"Halo?" Pemuda itu membuka suaranya, ia sedari tadi juga memperhatikan gelagat gadis disampingnya ini. Membuka maskernya dan menggantunginya di saku jaket jeans-nya. Lalu memutar badannya dengan sepenuhnya menghadap Kanaya, dengan tangan kiri di atas meja dan tangan kanan yang menyangga disenderan kursi miliknya.

Kanaya kembali menatap pemuda asing ini. Sedikit kaget karena sekarang ia bisa melihat secara langsung sebagus apa ukiran bibir itu, tanpa perlu beranggan-anggan. Mengerutkan dahi seraya mengangkat alis tanda menunggu pemuda itu melanjutkan kata-katanya.

"Boleh aku duduk disini?" jelas pemuda itu lagi.

Bodoh. Karena memikirkan hal-hal yang aneh tadi sampai ia lupa bahwa pemuda ini menanyakan tempat duduk. Menerjapkan matanya sekali lalu mata indah itu menari menatap pemuda itu dari atas sampai bawah. Seperti menilai. Kanaya pun tidak tahu tujuan ia melakukan itu, hanya saja otak dan tubuhnya bergerak untuk meneliti apapun yang ada di pemuda itu. Seperti ia tertarik mengenai apa pun yang ada di pemuda itu. "Tentu" jawab Kanaya seraya menganggukan kepala-nya pelan.

Pemuda itu tersenyum. Lihatlah senyum itu seperti saat kamu melihat Lucifer, malaikat tampan yang dihukum karena kesalahannya lalu singgah ke neraka. Sama seperti pemuda disebelahnya itu. Tampan namun berbahaya. Senyuman-nya seperti larutan gulali yang sudah berada dimulut, meleleh namun juga manis secara bersamaan.

Kanaya berdehem pelan. Mehilangkan kecanggung-an diantara kedua-nya. Kembali menatap note-nya. Secara singkat saja, ia tidak mau melihat pemuda itu lagi. Seperti-nya begitu juga dengan pemuda di samping-nya ini. Ia langsung sibuk dengan ponselnya tanpa memesan apa pun. Kanaya mengernyitkan dahi-nya. Tunggu, bagaimana pemuda itu tahu kalau ia berasal dari Indonesia? Rasa penasaran dari diri Kanaya menyeruak. Ingin bertanya namun ia ragu. Kekehan berasal dari sampingnya terdengar sampai telinga Kanaya. Kanaya menoleh sekilas. Melihat pemuda itu terkekeh pelan sambil bermain hp, ia rasa pemuda itu sedang chatting dengan pacarnya? entahlah.

Menghelah napasnya pelan. "Permisi" ujar Kanaya. Pemuda itu menoleh, tentu ia sadar Kanaya berbicara kepada-nya. Karena meja ke meja lainnya itu berjarak agak jauh, jadi tidak memungkinkan jika Kanaya berbicara selain kepada dirinya.

"Iya, kenapa?" Pemuda itu menatap Kanaya dengan posisi yang masih sama. Tidak dengan Kanaya yang pandangannya tetap kebawah– melihat note nya.

"Kamu tahu dari mana aku dari Indonesia? aku rasa, aku belum pernah bertemu dengan mu sebelumnya. Ini adalah pertemuan awal kita, kan?"

Suara itu. Ah manis sekali, seperti alunan lagu yang sangat indah dan halus.

Pemuda itu tampak diam sesaat, lalu terkekeh pelan. Kanaya yang bingung menoleh. "Kenapa malah kamu ketawa? sepertinya tidak ada yang lucu dengan pertanyaan ku" Pemuda itu tersenyum kecil. "Dari tas kecil mu– ada gantungan dengan tulisan Kanaya—" Nevan Menunjuk ke arah luar, "Di depan cafe tertulis bahwa banyak turis Indonesia yang berdatangan, jadi dengan kekuatan feeling kamu pasti sama dengan ku. Dan.. ternyata benar" Kanaya hanya menggangukan kepala-nya saja dengan jawaban pemuda itu. Sejujurnya dia tidak menyadari dengan tanda di depan cafe itu.  Ya walaupun ia tidak yakin jawaban itu sepenuhnya benar.

Mata Nevan bergerak melihat Kanaya yang sedang menggambar dengan tenang. Menatap cukup lama, melihat semua apa yang dilakukan Kanaya. Mulai dari menggambar lalu sesekali tangan lentik itu mengambil cangkir yang diduga berisi coklat lalu meminumnya dengan pelan dan juga karena Kanaya tidak menguncir rambutnya ia tertangkap beberapa kali menyelipkan sehelai rambut yang jatuh agar tidak menganggu pengheliatannya untuk melanjutkan menggambarnya.

Sedari tadi Nevan sudah menaruh ponsel nya, dan lebih fokus kepada Kanaya. Kedua pasang mata itu menatap lama gambar yang digambar Kanaya. Dengan spontan ia berkata "Kamu suka menggambar?" sebenarnya tanpa bertanyapun ia tahu jawabannya apa.

"Suka, sebagai hobi aja karena dari gambar kita bisa mengekspresikan diri kita. Apa yang kita rasain bisa kita ungkapin menggunakan perantara gambar. Banyak juga kan orang-orang yang kesulitan buat menggungkapkan apa yang dia rasa– menurut aku hal terbaik yang bisa dilakukan ya menggambar," Jelas Kanaya

Nevan tersenyum tipis, "Orang-orang itu— termasuk kamu?"

Kanaya menoleh. Membalas tatapan Nevan. Menggulum bibir bawahnya pelan, "Mungkin"

Nevan terlihat menganggukan kepala nya berkali-kali. Menatap sekilas note itu. "Terus kalau gambar itu ada makna-nya sendiri?"

"Ini? ga ada tujuan khusus aku gambar itu. Cuman lagi bosen aja, makanya gambar." Jelas Kanaya.

"Kalau gitu kamu pasti anak seni" jawab Nevan

Kanaya terkekeh, "Ngga suka kalau buat masuk jurusan. Jadi hobi aja kadang bingung banget mikir mau gambar apa kalau suasana hati biasa-biasa aja. gimana kalau masuk jurusan seni? bisa mati aku lama-lama. Tapi pengen coba masuk sih.  Em— Kalau kamu gimana?"

"Apanya— Menggambar? suka. Suka banget. Apa lagi gambar yang objek nya uda ada didepan mata— jadi ga pusing buat mikir seperti apa yang kamu katakan tadi, jadinya juga jatuhnya cuman ngeduplikat kan. Kalau tentang gambar buat mengekspresikan diri itu aku juga setuju sih."

Kanaya mengeyirit, "Contohnya— apa lagi gambar yang objek nya uda ada didepan mata itu gimana?"

Tentu mata kedua nya belum terputus dari tadi. Mungkin juga efek karena menemukan kesamaan diantara kedua nya? Nevan mendengar pertanyaan itu pun diam sesaat. Kanaya masih menatap Nevan. Namun ada yang berbeda. Ia tidak salah lihat kan? kalau Nevan sedikit terlihat mengeluarkan smrik nya. Ia tidak tahu karena apa— apa ia salah melihat atau salah memberikan pertanyaan?.

"Contohnya ya?" Nevan menunjukan ekspresi seolah-olah berpikir, "Seperti Jack sama Rose di Titanic, mungkin? Keliatannya bakal seru menggambar kayak gitu, ada makna diantara mereka berdua juga kan. Kalau ada cinta di antara kedua-nya. Jack yang lagi menggambar dengan Rose yang menjadi obyek. Tapi— kalau cerita tentang cinta itu bosenin banget menurut aku. Ga terlalu tertarik sama begituan. Beda lagi kalau menggambarnya, pasti suka." Di akhiri dengan kekehan kecil.

Kanaya ingin membuka mulutnya namun di urungkan saat Nevan terlihat ingin melanjutkan kata-katanya.

Kekehan itu sudah tidak ada, yang ada hanya suara serak sekaligus rendah dan suara merdu yang menjadi satu. Nevan memainkan lindah dalam mulutnya sesaat lalu tatapan yang berubah menjadi serius "Kanaya—" Membuat Kanaya bergidik sesaat, feeling nya ada yang tidak beres sebentar lagi. Seperti mendapatkan sinyal bahwa tidak aman. Kanaya tetap menatap Nevan, menunggu pemuda itu melanjutkan kata-kata nya.

"Kamu– mau aku gambar seperti Jack sama Rose lakukan?" Suara itu. Tatapan nya serta bibir itu membuat siapa aja yang melihatnya sedang melihat iblis berwujud manusia. Di bibir itu smrik muncul, sekarang tidak hanya setengah namun benar-benar terlihat bahwa pemuda itu sedang smrik. Mata nya nampak menggerling sesaat. Terlihat sekali seperti menggoda. Kanaya menegang, kaget mendengarkan apa yang dikatakan pemuda itu. Tentu ia paham maksud pemuda itu.

Dammit. Your hell has started, Kanaya. 

[]

[]

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Hell ShellDonde viven las historias. Descúbrelo ahora