KONFLIK

337 11 0
                                    

Seberapa pelik pun masalah dihadapi oleh manusia, kehidupan terus berjalan. Pagi itu, Ana kembali bekerja seperti biasa. Suasana apotek setiap hari selalu ramai. Dengan keramaian seperti itu, Ana tidak akan mengingat apa pun, kecuali resep-resep obat yang harus ditukar dan tidak boleh salah sedikit pun. Salah, berarti nyawa manusia lain terancam.

Di dunia ini, memang setiap pekerjaan memiliki risikonya masing-masing. Seperti para apoteker dan para farmasis, risiko mereka adalah tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Bayangkan jika seorang apoteker salah memberikan obat kepada pasien, atau salah menuliskan dosis yang harus dikonsumsi pasien. Minimal, keracunan. Maksimal, pasien itu mati.

Makanya, pekerjaan semacam itu memerlukan konsentrasi tingkat tinggi. Ya, memang semua pekerjaan memerlukan konsentrasi tingkat tinggi. Apoteker, jika tidak konsentrasi, maka berisiko mencelakakan pengonsumsi obat. Akuntan, jika tidak konsentrasi, berisiko memberikan kerugian material kepada perusahaan. Polisi, jika tidak konsentrasi, dia bisa meregang nyawa ditembak perampok atau begal bersenjata api. Bahkan guru, jika tidak konsentrasi, teori-teori dan ilmu-ilmu yang diberikan pada siswa–yang rupanya keliru, akan terus dipegang teguh oleh siswanya sebagai suatu kebenaran, sampai siswa itu sadar bahwa yang diajarkan gurunya itu salah.

Konsentrasi penuh harus terus ditunjukkan oleh Ana di tempat kerjanya. Di apotek itu, para pekerja baru bisa bersantai sejenak saat jam 12 siang, waktu istirahat 45 menit. Para penebus obat, kecuali dalam kondisi darurat, biasanya menunggu para pegawai apotek kembali dari istirahat siangnya. Walau bagaimana pun, manusia memerlukan jeda istirahat agar kinerja dan konsentrasinya bisa kembali pulih.

Waktu istirahat kerja, kadang menjadi tidak terasa ketika digunakan untuk makan siang, dan terutama sekali digunakan untuk salat. Ana yang baru selesai makan dan salat, melihat jam tangannya, langsung tahu bahwa waktu istirahat sudah selesai. Dia harus kembali ke ruang kerjanya menukar-nukar dan memindai obat-obatan yang diresepkan oleh dokter-dokter di rumah sakit.

Saat Ana sedang sibuk memilih-milih obat, Bu Yusni datang dan langsung masuk ke ruang obat-obatan.

"Ana, sepuluh menit lagi temui saya di ruangan ya. Nanti biar pekerjaan kamu ditangani dulu oleh Novi. Ibu sudah bilang ke dia di depan." Seru Bu Yusni.

"Baik, Bu." Jawab Ana. Sedikit terpikir olehnya Bu Yusni akan membahas masalah Rendra. Dia pun bersiap-siap, melepas sarung tangan dan masker yang sudah menjadi SOP di apotek itu.

"Asalamualaikum, Bu." Sapa Ana di depan pintu ruang Bu Yusni.

"Walaikumsalam. Masuk, Ana. Ayo duduk!"

"Ada apa ya, Bu?" Tanya Ana sambil mendudukkan badannya di sebuah kursi, tepat di hadapan Bu Yusni.

"Hmm... Saya yakin kamu sudah menduga apa yang akan saya bahas. Tentang keponakan saya Rendra, Na."

Mendengar pernyataan Bu Yusni, Ana salah tingkah. Bola matanya bergerak ke kiri ke kanan tanpa fokus. Dia tidak berani menatap mata atasannya itu.

"Dengar-dengar, kalian dulu pernah punya hubungan yang baik ya? Bahkan, sangat baik. Benar begitu?"

Dengan sedikit agak menjeda, Ana pun menjawab, "Iya, Bu. Sebelum beliau kembali ke Amerika, kami cukup dekat."

"Bagaimana hubungan kalian sekarang? Masih baik?" Pancing Bu Yusni dengan pertanyaan-pertanyaan ringan dulu. Sedangkan, Ana yakin, lama-kelamaan Bu Yusni akan semakin masuk pada pertanyaan-pertanyaan yang berat.

"Hmm... Ya... Sekarang, tidak gimana-gimana, Bu." Jawab Ana coba mengelak.

"Kalau tidak gimana-gimana begitu, bukankah kemarin kalian bertemu? Kenapa kamu lantas pergi? Bukankah kalian menunggu momen pertemuan seperti kemarin?"

FARMAKOLOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang