BAB XI: Hari Damar

130 39 19
                                    

Penulis hanya manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, pun dalam melontarkan argumentasinya. Mohon dikoreksi apabila ada yang salah atau kurang berkenan.

**

Terjadi kecelakaan tunggal bus dengan plat nomor AG 4223 LS di tol Rembang kilometer 65 pagi ini pukul 08.32 waktu setempat. Diperkirakan penyebab utamanya ialah sopir menyetir dalam keadaan mengantuk. Terdapat 16 korban meninggal dunia dan 21 korban luka-luka. Para korban telah di bawa ke Rumah Sakit Citra Medika, Pasuruan. Seluruh korban meninggal sedang dalam proses autopsi dan identifikasi.

**

"Ya?"

Terdengar nada kalut dan khawatir yang berulang kali menanyakan namanya dari seberang sana.

Bia hanya berdeham menanggapinya. Sebagai jawaban untuk meng-iya-kan pertanyaan aneh dari orang tersebut.

Suara helaan napas panjang menghembus dari sambungan telepon. Bia yang tak mengerti langsung bertanya, "Kenapa?"

"S-syukurlah kalau baik-baik aja, ini lagi dimana?"

"Di jalan."

"Ya sudah hati-hati, nanti sampai kos tolong kabarin, ya?" sambung seseorang tersebut kemudian mengucapkan salam.

Ponselnya memiliki magnet tersendiri untuk selalu menarik atensinya. Panggilan sudah terputus, durasinya sudah tak bergerak. Layar menunjukkan pada log panggilan yang hanya tertera nama kontak "Bapak" dan "Kak Rendy" sepenuhnya.

"Ciyee, kasmaran lu? Siapa?" Retno yang duduk di sampingnya bertanya, pandangannya lurus ke depan konsentrasi dengan kegiatan menyetirnya.

"Zia," jawab Bia singkat.

Bia tersenyum-senyum sendiri mendapatkan perhatian intens dari adiknya. Lucu juga si bungsu tiba-tiba menanyakan hal yang tak biasanya. Teringat kejadian tadi pagi ketika mereka ke pasar. Keakraban mereka yang baru saja terjalin. Zia yang secara gamblang mengutarakan rasa kagum sekaligus isri padanya. Merasa tak adil bahwa dia diperlakukan dan mengetahui hal buruh tentang Dewi. Dan tentang apa saja yang terjadi padanya akhir-akhir ini di sekolah dan di lingkungan mayarakat. Bia menyesal tak seakrab ini dengan adiknya sejak dulu.

Mobil Retno masih melaju menuju tempat perjanjian. Iringan lagu pop barat mengalun dari CD player. Hari ini merupakan hari ulang tahun Damar. Mereka sudah berjanjian untuk berkumpul di restoran cepat saji yang menjual ayam krispi dekat dengan kontrakan Damar. Maka dari itu Bia memutuskan kembali ke kota ketika masih pagi sekali, agar tidak melewatkan momen ini. Sesaat setelah sampai di terminal, Retno sudah menjemputnya karena Bia selalu mengomunikasikan posisinya padanya seiring dengan perpindahan bus.

Kembali ke tempatnya sekarang, Bia mendadak gusar. Wajahnya menunduk, tangannya memainkan resleting ranselnya yang ia bekap di depan tubuhnya.

"Kebelet, Lu?"tanya Retno menyadari tingkah Bia.

"Ndak, Kak. Itu ... kado," lirih Bia.

Retno yang menyadari kondisi ekonomi Bia berusaha menghibur. "Udah tenang aja, kadonya udah kami siapin bareng kemaren. Lu gak perlu khawatir."

Kalimatnya memang benar-benar bijaksana dan menyegarkan, tak heran apabila Retno yang paling dihormati di tim inti ketimbang Choky meski dia ketuanya. Dia sama-sama pandai bicara namun tak sebar-bar Damar. Bia mengamati Retno dari samping, kalau di lihat-lihat dia cantik juga meski tingkahnya agak tomboy. Hidungnya mancung, matanya lebar, bulu matanya lentik, dan bibir merah jambu. Semuanya alami tanpa riasan sedikitpun. Bahkan wajah putihnya tak tersentuh bedak sedikitpun. Rambutnya yang lurus dipotong pendek menggantung hingga bawah telinga. Dengan hiasan anting berbentuk persegi panjang menurun simple berwarna perak yang terdapat pahatan-pahatan indah mengukir benda kecil itu juga beberapa mata berlian yang sangat kecil bertebaran di beberapa sisi pahatannya. Bia tak ia mengerti bahannya apa, namun yang pasti harganya mahal dilihat dari kemewahan dan bentuknya yang khas. Pandangan Bia beralih pada jemari lentik Retno yang menggenggam setir, terdapat cincin perak yang senada dengan antingnya melingkar di jari telunjuknya.

Rudinmeter (End)Where stories live. Discover now