Sebenarnya mudah bagi Divanka untuk menceritakan semua tentang si Daniel yang mungkin belum diketahui sepenuhnya oleh Jae, tapi dia butuh timing yang pas, melihat bagaimana mood Jae terlebih dahulu agar tak mendapat amukan emosi. Tapi sepertinya Jae bukan orang yang suka mengamuk seperti Divanka, mungkin.


“Gue tahu kalau gue ngomong gini, pasti lo bakal ngakak.” ujar Divanka.

“Buat apa aku ketawa kalau kamu ngomong aja belum.” ucap Jae.

“Ya, makanya gue tebak lo bakal ketawa, gimana sih lo?!” gerutu Divanka.


Jae terkekeh pelan lalu ikut bangkit dari tidurnya, ia pun memandangi Divanka dengan lekat seakan-akan tak ingin kehilangan wanita dihadapannya ini. Semoga saja, tak ada yang tahu bagaimana kedepannya, barangkali Divanka akan meninggalkannya.


“Ya udah, aku janji enggak bakal ketawa.” ucap Jae.

“Serius?” tanya Divanka.

“Iya.” jawab Jae.


Divanka terlihat berpikir, ia meremas selimut putih hingga kusut, dia benar-benar bingung harus memulainya darimana. Dalam hati ia mengumpati nama Brian karena baru sempat datang saat pagi mendatang, mana mungkin Jae bisa menunggu sampai matahari terbit?


“Okay, gue tahu ini aneh buat lo. Tapi, gue sayang sama lo, gue cinta sama lo, jadi please jangan tinggalin gue. Jangan sekali-kali gue dengar atau lihat lo dekat sama cewek lain apalagi sama si Naura itu, gue enggak suka. Gue istri lo jadi wajar kalau gue cemburu, udah itu aja, gue mau tidur.” jelas Divanka dan langsung menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya hingga tak terlihat.


Sedangkan Jae hanya terdiam mendengar ungkapan istri-nya itu, ini adalah kali pertama Jae mendapatkan ungkapan cinta dari seorang wanita dan dia benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa. Jae Park dalam mode bug.


“Se-selamat tidur.” gugup Jae.


Meskipun ucapan Divanka tak sesuai dengan apa yang ia ingin utararakan pada Jae, namun ungkapan tadi adalah suatu kejujuran dan akhirnya bisa lepas disaat-saat mendadak seperti sekarang. Semoga Jae bisa menerima segala kekurangannya, dia sangat berharap jika Jae adalah yang terakhir dalam hidupnya.


---


Divanka menganga ketika mendapati Brian di ruang tengah apartement duduk manis ditemani secangkir teh yang mungkin saja dibuatkan oleh Jae, ia menelan salivanya susah payah dan berjalan cepat kearah Brian yang menampilkan cengiran andalannya. Ini adalah saat-saat tepat untuk bertanya, berhubung Jae sedang di dapur entah memasak apa, Divanka tak perduli.


“Lo ngapain kesini?” tanya Divanka.

“Sesuai janji kemarin.” jawab Brian singkat, padat dan jelas.


Beberapa detik Divanka terdiam dan akhirnya paham maksud Brian, ternyata sahabatnya ini tidak main-main untuk menceritakan tentang Daniel pada Jae. Ya, bagaimana Divanka tidak percaya, Brian ini suka berbohong padanya dan tak menganggap serius semua hal yang diucapkan oleh Brian.


“Gue kira lo becanda anjing.” umpat Divanka.


Baru saja Brian hendak mengangkat suara, namun tiba-tiba Jae muncul dengan secangkir kopi di tangannya. Mata sipit Jae memandangi Divanka dan Brian yang saling diam, apa mungkin kehadirannya mengganggu perbicangan dua sahabat ini?


“Kamu enggak ke kampus?” tanya Jae pada Divanka.


Spontan Divanka terlonjak kaget, ia mengangguk kaku lalu menyenggol lengan Brian pertanda ia meminta tolong agar tak menceritakannya pada Jae. “I-iya, gue ke kampus bareng Brian aja, gapapa?” balas Divanka.

Jae mengangguk paham dan meneguk sekali kopi panasnya, “Okay, aku juga ada urusan mendadak di kantor. Oh iya, Brian, saya titip Divanka sama kamu.” ujar Jae.

“Lo kek sama siapa aja, santai sama gue.” ucap Brian.


Inginnya sih seperti itu, tapi sayang, Jae cukup sulit untuk berbicara santai pada orang yang baru ia temui sekali atau dua kali. Ya, bisa dikatakan kalau Jae kesulitan untuk berinteraksi pada orang asing meskipun orang itu sudah mencairkan suasana.


“Ya-ya udah, gue berangkat dulu,” pamit Divanka.

“Enggak sarapan?” tanya Jae.

“Makanannya simpan di atas meja aja, gue cepat selesai kok hari ini.” ucap Divanka.

“Okay, hati-hati di jalan.” ucap Jae.


Divanka pun meraih tas nya yang sengaja ia simpan didekat lemari TV, katanya agar lebih mudah digapai daripada harus disimpan di kamar. Lagipula dia mengerjakan tugas kampus di ruang tengah ini, bukan di kamar.


“Vanka,” panggil Jae.


Pergerakan tangan Divanka yang hendak merapihkan anak rambutnya karena menutupi sedikit wajahnya harus terhenti karena mendengar Jae memanggilnya, ia pun mendongakkan dagunya agar bisa memandangi wajah tampan suami-nya itu.


“Kenapa?” tanya Divanka.

“Aku mau bicara sesuatu sama kamu nanti malam.” jawab Jae.

“Kok nanti malam? Kenapa enggak sekarang aja?” tanya Divanka.

Jae terkekeh pelan, tangan kanannya terangkat untuk mengusap kepala Divanka penuh kasih sayang. “Aku enggak mau kamu telat. Bri, berangkat sana,” ucap Jae.

“Tanpa lo suruh, gue bakal pergi. Ayo, Van,” ajak Brian.


Meskipun dihiasi jutaan pertanyaan, Divanka tetap mengekor dibelakang Brian sembari sesekali ia berbalik kearah belakang untuk memandangi Jae yang terus tersenyum kearahnya. Rasanya aneh sekali, bisakah sekarang dia bolos kampus saja dan lebih memilih untuk ke kantor Jae agar dapat mendengar topik apa yang akan dikatakan Jae padanya.


“BRIAN KANG.” panggil Jae.


Padahal Brian hampir saja meraih gagang pintu, ia terpaksa berbalik menatap Jae dengan gaya ala drama korea yang sering ia tonton di layar TV-nya. “Apa?” tanya Brian.


“Thank’s udah kasih tahu gue hal sepenting itu.” ucap Jae.

Kening Divanka mengernyit, sedangkan Brian tersenyum sembari mengangguk. “Iya, sama-sama. Thank’s juga karena lo bisa ngerti keadaan semuanya.” balas Brian.

“Ada apa sih?” tanya Divanka.

“Entar lo juga bakal tahu.” ucap Brian.


***


Bersambung...

Gaje? Maafkan diriku gais, gak ada ide huhu..

Maaf jika ada salah kata atau cerita tydak menarik

Jadilah pembaca yang menghargai penulis dengan cara Vote+Komentarnya ditunggu

Terima kasih dan sampai jumpa 🙏❤️❤️


Park Jaehyung : Not Mine? (Jae DAY6) [Completed]Where stories live. Discover now