KEPANIKAN DAN REKONSILIASI

257 11 0
                                    

Sore itu, Ana kembali bekerja melewati jam kerja biasanya. Para penebus obat secara tidak terduga datang membludak, tidak memberikan ruang sedikit pun pada para pegawai apotek untuk bernapas lega. Dilayani satu, datang tiga. Dilayani tiga, datang tujuh orang. Seperti itu terus yang dihadapi Apotek Mariana Farma sore itu, bahkan hingga matahari benar-benar tenggelam.

Para pegawai terpaksa main kucing-kucingan untuk mencuri waktu agar bisa makan walau cuma sesuap-dua suap nasi, dan mencuri-curi kesempatan untuk salat. Karena, para penebus obat itu, jika dibiarkan berlama-lama, pasti akan terus menumpuk dan malah menjadi masalah.

Pukul 8 malam, para penebus obat berangsur-angsur berkurang dan semakin sedikit. Ana tahu bahwa itulah saat yang tepat untuk pulang. Kondisi kepala yang pening disertai perut lapar karena kesempatan makan yang sedikit membuat gerak gadis itu melambat. Jalannya tiba-tiba gontai.

Melihat waktu terus berjalan, Ana lekas berbenah, menaruh barang-barang kerja di loker. Berkali-kali dia mencubit-cubit pangkal hidung dan memijat-mijat keningnya. Sepertinya, malam itu, Ana sedang kurang sehat.

"Lo kenapa, Na?" Tanya seorang kawan pada Ana, dia bernama Siti.

"Gak apa-apa, Ti, cuma rada pusing aja. Ya tau sendiri lah tadi gimana, kita mau makan aja susah. Masalahnya tadi pagi gue juga gak sempet sarapan."

"Aduh, yaudah gih makan dulu! Perlu gue temenin dulu?" Tanya kembali Siti.

"Gak usah deh, gue mau pulang aja. Tanggung banget soalnya biar sekalian langsung istirahat.

Selepas berberes-beres, Ana pun pamit pada teman-temannya yang lain, termasuk pada Siti yang masih harus pulang beberapa jam lagi karena dia mulai bekerja dari shift kedua. Ketika sampai di hadapan Siti untuk bersalaman, pandangan Ana tiba-tiba menjadi buram, lalu gelap. Tubuhnya seperti tidak punya tenaga untuk menopang beratnya. Ana ambruk, pingsan.

"Ya Allah, Astaghfirullah... Na... Ana... Sadar Na... Lu kenapa...?" Seru kawan-kawan kerja itu sambil menggoncang-goncangkan tubuh Ana.

"Eh, telepon keluarganya, siapa gitu... Cepet-cepet, kasih minyak angin...!" Timpal Siti meminta temannya yang lain menyiapkan obat-obatan. Seisi ruangan panik. Beberapa pasien yang masih menunggu, terpaksa ditangguhkan dulu.

Berkali-kali minyak angin berbotol hijau itu didekatkan pada hidung Ana, tapi sampai beberapa menit, Ana belum sadarkan diri juga. Ana direbahkan di ruang istirahat.

"Aduh, gimana nih, belum sadar juga udah 15 menit...?" Kata Siti pada kawan-kawannya yang lain.

"Kita bawa ke rumah sakit aja gimana, Ti?" Usul salah satu kawan Siti.

"Iya, boleh-boleh... Taksi, cepet cari taksi" Seru siti.

Salah seorang pegawai apotek itu keluar, menuju ke jalan raya. Tidak lama, taksi pun berhasil dipanggil masuk ke halaman apotek.

Saat rekan-rekan kerja yang lain membopong tubuh Ana, Azhar datang. Dia heran melihat situasi sangat panik di depan pintu masuk apotek. Dia melihat seorang perempuan dibopong oleh orang-orang masuk ke dalam taksi. Tidak lama, dia sadar bahwa yang dibawa ke taksi adalah Ana. Setakat itu, Azhar menaruh motornya dan langsung berlari ke arah taksi tersebut.

"Allahuakbar... Ana kenapa?" Tanya Azhar kaget pada kerumunan orang-orang di depannya.

"Pingsan, Mas Azhar. Tiba-tiba dia tadi pingsan pas mau pulang. Mas Azhar mau jemput ya?" Jelas Siti.

"Ya Allah... ayo-ayo kita ke rumah sakit. Mbak Siti, tunggu di sini aja! Biar saya yang bawa Ana ke rumah sakit. Biar saya aja. Saya titip motor, kuncinya masih di situ." Seru Azhar meyakinkan.

FARMAKOLOVAWhere stories live. Discover now