telat masuk sekolah dasar katanya. 

****

BERSAMBUNG

MISTERI ORANG HILANGWhere stories live. Discover now