Jurang Kerisauan

47 15 10
                                    

Suasana stasiun begitu riuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana stasiun begitu riuh. Di sebuah kursi dekat tangga menuju foodcourt yang berada di lantai atas, tampak sepasang manusia paruh baya yang sedang duduk berdua. Keduanya terlihat berbincang dengan topik pembahasan yang sangat asing di telinga orang-orang yang mendengarnya saat melewati keduanya.

Mentari menyenderkan kepalanya pada bahu Bastala. Membuat Bastala menatapnya dengan senyuman simpul; begitu penuh cinta.

"Aku kangen kedua penerang aku," ucap Mentari.

Bastala semakin tersenyum. "Sebentar lagi, Tari. Aku yakin mereka juga kangen sama kamu."

"Kamu tahu gak? Kenapa aku namain mereka dengan Badar dan Baskara?"

Bastala mengerutkan kening. "Kenapa? Sedari dulu aku pengen nanya sama kamu. Tapi selalu gak sempat."

"Karena kalau aku gak ada, akan ada mereka yang menerangi di setiap perjalanan hidup kamu," sahutnya seraya tersenyum begitu bahagia.

Bastala merengkuh tubuhnya dari samping. "Aku tahu, Tari."

Tepat setelah mengatakannya, kereta yang akan membawa keduanya kembali ke Jakarta berhenti di hadapannya. Dengan penuh hati-hati Bastala menuntun tubuh ringkih Mentari memasuki gerbong. Sebetulnya, keduanya bisa saja pulang menggunakan mobil pribadi. Namun, keinginan Mentari untuk bisa menikmati pemandangan lewat jendela kereta tidak bisa Bastala tolak. Dia tidak tega. Apalagi mengingat kondisi Mentari yang tidak baik-baik saja.

Sebuah perjalanan yang keduanya lakukan menuju Jakarta penuh dengan perbincangan masa lampau yang sengaja keduanya kenang. Jujur saja, saat sebelum kedua menikah; Surabaya adalah kota di mana keduanya berlari menghindari tumpukan tugas kuliah yang seharusnya dikerjakan. Namun saat itu, karena rasa malas yang tinggi keduanya malah berlari dan menetap beberapa hari di Surabaya.

"Inget gak, sih? Dulu kamu pernah bilang; suatu saat ... Surabaya akan menjadi kota pertama dan terakhir yang bakalan kita kunjungi."

Mentari terkekeh gemas. "Kayaknya bakalan kejadian, deh."

"Kenapa ngomongnya kayak gitu?"

"Perasaan aku bilang kayak gitu," sahut Mentari.

Bastala hanya menanggapinya dengan senyuman. Tangan kanannya menggenggam erat jari jemari Mentari. Bastala tampak sekali tidak ingin melepaskannya.

Kereta masih berjalan dengan semestinya. Seperti waktu yang terus bergerak dan setiap manusia mengetahui apa yang sedang mereka rasakan juga lakukan. Bastala tersenyum simpul menatap wajah tenang Mentari yang terlelap di bahunya. Tangan kirinya yang bebas mencoba menyentuh wajah Mentari penuh kelembutan. Banyak sekali hal yang sangat ingin Bastala katakan. Namun, semuanya seakan tertahan saat melihat wajah tenang milik Mentari. Semua kegelisahan serta ketakutannya seperti menghilang tergantikan dengan ketenangan yang menyelimuti hati sanubari.

Lambung yang belum terisi sedari tadi membuat Mentari terbangun dan tidur lelapnya. Ia memperhatikan sekitar saat Bastala tidak berada di sampingnya. Sampai akhirnya, bibirnya tertarik membentuk seulas senyuman manis yang membuat Bastala terkekeh gemas karenanya. Baskara datang dengan beberapa makanan yang akan mengganjal perut keduanya.

"Lapar, ya?'

Mentari mengangguk singkat. "Kamu selalu tahu ya, Ala?"

"Kita udah hidup bareng berapa tahun, Tari? Masa aku gak tahu setiap kebiasaan kamu," sahutnya.

"Nanti ... yang bakalan kamu perhatiin kedua penerang kita. Jangan sampai kamu lupa sama mereka," imbuh Mentari.

"Aku lupain mereka? Tari ... Badar sama Baskara itu anak aku. Anak kita. Aku gak akan sampai lupa buat merhatiin mereka."

"Bagus, deh. Jadi aku tenang."

Walaupun Bastala membalas senyuman yang Mentari berikan untuknya; hatinya merasa ngilu luar biasa. Bastala seakan menahan sesak yang tiba-tiba menggebu. Sedangkan Mentari, mengunyah begitu lahap. Ia seakan merasa semuanya baik-baik saja. Pada faktanya, perutnya terasa sakit begitu hebat. Namun ia tak mau melihat raut wajah Bastala yang khawatir kepadanya. Ia tidak ingin, perjalanan pulang menuju Jakarta tersisa begitu menyakitkan dan menyedihkan, bukan menyenangkan.

Suara dari pengeras suara menginterupsi jika kereta akan segera sampai. Dengan cepat Bastala bergegas, merapikan barang-barangnya. Setelah kereta berhenti tepat di stasiun yang mereka tuju, Bastala kembali menuntun Mentari. Kerisauannya semakin meningkat saat wajah Mentari begitu pucat. Bahkan, sesekali Mentari tampak meringis seperti menahan rasa sakit.

"Tari? Kamu gak apa-apa?"

Bahkan, saat berada di fase puncak sakit pun, Mentari masih bisa tersenyum kepada Bastala.

"Jangan panik, Ala. Jangan buat Badar dan Baskara khawatir."

"Tari?'

Sebuah hantaman yang keras menghunus ke dasar jantungnya. Tubuh Mentari akan terbanting ke lantai jika Bastala tidak sigap menahan tubuhnya.

"Tari? Badar sama Baskara nunggu kamu. Kamu harus temuin mereka, Tari."

Ucapan Bastala tidak digubris sama sekali. Kedua mata penuh binar itu kini tertutup begitu rapat. Yang semakin membuat Bastala semakin risau, saat ia tak merasakan hembusan napas dari mentari. Bastala berteriak kesal; geram dengan nasib yang dialaminya. Ah tidak, lebih tepatnya garis takdir yang diterimanya.

Bastala berteriakmeminta tolong, membuat orang-orang yang berada di sekitarnya membantunya untukmembawa Mentari ke rumah sakit. Namun, belum sempat ambulan datang, Bastalasemakin terjauh ke dalam dasar jurang kerisauan saat ia menyadari jika Mentaritelah tiada; Mentari telah meninggalkannnya juga kedua anaknya.

 Namun, belum sempat ambulan datang, Bastalasemakin terjauh ke dalam dasar jurang kerisauan saat ia menyadari jika Mentaritelah tiada; Mentari telah meninggalkannnya juga kedua anaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sebuah PerjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang