33. Bergelut Dengan Kalut

Start from the beginning
                                    

***
Di tempat lain Lud kebingungan. Mendengar tangis Gendhis, rasanya ia ingin pulang saat itu juga. Namun, hari ini ia mempunyai janji dengan psikiaternya. Menurut dokter andrologi yang kemarin didatanginya, disfungsi ereksi yang berakibat pada penurunan libidonya itu disebabkan karena tekanan yang dialami oleh Lud. 

Tak dipungkiri, Lud tertekan karena tuntutan dari keluarganya yang ingin ia segera menghamili Gendhis. Bukan Lud tidak mau melakukan kewajibannya sebagai seorang suami, tetapi apa yang terjadi bila Gendhis tahu belutnya tidak bisa berdiri seperti ular cobra yang menari mendengar suara seruling. Membayangkan reaksi Gendhis saja sudah membuat Lud bergidik. Tak hanya itu, Lud juga stress karena ia harus menyelesaikan segera skripsinya agar bisa lulus dan bekerja. Tidak enak ia sudah menikah tapi masih diberi jatah dari orang tua dan mertua.

Mau tidak mau, akhirnya ia mengakui rahasianya kepada Jati dan sahabatnya itu membantu dengan menemani Lud pergi ke dokter androgen. Ada beberapa obat-obatan yang ia konsumsi. Lud tak tahu obat apa. Kata dokter yang bersikap gemulai itu, obat yang diberikan berfungsi meningkatkan peredaran darahnya ke organ kebanggaan. Namun, sepertinya obat itu tak banyak pengaruhnya.

Sebenarnya, Lud ingin jujur pada Gendhis. Namun, saat ia ingin jujur, lelaki itu justru mendapati hal yang mencabik hatinya. Lud yang merasa rendah diri karena tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang lelaki untuk memberikan kenikmatan duniawi pada seorang istri, dan menaburkan benih, harus berhadapan dengan kenyataan Gendhis berselingkuh di depan matanya.

“Ayo, Lud. Jadi nggak ditemani ke psikiater.” Lamunan Lud buyar mendengar seruan Jati.

Jati berdiri di depan kaca menyugar rambutnya, kemudian mengelus dagunya yang licin, sambil memcermati penampilannya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mengagumi wajahnya yang tak kalah dari Lud. Lelaki berdarah Arab itu terlihat kontras dengan Lud yang berwajah oriental.

Lud hanya duduk di bibir ranjang di kamar Jati. Pandangannya kosong, walau tertuju ke arah sahabatnya. Jati mengernyit melihat wajah kusut Lud.

“Jat, aku pulang aja deh. Masa iya, mau konseling seksual sama cowok. Aku udah dipikir gay sama Ndhis, bisa semakin runyam perkara.” Lud mendesah panjang. “Lagian, Ndhis nangis di apartemen. Dia pasti shock pas mikir suaminya nggak normal. Makanya dia cari cowok yang terkenal perkasa macam Albert.”

“Makanya Lud, tunjukkan keperkasaanmu. Lagian kamu nggak ngapa-ngapain dia. Setidaknya kasih dulu aja tanda kepemilikanmu di sana. Biar Gendhis nggak disambar orang!” Jati mulai memberikan saran aneh.

“Cincin kan udah jadi tanda Gendhis punyaku? Kurang apa lagi coba?” tanya Lud.

“Lud, Lud. Dasar ya, kamu itu jadi cowok nggak peka banget. Cewek itu butuh disayang-sayang. Ingin dimengerti. Dibelai-belai dengan kelembutan hingga dia melayang sampai ke langit ke tujuh,” kata Jati memulai kuliah pendeknya, disambut anggukan Lud yang percaya saja kata-kata Jati.

Lud akhirnya tetap mencoba menemui psikiater. Tetapi dokter spesialis kejiwaan itu justru meminta Lud datang bersama Gendhis. Itu artinya sudah saatnya Lud membuka kenyataan tentang keadaannya. Tentu saja lelaki itu galau. Bagaimana pun Lud adalah seorang lelaki. Mengakui tidak bisa ereksi, rasanya Lud ingin lenyap ditelan bumi. Lud malu, sekaligus takut apabila Gendhis tidak bisa menerima keadaannya.

***

Pagi ini Gendhis bangun dengan kepala yang pening. Tak hanya itu, badannya terasa kaku. Ketika ia membuka kelopak mata yang lengket, ia mendapati tangan dan kaki Lud melingkar di tubuhnya. Dalam hati Gendhis lega karena Lud pulang. Bahkan lelaki itu tidur memeluk tubuh mungilnya. Selama ini, Lud jarang tidur di kamar mereka. Ia sering ketiduran di sofa dengan berkas yang berantakan.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Where stories live. Discover now