Chapter 08. Tenang 'tuk Sesaat

111 43 215
                                    

Rania memeluk tubuh malangnya yang kedinginan, dia terus menatap jalan raya sambil sesekali mengecek ponsel, sudah hampir tengah malam, tetapi Liam tak kunjung datang. Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depan kantor polisi, hal itu kembali memberikan Rania secercah harapan. Ketika pintu terbuka, seseorang tampak keluar dari dalam mobil, puji Tuhan ternyata dugaan Rania benar, rupanya pengemudi mobil itu adalah orang yang sedari tadi dia tunggu—Liam.

Liam segera berlari menghampiri Rania. Rania pun bangkit, lantas mendekap Liam. Sedikit kaget, pelukan itu terlalu mendadak, Liam belum siap, tetapi biarlah Rania menggunakan tubuhnya untuk meluapkan emosi sejenak. Walau ragu, Liam membalas pelukan Rania perlahan, rasanya hangat. Alhasil rasa nyaman membiarkan kedua insan itu tetap menyatu untuk beberapa saat.

Liam melepaskan pelukannya, lalu menyeka air mata yang masih tersisa di pipi Rania sembari berkata, "Masuklah ke dalam mobil, aku bisa mengantarmu pulang. Tunjukkan saja jalan ke rumahmu."

"Liam ... apa boleh malam ini aku menginap di rumahmu saja?" pinta Rania dengan tampang memelas.

Liam diam sejenak, dia tengah menimbang-nimbang permintaan Rania. Bukankah rasanya aneh jika orang yang baru kau kenal kurang dari setengah bulan mendadak meminta untuk menginap? Namun, memandang raut wajah sendu Rania, Liam jadi tak tega, dia tahu wanita itu sedang tidak baik-baik saja. "Eummm ... iya, boleh. Nanti di perjalanan kalau ada sesuatu yang ingin kau ceritakan, katakan saja, aku bisa menjadi pendengar yang baik."

Rania tersenyum tipis sebagai pengganti ucapan terima kasih. Rania mengikuti Liam masuk ke dalam mobil, dia baru saja mengambil tempat duduk di kursi depan ketika tiba-tiba ada bau semerbak menyapa hidungnya, aroma yang begitu manis bahkan sedikit terkesan romantis. Meski kurang familier dengan aroma itu, Rania tetap menyukainya.

"Mobilmu harum sekali, ini bau apa?" tanya Rania.

"Bau bunga lili. Apa kau suka?" jawab Liam cepat.

"Iya, kau punya selera yang bagus."

Liam lantas tersenyum mendengar pujian itu. "Terima kasih. Ibuku punya toko bunga waktu aku kecil. Maksudku ... mendiang ibuku."

"Eh, maaf kalau aku mengingatkanmu dengan kepergian ibumu." Rania tiba-tiba merasa tidak enak.

"Tak masalah. Itu sudah jadi masa lalu juga," balas Liam.

"Lalu, apa kau sekarang tinggal dengan ayahmu?"

"Tidak, aku tinggal sendiri. Lagi pula aku tak pernah tahu siapa ayahku."

Kalimat Liam melintaskan tanda tanya di dalam kepala Rania, seketika dia kembali bertanya, "Maksudmu?"

Ada jeda yang cukup lama sampai akhirnya Liam berterus terang. "Entahlah, aku memang lahir tanpa sosok ayah yang jelas."

Mendadak hening, Rania menghadap ke luar kaca tanpa memberikan respons apa pun, tetapi dari gelagatnya dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Liam dengan cepat menyadari hal itu, dia tertawa palsu, lalu berkata, "Aku tahu apa yang ada dalam benakmu. Kau sedang mengumpatkan perilaku ibuku 'kan?"

"Tidak kok, aku bisa mengerti. Ibuku sendiri sebenarnya bukan sosok yang bisa kusebut baik. Ayahku bilang dia pecandu alkohol, setelah aku lahir dia tidak melakukan apa pun selain menghabiskan uang demi candunya. Dia bahkan tidak mengurusku, itu sebabnya ayah dan ibuku bercerai." Rania balik menceritakan sedikit tentang keluarganya.

Percakapan mereka terus berlanjut sepanjang perjalanan. Namun, makin lama Rania kian mengantuk, tak heran, sekarang sudah tengah malam, dia jelas kekurangan tidur. Pemandangan gemerlap lampu kota menghilang kala Liam membawa mobilnya keluar dari jalan raya, beberapa saat kemudian mereka berhenti di depan rumah kecil dengan halaman sempit yang hanya cukup untuk satu mobil.

Towards DeathWhere stories live. Discover now