Chapter 06. Dicurangi Kematian

126 41 183
                                    

Waktu berlalu, langit telah mengeluarkan semburat oranye, satu per satu pegawai mulai meninggalkan kantor karena memang sudah masuk jam pulang kerja. Rania mematikan komputer, membereskan meja kerja, kemudian beranjak dari kursinya, seperti pegawai lain dia juga hendak menuju rumah. Rania baru berjalan beberapa langkah, tetapi dia langsung berhenti kala merasakan ada seseorang yang menepuk bahunya. Seketika Rania berbalik untuk mendapati Yuli yang tengah berdiri tepat di belakangnya.

"Ran, ke parkiran bareng, yuk!" ajak Yuli.

Rania mengangguk kecil, lalu berjalan berdampingan dengan Yuli. Setibanya di parkiran, Rania dan Yuli berpisah karena rumah mereka memang tidak searah. Hampir satu jam Rania terjebak macet, walau kepanasan dia tak banyak protes. Biasalah, jalan raya ibu kota memang benar-benar padat, apa lagi pada jam-jam sibuk. Usai keluar dari daerah kemacetan, akhirnya Rania sampai ke kontrakannya.

Begitu gerah, Rania segera melepas blazer, lalu menggantungnya di balik pintu. Rania langsung ke kamar mandi guna membersihkan diri, beberapa saat kemudian dia keluar dengan dua handuk yang menutupi badan dan rambutnya. Rania membuka lemari, tanpa pikir panjang dia memutuskan untuk memakai kaus dan celana pendek selutut, lagi pula tidak ada gunanya bersolek, dia tak 'kan bertemu siapapun malam ini.

Riiing!

Mendadak ponsel Rania berbunyi, ketika dicek ternyata panggilan masuk dari Rangga. Rania merebahkan diri di atas kasur sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo, Rang. Ada apa?"

"Bukan apa-apa sih, Ran. Aku lagi kepikiran kejadian tadi pagi. Apa aku salah ngomong, ya, sama Andre?" tanya Rangga di ujung telepon.

"Astaga, kau kayak baru kenal Andre saja. Dia memang orangnya begitu, kalaupun dia yang salah, dia segan minta maaf duluan. Egonya tinggi," balas Rania.

"Iya juga, sih. Besok aku mau ke rumah Andre saja, biar aku yang minta maaf duluan," ujar Rangga mengalah.

"Baguslah, buat apa juga masalah begitu diperpanjang." Rania menghela napas lega.

"Ya, sudah, Ran. Aku mau pergi ke luar dulu, ya." Rangga hendak mengakhiri percakapan.

"Aku tahu kau mau pergi ke mana, ke bioskop 'kan? Dengan Alika," ucap Rania begitu yakin.

Sontak Rangga penasaran. "Eh? Kau tahu dari mana?"

Rania tertawa kecil kemudian menjawab, "Alika sendiri yang bilang ke aku. Semoga kencan kalian lancar, ya."

"Ini bukan kencan, Ran!" sanggah Rangga cepat.

"Ya, terserahlah mau kau sebut apa. Sudah, buruan sana, Alika pasti sudah nungguin,"

"Oke, aku tutup ya, Ran," ujar Rangga mengakhiri percakapan.

Setelah telepon itu berakhir, Rania meletakkan ponselnya di tepi kasur, dia mematikan semua lampu, lalu menutup jendela dan gorden yang berada di samping tempat tidurnya. Rania memejamkan mata, bersiap untuk tertidur, beberapa saat kemudian kesadarannya memudar dan dia terbawa ke alam mimpi. Namun tiba-tiba Rania terbangun di tengah-tengah mimpi, dia bisa merasakan kantung kemihnya yang telah penuh, mau tak mau dia harus pergi ke toilet sebentar.

Rania hendak bangkit dari kasur, tetapi mendadak ada hawa dingin menerpanya dari samping, dia lantas menoleh untuk mendapati gordennya yang bergerak akibat tertiup angin dari luar sebab jendelanya yang terbuka lebar. Tak pikir panjang, Rania hanya mengira mungkin dia lupa menutup jendela sebelum tidur. Nanti saja dihiraukannya jendela itu, Rania buru-buru pergi ke toilet, dia sudah tak tahan lagi.

Di dalam toilet Rania menurunkan celana pendeknya, usai mengosongkan kantung kemih dia segera membasuh kemaluannya, lalu memakai celana kembali. Masih setengah sadar Rania berjalan ke arah kasur, mendadak langkahnya terhenti lantaran penglihatannya yang tiba-tiba menangkap kilatan cahaya putih yang sekilas muncul dari kolong tempat tidur. Sempat bingung, tetapi Rania tak terlalu menggubris kejadian itu, mungkin saja dia hanya salah lihat. Tanpa berprasangka buruk Rania melanjutkan langkahnya.

Towards DeathWhere stories live. Discover now