28. Rendang Cinta

Mulai dari awal
                                    

“Aku bingung. Jujur, aku malah semakin kangen sama dia selama ini, karena dia nggak hubungin aku selama aku berpikir. Sore ini aku harus kasih keputusan, biar nggak ngambang.” Wajah Gendhis tampak kusut.

“Kamu bener-bener suka sama Lud, ya?” tanya Albert disambut anggukan Gendhis.

“Terus, masalahnya di mana?” Albert menggaruk-garuk kepala tak gatalnya. Ternyata Gendhis tetaplah kaum Hawa yang membingungkan. 

“Ya, karena Mas Lud kaya nggak ada usaha gitu! Aku takut sakit hati,” ujar Gendhis semakin lama semakin lirih. Ia hanya menunduk, menatap kosong piring Albert yang juga sudah bersih tak tersisa satu bulir nasi pun.

“Ndhis, kalau sudah memutuskan sayang sama orang, harus berani sakit. Contohnya, kaya mamaku. Dia sayang banget sama papaku sampai menyerahkan segala. Akhirnya mama hamil dan melahirkan aku, tapi papaku … pergi gitu aja. Bahkan tak terlacak. Tapi apa yang terjadi? Mama memilih jadi single parent. Di akteku pun tertulis nama mamaku. Dia bilang, kalau berani mencintai, ya harus berani sakit hati. Kaya aku sekarang ini, ditolak melulu sama kamu, tapi aku tetep suka sama kamu.”

Gendhis mencebik. Ujung-ujungnya Albert selalu menyelipkan pesan sponsor. Namun, ada satu yang ia tangkap. “Berani mencintai, berani mengambil resiko sakit hati.”

“Be, makasih ya. Kamu emang sahabatku paling baik.”

Albert tersenyum dengan perasaan getir.

***

Gendhis berjalan hilir mudik di kamarnya. Dia sudah siap dari pukul lima sore. Sengaja ia membalut tubuhnya dengan dress bunga-bunga warna pastel yang sangat cocok dengan warna kulit sewarna madu hutan. Ia memoles sedikit wajahnya hingga parasnya terlihat segar.

Bibir berpoles lip cream yang mengandung shea butter itu menjadi sasaran pelampiasan kegelisahannya. Berulang kali Gendhis melirik ke arah jam beker di meja belajarnya, sambil menggigit bibir. Ia tak sabar ingin bertemu Lud. Kerinduannya sudah membuncah. Ia tidak bisa membohongi dirinya.

Begitu bel yang mengarah ke kamarnya terdengar, ia bergegas meraih sling bagnya dan keluar dari kamar. Langkahnya berderap saat menuruni tangga.

Gendhis mempercepat langkah menuju serambi. Saat itu Lud sedang menekuri gawainya. Jantung Gendhis berdetak kencang kala matanya menangkap sosok lelaki berkulit terang dengan rahang yang tegas. Beberapa hari tak bertemu, Lud terlihat semakin rupawan dengan rambut yang lebih panjang dari sebelumnya. Kemeja biru muda dengan vest rajut biru dongker yang dikenakan Lud membuat pesonanya semakin menguar. 

“Mas,” sapa Gendhis dengan dada kembang kempis.

Lud mendongak. Matanya mengerjap melihat gadis manis dengan kecantikan asli Indonesia itu berdiri di depannya. Ia tersenyum tipis dan bangkit begitu saja. Gendhis sudah tahu, ia tidak akan dipuji dengan penampilan habis-habisannya. 

"Udah siap? Ayo, berangkat." Hanya itu kalimat pertama Lud setelah melihat Gendhis. 

Pria itu keluar begitu saja ke halaman. Gendhis hanya bisa melongo. Rupanya jin perayunya juga tidak betah berlama-lama merasuki makhluk sedingin es macam Lud.

Sejurus kemudian  Gendhis sudah membonceng menyamping di sepeda motor milik Lud. Ia berpikir, Lud akan membawa mereka ke kafe atau resto. Tetapi, justru Lud membawa Gendhis ke apartemennya. Sepanjang perjalanan mereka hanya membisu. Gendhis merasa canggung sekali berceloteh seperti dulu.

“Kita makan malam di apartemen ya? Aku sudah siapin makanan spesial," kata Lud saat mereka menuju ke lantai tujuh. 

Gendhis hanya mengikuti Lud tanpa banyak bicara. Begitu masuk ke apartemen 702, wangi masakan menguar. Ia memandang berkeliling ruangan yang tidak terlalu luas. Matanya memindai semua sudut ruang yang pernah ia singgahi.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang