7. Ipar Rasa Pacar

29.3K 2.1K 36
                                    

Sebelum lanjut, author mau ucapin dulu selamat menunaikan ibadah puasa buat pembaca yang menjalankan :) Alhamdulillah 1,7 K views sampai hari ini. Jujur, tiap kali dapat notif ada yang follow, vote atau komen meski cuma seorang, hati saya mendadak hangat. Terimakasih sudah mengapresiasi tulisan ini. Semoga terhibur. Jangan lupa follow dan vote ya, kalo sempat dikomen, supaya penulis tambah semangat melanjutkan ceritanya :)

*******************

Lonceng yang terpasang di pintu kafe berbunyi. Aku sedang sibuk menulis konten untuk socmed kafe Mentari ketika seseorang mendorong pintu dari luar. Sesosok perempuan cantik, tinggi, modis, bak model berjalan masuk dengan anggun. Aku beranjak mendekatinya. Jangan-jangan dia berpikir kalau kafe ini sudah buka.

"Maaf, Mbak, kafe kami belum buka." Aku tersenyum dengan kepala sedikit mendongak. Perempuan itu membalas senyumku, tetapi terkesan sinis.

"Kamu nggak tahu siapa saya?" tayanya judes.

Aku menghela napas. Meratapi nasibku yang sungguh malang hari ini. Baru saja berseteru dengan bos galak, kini tamu yang datang tak kalah menyebalkan.

Memangnya siapa sih, dia? Ibu negara? Menteri? Teman lama? Sepertinya aku pernah lihat, tetapi entah di mana. Lupa.

"Maaf, Mbak mau bertemu siapa, ya?' tanyaku akhirnya. Aku baru teringat, mungkin saja dia rekan bisnis Pak Wira, kan.

Perempuan itu masih tersenyum sinis sementara matanya memicing melihatku. Lalu, tiba-tiba ia mendorong bahuku dengan kasar dan berjalan menerobos masuk ke dalam kafe.

Kurang ajar. Siapa sih dia!

"Sayang ...." Ia bergelayut manja di lengan Galang yang nampak terkejut dengan kehadirannya.

Melihatnya dengan Galang, aku teringat cerita Erna. Bergegas aku mengambil gawai. Ya ampun, ternyata dia Marini. Aku baru tahu ketika scroll postingan di instagram Galang.

Secepat kilat aku membereskan barang-barangku yang masih berserakan di salah satu meja kafe. Laptop, binder, balpoin, kumasukkan ke dalam tas. Males banget lihat orang pacaran. Lebih baik aku masuk ke ruang karyawan. Apalagi jika mengingat perlakuan sombongnya tadi.

Namun, baru saja aku hendak melangkahkan kaki masuk, perempuan itu memanggilku dengan kasar. "Heh kamu!"

Aku menoleh karena memang tidak ada orang lain di ruangan ini.

"Kamu karyawan di sini, kan?"

"Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku dengan nada yang tegas, tetapi tetap berusaha sopan.

"Bikinin minum. Saya haus!" bentaknya.

Kalau bukan karena Galang adalah bosku, mungkin sudah kujambak rambutnya. Tanpa menjawab perintahnya, aku masuk untuk mengambilkan minum. Staf bagian dapur sudah pulang. Hari ini tugasnya memang hanya memasak untuk kebutuhan konten. Showcase tempat minuman botol masih kosong melompong dan besok kemungkinan baru terisi. Aku mengambil gelas bening panjang dari rak dan mengisinya dengan air putih dari dispenser.

Kuletakkan gelas berisi air minum di meja Galang dan Marini tanpa bicara sepatah kata pun lalu pergi.

"Tunggu!" Suara Marini menghentikan langkahku.

"Minuman apa ini?"

"Air putih." Aku menjawab santai dengan tetap membelakanginya.

"Aku mau jus!"

"Maaf, staf dapur sudah pulang, hanya minuman itu yang ada. Permisi." Aku kembali melangkahkan kaki menjauh dari mereka.

"Grrrh dasar! Pegawai malas!" Marini menggebrak meja dengan cukup keras.

"Marini! Sudah! Dia bukan pelayan kamu, tahu!" Kudengar Galang membentak pacarnya. Aku tersenyum, merasa dibela.

"Tapi dia, kan, karyawan kamu. Kurang ajar! Pecat saja dia!"

Di dalam ruang karyawan masih kudengar Marini mengomel. Setelah itu kudengar suara perempuan itu riang bercerita entah apa. Terkadang suaranya terdengar sangat manja dan mendayu-dayu. Hampir tak kudengar suara Galang karena ia hanya menanggapi Marini dengan singkat: hmm, iya, nanti, besok. Nada bicara Galang seperti kurang antusias. Mendengar percakapan keduanya, aku jadi ingin tahu apa yang terjadi dengan mereka. Lama-lama aku tertular Erna, kepo dengan kehidupan Galang.

Pukul lima sore. Sudah saatnya aku pulang. Sebenarnya aku enggan bertemu perempuan itu lagi saat keluar. Namun, mau menunggu sampai kapan? Kasihan Rania. Dia pasti sudah menungguku pulang di rumah omanya.

"Ah, kamu sudah siap Nadia," kata Galang begitu melihatku keluar.

Aku menatapnya heran. Sudah siap? Sudah siap apa?

Galang tiba-tiba berdiri. "Aku dan Nadia ada janji bertemu dengan klien." Ia berpamitan pada Marini.

Meski bingung aku tetap berusaha bersikap wajar di depan Marini. Nampaknya Galang sengaja ingin menghindar dari kekasihnya itu. Aku membaca gelagatnya yang terlihat tidak nyaman sejak awal Marini datang tadi.

Kening Marini berkerut. "Sore-sore begini?"

"Ya, dari tadi kami sibuk persiapan opening kafe, jadi baru bisa bertemu klien sore ini." Galang berjalan ke arah pintu. "Ayo!" katanya ketika melewatiku.

Aku menurut saja, mengikutinya dari belakang.

"Telepon aku kalau sudah selesai urusanmu ya," teriak Marini.

"Mau ke mana, Pak?" tanyaku ketika Galang mengeluarkan kunci mobil dari kantong celananya.

"Sudahlah, masuk saja dulu." Galang membuka pintu mobilnya dan memberi kode agar aku segera masuk.

Aku menurut. "Baik, Pak." Namun, saat Galang hendak menutup pintu, seseorang menahannya.

"Tunggu!"

Refleks aku menoleh. Suaranya tidak asing di telinga. "A-Arman?" Aku menatapnya heran lalu turun dari mobil.

"Mau ke mana?" tanyanya dengan nada interogasi.

"Aku ada urusan pekerjaan," jawabku sedikit gugup. Aku sendiri merasa aneh, kenapa jadi seperti seorang yang ke-gap selingkuh oleh pacar, sih.

"Sudah lewat jam kantor, Rania sudah menunggumu di rumah."

"Akan kuantar dia pulang." Galang menengahi ketegangan di antara kami.

"Tidak usah. Aku yang mengantarnya pulang." Arman mendahuluiku menuju mobilnya. Pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Galang.

Aku menarik napas kesal lalu menoleh ke arah Galang dengan sungkan.

Galang mengedikkan bahu."Ikutlah bersama pacarmu," ujarnya.

"Dia bukan pacar saya, Pak!" kataku setengah berbisik.

"Lalu?"

Aku pergi tanpa menjawab pertanyaan Galang. Kupikir-pikir, Arman memang sudah seperti pacar posesifku saja. Selalu mengatur aku harus begini harus begitu dengan dalih dia yang bertanggung jawab terhadap Rania sebagai paman satu-satunya. Mas Arya yang suamiku saja tidak pernah sampai sebegitunya. Sifatnya memang beda jauh dari Mas Arya, yang selalu ramah dan bersahabat pada teman-temanku baik yang perempuan maupun laki-laki.

Arman membukakan pintu mobil untukku, berdiri menunggu sampai aku datang dan masuk ke dalam mobil. Di kursi mobil tergeletak sebuah buku agenda, aku mengambilnya hendak meletakkan di dasbor, agar aku bisa duduk. Namun, tiba-tiba selembar foto terjatuh dari selipan buku tersebut. Aku memungutnya dan terkejut.

Orang di foto itu seperti aku. Aku mengamati foto itu sekali lagi.

Ya, benar itu aku. Di dalam foto itu aku mengenakan seragam SMA. Mengapa Arman menyimpannya? Dari mana dia mendapatkan foto itu?

----Bersambung-----

Kira-kira ada cerita apa di balik foto itu ya? Yuk follow dan vote dulu cerita ini :)

Dijodohkan dengan Adik SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang