26. Merayu Gendhis

Start from the beginning
                                    

"Ndhis, harus dengan cara apa agar kamu bisa mempercayaiku?" Suara sendu itu mengalun di kalbu, meruntuhkan air mata yang telah lama ia tahan.

"Kenapa Mas Lud tidak berjuang mendapatkanku? Kenapa Mas Lud diam saja?" Nada pilu Gendhis terendam. Baju Lud sudah basah.

Lud mengurai pelukan. Begitu terlepas dari kungkungan raga kekar lelaki itu, Gendhis menyeka matanya kasar. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan lelaki yang meninggalkan kesan yang sangat dalam. Namun, sepertinya Lud tidak memberikan Gendhis ruang gerak untuk menata hati yang terombang-ambing.

Lelaki itu menangkup pipi Gendhis dengan kedua tangannya. Punggung tangan yang kuning itu terlihat kontras di wajah berkulit madu hutan yang mengkilap oleh air mata. Lud membungkukkan badan, menyamakan wajahnya dengan wajah Gendhis. Mata mereka sejajar sehingga Lud bisa memandang lurus iris legam Gendhis.

"Ndhis, aku emang bukan cowok-cowok di drakor yang suka kamu tonton. Aku nggak tahu cara memperlakukan cewek dengan baik. Tapi, tahu nggak ...." Lud menggigit bibir merahnya. Pipinya memerah pekat. "Kamu cewek yang berhasil menggetarkan hatiku."

Kini runtuh sudah pertahanannya, bagai benteng yang digempur oleh musuh. Gendhis tergugu dengan punggung yang hebat. Bayangan sosok Lud itu sudah mengabur karena air matanya gugur begitu saja tak mampu ia tahan.

Lud mengernyit. Menyapu pipi berkulit eksotis yang mulus itu dengan ibu jarinya. "Sejak kapan Gendhis jadi cengeng gini?"

Gendhis memukul pundak Lud. Lelaki itu diam, masih menatap Gendhis dengan tenang. Gendhis mengusap matanya dengan kasar. Bibir yang selalu dibanggakannya itu mencebik, maju hingga lima senti.

"Kamu mau ngasih aku kesempatan, Ndhis?" tanya Lud.

Gendhis menyipit. Matanya menyelisik kedalaman hati Lud. Ia tidak ingin terjebak untuk yang kedua kalinya. "Aku kan udah jadian sama Abe."

Lud menegakkan tubuh. Dia terkekeh. Benar-benar Gendhis sadar betapa ia sangat memuja Lud. Mendengar tawanya saja batinnya menghangat. Raut dengan tarikan bibir lebar itu membuat paras lelaki itu semakin rupawan. Jantung Gendhis dengan mudahnya berdetak kencang.

Gendhis memukul kepalanya, menyadarkan diri agar tidak terlalu bucin.

Kekehan Lud masih tersisa. Ia menarik hidung sedang Gendhis membuat gadis itu terpekik. "Aku tahu kamu berbohong."

Wajah sawo matang itu memerah. "Mana ada?"

"Kamu nggak perlu tahu, aku tahu dari mana. Yang jelas jauhin Abe. Aku nggak sreg kamu deket sama Play Boy macam dia." Raut kekhawatiran Lud membuat Gendhis menelengkan kepala.

"Abe bilang suka kok sama aku!" Gendhis berkeras dengan dustanya. "Mas pikir aku nggak laku?"

Lud mengerut. "Ndhis, kamu itu manis. Wajah dan perhatianmu sangat manis. Cuma ketutup sama sikap absurd dan cerobohmu."

Mata Gendhis berbinar. Baru kali ini ada laki-laki yang memuji fisiknya manis, selain papanya dan kadang Kumbang bila sedang ada maunya.

"Bener, Mas?" Mata basah berbulu lentik itu mengerjap.

Tapi tak semudah itu Lud meyakinkan Gendhis. Ia memang bucin, tapi ia cerdas. Otaknya menimbang apa Lud benar-benar jujur.

"Maaf, Mas. Tadi itu begitu indah. Seperti mimpi. Aku takut kalau aku bangun semua lenyap." Gendhis menggigit kecil bibirnya. Ia benar-benar tidak ingin terluka sekali lagi.

Mami Bella keluar dari ruang rawat. Senyumnya merekah saat mendapati anak lelaki bungsunya bisa menahan Gendhis.

"Nyo, kamu masuk sebentar gih. Mami mau bicara bentar dengan Ndhis. Mungkin aja ini percakapan kami yang terakhir."

Hati Gendhis nyeri. Rasanya sesak saat Mami Bella mengatakannya. Sejak kunjungannya ke kediaman Keandra di Magelang, Gendhis merasa nyaman di keluarga itu. Terlebih Mama Gempi juga senang karena melihat Mami Bella menyayangi Gendhis seperti putrinya sendiri.

Mami Bella mengajak Gendhis duduk di kursi aluminium yang ada di tepi lorong. Dia duduk menyamping, menghadap gadis Jawa yang berkulit eksotis. Wanita yang kecantikannya masih tersisa di parasnya itu lagi-lagi mengurai senyum.

Mami Bella meraih tangan Gendhis. Menepuk punggung tangannya seolah ingin menghalau kesedihan gadis itu. "Ndhis, Mami nggak tahu harus ngomong apa. Penginnya Mami mempertahankan kamu sebagai menantu Mami. Tapi pernikahan itu masalah hati yang bertaut."

Wanita itu menghela napas panjang. "Mami kaget, Sinyo berkata seperti itu di depan kami. Kamu tahu, anak itu jarang sekali mengungkapkan perasaannya. Hanya berdeham, bergumam nggak jelas kalau ditanya macam-macam. Mungkin karena dia laki-laki sendiri, jadi dia ngerasa nggak ada teman di rumah. Main juga sendiri. Paling ngobrol biasa sama Akong dan Papi sambil main catur."

Gendhis masih membisu.

"Mami pikir, dia itu gay karena kebanyakan jalan sama teman laki-lakinya." Mami Bella terkekeh mengingat tuduhan pada anak laki-lakinya. "Sempet juga kepikiran dia sengaja mutusin kamu karena nggak tertarik sama perempuan. Tapi, mendengar dia ngungkapin perasaan di depan kami, Mami bisa bilang perasaannya sungguh-sungguh."

Gendhis tahu arah pembicaraan Mami Bella. Ia menatap Mami Bella sendu. "Mi, maaf. Ndhis ... Ndhis masih sakit hati. Gimana kalau Mas Lud ngomong gitu karena terpaksa?"

"Tidak!" tandas Mami Bella. "Percaya sama Mami. Karena Mami mengenal anak yang Mami lahirkan."

Gendhis mendesah. "Mi, kasih waktu Ndhis buat berpikir. Gendhis nggak mau salah melangkah. Pernikahan itu sekali seumur hidup. Ndhis nggak pengin nyesel."

💕Dee_ane💕

Ikutin juga kisah Clary di lapak  furadantin

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Where stories live. Discover now