5. Ketahuan!

27K 2.1K 21
                                    

Aku menatap Arman takjub. Tumben. Pasti Mama yang menyuruhnya menjemputku. Semalam waktu Mama menelepon, aku memang sempat bilang kalau hari ini ada acara reuni kecil-kecilan. Ah, Mama, gigih sekali, sih, ingin menjodohkanku dengan Arman.

"Aku mau ke reuni SMA. Yakin mau nganter?"

Setahuku Arman bukan orang yang suka dengan reuni. Setiap kali diundang reuni ia tidak pernah mau datang. Bahkan ia juga tidak mau masuk ke grup WA sekolah.

Aku dan Arman satu SMA dan satu angkatan hanya beda kelas. Lucunya, aku baru tahu saat hendak menikah dengan Mas Arya. Padahal kata Erna, Arman ini cukup populer di sekolah. Ia masuk tim basket yang sering membawa pulang piala kejuaraan.

Entah ke mana saja aku selama ini. Ada sih, beberapa anak basket yang aku kenal karena memang pernah berurusan dengan mereka untuk kebutuhan mading dan buletin sekolah, tapi bukan Arman. Di luar kepentingan sekolah, aku biasanya tak acuh. Beda dengan teman-teman perempuanku yang rata-rata hapal dengan deretan cowok tampan dan keren di sekolah.

Ah, aku tak punya waktu untuk itu. Selain sibuk dengan pelajaran dan ekskul jurnalistik yang kuikuti, aku juga turut membantu Ibu mencari nafkah dengan menitipkan dagangan di kantin sekolah. Yang ada di pikiranku, bagaimana bisa berprestasi di sekolah agar terus dapat beasiswa dan membantu Ibu cari uang.

"Oke, kita ke reuni. Masuk!" Matanya memberi isyarat padaku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku menurut.

"Biasanya kamu tidak suka datang ke reuni? Kenapa sekarang-"

"Rania tanggung jawabku." Dengan cepat ia memotong ucapanku.

"Mulai sekarang aku yang akan menjaga kalian, menggantikan Mas Arya."

Aku menarik napas panjang. Antara senang ada sosok yang menyayangi dan melindungi Rania seperti ayahnya, tetapi juga jengah karena Arman jadi suka mengatur kehidupanku melebihi Mas Arya sewaktu masih ada.

Akhirya kami sampai di tempat reuni, sebuah restoran yang cukup mewah di tengah kota Semarang. Resto ini punya beberapa ruang privat yang bisa di-booking untuk acara meeting, arisan atau reuni. Kawan sekelasku yang kini bekerja di Irlandia yang menjadi sponsor acara. Kebetulan ia sedang pulang ke Indonesia untuk suatu urusan. Oh, aku baru ingat, kalau temanku ini dulu di SMA ikut ekskul basket juga seperti Arman. Mungkin karena itulah Arman masih mau datang mengantarku ke reuni.

"Kita masuk sendiri-sendiri saja. Aku turun duluan, ya," kataku sambil membuka seat belt saat mobil telah terparkir.

"Kenapa harus begitu?"

"Aku nggak mau teman-teman berpikir kita ada apa-apa," jawabku. "Oh, iya, teman-teman kita masih banyak yang single lho, siapa tahu kamu ada yang cocok!"

Kulihat Arman menggelengkan kepala sambil berdecak.

"Rania biar sama aku," katanya sesaat sebelum turun dari mobil.

"Hah?" Apa aku tidak salah dengar?

Adik iparku itu lalu membuka pintu mobil bagian belakang tempat Rania duduk. "Ayo Rania, sama Paman, ya."

"Asiik!" Rania terlihat senang.

Sambil menggendong Rania, Arman kemudian membuka pintu mobil di sisi tempatku duduk. Aku ikut turun dari mobil dan berjalan bersisian dengannya menuju resto.

"Nadiaa!" Erna memanggil saat aku berdiri sembari menebar pandangan di depan resto mencari kawan-kawan. Aku pun melambaikan tangan ke arahnya. Setelah bersalam-salaman dan sedikit ngobrol dengan beberapa orang kawan yang duluan kutemui di area depan resto, aku berjalan menuju Erna. Ia tampak sedang mengobrol dengan sekumpulan teman-teman perempuan.

Sementara itu, Arman bergabung bersama teman-teman pria di sisi yang lain. Kulihat ia bercakap cukup akrab dengan beberapa orang teman sekelasku yang ikut ekstra kurikuler basket saat SMA.

"Nadia, kamu sama Arman, kalian ...." Viona langsung menembakku dengan pertanyaan menggantung setelah kami bersalaman.

"Dia adik almarhum suamiku, Vi." Tanpa diminta, dengan cepat aku memberikan klarifikasi. Beberapa teman SMA sepertinya masih ada yang belum tahu kalau Arman adik iparku. Aku memang tidak pernah memberi pengumuman ke teman sekelas bahwa aku menikah dengan kakak kandung Arman, karena menurutku tidak penting.

"Hah, adik ipar?" Viona nampak terkejut mendengar jawabanku. "Syukurlah." Ia lalu menggumam lega.

"Eh, dia masih single, kan?" tanya Viona menyelidik. Beberapa teman perempuan lain kudengar ikut kasak-kusuk membicarakan Arman.

"Tambah ganteng, ya." Sissy senyum-senyum memandang ke arah Arman.

"Definisi sesungguhnya dari usia makin tua, tapi wajah tambah muda." Sania menimpali. Lebay, ah!

Diam-diam aku melihat ke arah Arman. Ia berpenampilan rapi dengan mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai ke bawah siku. Banyak yang bilang Mas Arya dan Arman mirip, tetapi tidak di mataku. Mungkin karena pembawaan mereka beda. Mas Arya orang yang selalu ramah terhadap siapa saja, murah senyum, suka menyapa terlebih dahulu, beda dengan Arman. Laki-laki yang dingin, tidak banyak bicara. Secara fisik, kulit Mas Arya sedikit lebih gelap daripada Arman. Postur tubuh Mas Arya, meski termasuk cukup tinggi, tetapi sedikit lebih kecil dibanding Arman.

Arman tambah ganteng? Masa? Ah, aku tidak pernah ingat seperti apa dia waktu SMA. Aku masih terus memperhatikan Arman. Ia tengah menyuapi Rania makan dengan telaten. Maniiss sekali.

"Heh, kamu ngapain senyum-senyum sambil lihatin Arman?" Suara Viona membuyarkan lamunanku.

"Eh, enak aja, lihat Arman. Aku lihat anakku, jangan sampe ditelantarin sama orang itu."

Viona memandangku tidak percaya. "Hmmm masa, sih, kamu nggak jatuh cinta sama cowok seganteng dan seperhatian Arman?"

"Nggak, lah!" sahutku. "Kakaknya lebih ganteng, lebih perhatian, lebih lembut, beda jauh sama adiknya. Kamu belum kenal aja!" jawabku ketus.

"Kalo gitu mau dong dikenalin sama Arman, plissss!" Viona bergelendotan di tanganku sambil tersenyum genit.

Aku menelan ludah. "Aduh kalo itu, aku nggak janji. Kayaknya, sih, dia sudah ada calon," jawabku, meski tidak terlalu yakin juga dia masih menjalin hubungan dengan Sheila atau tidak.

"Eh, bentar, ya, aku mau ke toilet." Aku mengelus-elus perut. Berakting sedang kebelet. Cara yang klise untuk mengakhiri obrolan, tetapi tetap ampuh.

"Oh, oke, nanti kita ngobrol lagi, ya!" Viona melambaikan tangan lantas bergabung dengan teman yang lain.

Di toilet, aku hanya cuci tangan dan merapikan jilbab lalu keluar karena nampaknya acara sudah dimulai. Sayup-sayup kudengar suara MC berbicara dengan pengeras suara.

Aku berjalan sedikit tergesa karena tidak ingin ketinggalan acara. Tanpa sengaja, aku menginjak ujung rokku sendiri. Hampir terjatuh, jika seseorang tidak memegang kedua tanganku dengan sigap. Ketika mengangkat kepala, mataku membulat sempurna melihat siapa lelaki yang telah membantuku.

"Pak Galang?"

Ia pun nampak kaget saat melihatku dan segera melepaskan pegangan tangannya.

Lalu dari kejauhan kulihat Rania berlari ke arahku. Jangan ke sini, Rania. Jangaaan!

"Mama ...." Rania menghambur begitu saja lalu memelukku sehingga membuat Galang menatap tajam ke arah kami.

"Kamu ...?" Wajahnya terlihat marah."Kita ketemu besok di kantor."

Arman yang sedari tadi berjalan cepat mengikuti Rania, menoleh pada Galang yang berlalu pergi. "Siapa dia?"

Mati aku!

Dijodohkan dengan Adik SuamikuWhere stories live. Discover now