BAB XIX: Materiil & Imateriil

109 39 14
                                    

Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.

**

Darmana, untuk pertama kalinya melihat teman-teman Bia berkunjung di gubuknya. Dari kecil, gadis itu tak pernah memiliki teman akrab. Pertama kali membuka pintu dengan suguhan pemandangan keceriaan pemuda-pemudi itu membuat hati Darmana tenang. Ia tak ragu untuk melepaskan Bia kembali ke kota setelah ini. Putri bungsunya telah memiliki para penjaga yang dapat ia pasrahi nanti.

Perlahan, Darmana mengetuk pintu dan mengucapkan salam agar tak mengagetkan mereka. Seketika keadaan menjadi hening. Hal itu membuat Darmana merasa tak enak karena telah merusak suasana hangat mereka. Ia mencoba tersenyum pada masing-masing mata yang menatapnya. Melangkahkan kakinya lebih mendekat, ia duduk di antara teman-teman putrinya. Ingin mencoba lebih akrab dengan mereka.

"Ayo dimakan nasi berkatnya," ujarnya sembari mengeluarkan loyang plastik yang telah ditatai nasi gurih, sambel goreng kentang dan hati, bihun goreng, telur tebus, dan ingkung ayam. Sebuah mika penuh dengan jajanan pasar seperti jenang, naga sari, onde-onde, dan seiris kue bolu terletak di bagian paling atas.

Bia beranjak ke belakang untuk mengambilkan beberapa mangkuk alumunium berisi air untuk kobokan.

"Silakan, jangan sungkan." Darmana mengulang ucapannya sekembalinya Bia. Disodorkannya loyang tersebut ke tengah-tengah mereka.

"Nggih Pak," Retno menirukan ucapan yang sering digunakan orang Jawa untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Bahasa krama inggil, namun hanya satu kata itu saja yang dia hafal.

Tangan Retno bergerak membongkar isi mika, Bia juga mulai memakan nasi gurih dengan lauknya yang diikuti semua temannya.

"Enak anjim," sontak Choky bereaksi pada makanan yang tak pernah ia jumpai tersebut.

Damar yang hendak memuluk nasi segera mengalihkan fungsi tangannya untuk menampar pelan Choky, "mulut dijaga,"

Darmana hanya terkekeh, ia ingin mencairkan suasana yang menjadi tegang karena kehadirannya.

"M-maaf, Pak, temen saya emang biasa makan sampah jadi mulutnya kotor," Rania meminta maaf atas perkataan kotor Choky. Tanpa disengaja, ucapannya juga tak kalah kotornya.

"Iya ndak apa, lanjutkan gih makannya,"

"Acara apa Pak di rumah Pak Narko?" tanya Bia.

"40 hariannya mbah Misbah, bapaknya Pak Narko,"

"Oh di sini masih pake selamatan gitu ya Pak kalau ada yang meninggal?" Kali ini yang bertanya ialah Choky.

Darmana mengangguk. "Masih, Mas. Kalau ndak diselamati jadi gunjingan tetangga. Memangnya di kota udah ndak ada?"

"Kalau di keluarga saya sudah enggak ehehe," Cengiran Choky menunjukkan adanya cabai merah yang terselip di giginya. Retno yang melihat langsung memukul-mukul Choky.

"Ih jorok banget sih lu,"

Choky menggeser posisi duduknya, badannya menyerong ke samping, mencoba menghindari pukulan Retno, "Dih apaan?"

"Itu, cabe di gigi lu,"

Semua mendadak tertawa, ada saja tingkah Choky untuk menghidupkan suasana.

Sementara Choky masih sibuk dengan cabai di giginya, Damar bertanya, "besok Pak ..." kalimat Damar terpotong karena tak mengetahui nama ayah Bia.

"Darmana," Darmana memperkenalkan dirinya, peka pada situasi.

Rudinmeter (End)Where stories live. Discover now