Chãp 3

32 9 17
                                    

Aku berlari masuk ke dalam kamar, meninggalkan papa dan mama yang beristirahat di sofa. Suara dentuman kecil terdengar saat langkah ku menaiki anakan tangga. Jujur, hari ini sungguh melelahkan. Bayangkan saja, acara tadi berdurasi hampir lima jam tanpa jeda.

Aku meneruskan langkah ku. Selembar kertas piagam sedang ku genggam, tidak sabar memberitahu pada Rakan.

Ceklek..

Pintu terbuka. Aku menatap cermin sambil melangkah ke arahnya. Sementara piagam tadi ku sembunyikan di balik punggung.

Tokk.. Tokk..

Aku mengetuk pelan bidang datar di depan. Perlahan memunculkan sosok bayangan, lalu terlihat jelas fisiknya. Rakan duduk bersila di dalam sana, menatap antusias ke arah ku.

"Lihat apa yang ku dapatkan! Piagam murid terbaik!" Aku berseru kegirangan. Sama sepertiku Rakan tersenyum lebar, matanya berbinar menatap kertas yang ku bawa.

"Itu hebat sekali Alika, selamat."

"Makasih Rakan."

Aku sedikit memajukan posisi duduk lebih mendekati cermin. Menatap penuh selidik ke arah Rakan yang sedang kebingungan. "Kamu menonton siaran Hara sampai habis?"

"T-tentu saja. Kamu jangan menatap ku demikian," ujar nya yang sedikit ngeri melihatku.

Saat aku berkontak dengan Rakan melalui cermin ini. Sepertinya hilang ciri khas kaca yang dapat memantulkan bayangan objek di depan nya. Lantas hanya menampangkan seorang Rakan disana dan ruangan gelap di sisa sisi cermin. Begitu pun sebaliknya, saat Rakan raib dari cermin, aku bisa kembali melihat diriku disana, cermin itu kembali pada ciri khasnya.

"Baiklah-baiklah, sekarang aku akan membalikkan cermin ini, aku ingin berganti pakaian." Aku berdiri, menyimpan piagam di atas nakas dekat dengan cermin.

"Lagipula aku tidak berniat melihat mu dengan keadaan seperti itu," balas Rakan, mungkin sedikit tersinggung.

"Tidak ada salahnya mencegah bukan?" Aku terkekeh.

●●●

Satu jam lagi senja akan menghampiri, menyapa dataran dengan cahaya indahnya. Papa mengajak aku juga mama pergi ke taman. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu di luar rumah, jadi tidak ada salahnya menolak ajakan papa.

Mobil tua nya berhenti di lapangan rumput yang luas. Aku terkesiap takjub saat turun dari mobil dan menatap seluruh penjuru. Lama sekali aku tidak kemari, terakhir saat Rakan mengajak untuk membeli es cream.

Mama menggelar tikar, tidak terlalu besar namun cukup untuk tiga orang. Mama duduk menyusul juga papa, hanya aku yang masih berdiri di salah satu sisi tikar.

"Ma, pa, aku pergi kesana sebentar, ya?"

"Yaudah, jangan lama-lama." Aku menggguk segera berlari.

Banyak orang dengan berbagai umur disini, anak-anak bermain bola kaki ada juga yang bermain layangan. Beberapa sekelompok remaja sedang bersantai dengan lembaran kertas, sepertinya sedang kerja kelompok.

Aku berhenti di tepi danau, tak jauh dari tempat mama menggelar tikar. Danau yang tidak terlalu besar, biasanya disini aku bermain batu melompat bersama Rakan. Terkesiur angin mengenai anakan rambut. Aku mengambil beberapa batu yang tergeletak di rumput. Melemparnya ke danau.

●●●

Bola mentari sudah total tenggelam di barat. Langit senja berganti langit malam. Aku memasuki kamar, hening. Aku baru pulang dari taman.

Aku menutup pintu rapat. "Rakan, aku pulang!!" Setibanya sesosok pemuda muncul di dalam cermin setelah aku mengetuk pelan seperti biasa. Aku duduk di hadapan nya, menatap lamat-lamat wajah Rakan yang terbilang tampan.

Rakan duduk bersila. Sebenarnya aku masih takut dengan situasi ini, mustahil ada kehidupan di balik cermin. Namun, setelah melihat kejadian di depan, sepertinya memang benar, dunia memiliki segudang keajaiban.

Jadwal tidur tiba, seperti biasa mama memasuki kamarku. Memastikan bahwa aku sudah meminum pil itu. Tapi lagi dan lagi aku menaruh pil itu di laci nakas setelah mama menghilang dari bingkai pintu.

"Selamat malam Rakan."

"Malam Alika."

●●●

Seperti biasa Rakan membangunkan ku. Masih pukul tujuh pagi, aku beranjak turuk ke lantai satu. Membawa roti selai juga susu. Kembali aku menaiki anak tangga, masuk ke kamar.

"Mau?" Aku menjulurkan sepotong roti selai ke depan cermin.
"Tidak, terima kasih."

Sembari melahap sepotong roti selai, tak lupa kami bercanda gurau. Gelak tawa terdengar di penjuru ruang kamar. Beberapa obrolan juga menemani kami. Seketika obrolan dan tawa lenyap saat mama memasuki kamar. Aku menatapnya.

Dia mengernyit, menatap ke sekitar kamar, hendak mencari sesuatu. "Tadi kamu mengobrol dengan siapa?"

Refleks aku menatap cermin. Rakan tidak ada. Kembali menatap mama yang terlihat keheranan. "Mana ada aku mengobrol. Mungkin mama salah dengar kali atau mama dengar suara anak tetangga."

"Sepertinya. Tapi kamu kenapa bangun pagi?"

"Memang ada larangan nya, Mah?"

"Tidak ada, tapi kamu yakin sudah minum obat kamu?"

Aku mengangguk singkat. Raut wajah mama mulai berubah. Dia mengajak ku sarapan dibawah, namun ku tolak. Dia berbalik, beranjak keluar dari pintu.

Masih menatap kepergian mama dari balik pintu, aku sudah dikejutkan oleh Rakan yang duduk bersila di cermin. Dia muncul dalam cermin. Tidak berpikir panjang kami kembali mengobrol yang sempat terpotong.

"Ngomong-ngomong, kamu akan masuk universitas mana?" Tanya Rakan.

"Aku bingung, banyak unversitas yang aku minati dalam waktu bersamaan, dilain sisi aku takut boleh satu kuliah dengan mu? Atau satu fakultas dengan mu?"

Rakan segera menggeleng tidak setuju. "Tidak selamanya kamu harus bergantung dengan ku, Al. Kamu harus belajar menjalani kehidupan sendiri. Aku yakin kamu bisa."

"Bagaimana jika pembully itu—" Rakan tersenyum singkat sekaligus memotong kalimatku. "Semua orang termasuk penjahat sekalipun, pasti memiliki titik penyesalan atas kejahatan dan keburukannya."

"Contohnya kemarin, apa para pembully mu kemarin, tepatnya hari kelulusan mencoba bertindak semena-mena padamu? Lisan atau sikap?"

Aku menggeleng. "Berarti mereka telah berada di titik penyesalan itu, penyesalan dimana mereka pernah membully mu. Entah diatas dasari alasan apa aku juga tidak tahu."

"Terkadang, kita juga harus memaafkan kesalahan mereka. Seburuk apapun perlakuan mereka ke kita pasti ada suatu alasan yang kuat atau dorongan yang memaksa mereka melakukan itu. Jika kamu tetap keukeuh tidak menerima maaf, apa bedanya kamu dengan pendendam?" Jelas Rakan panjang lebar yang sedari tadi aku perhatikan.

"Seburuk apapun?" Aku mengulang beberapa kata dari penjelasan nya.

"Seburuk apapun, jika memang hati mu masih memiliki celah untuk memaafkan nya. Perlu diingat, menerima maaf itu ada sikap terpuji."

Aku mengangguk, kembali mengunyah roti selai.

●●●

BERSAMBUNG...

Ceŕmin {Eñd}Where stories live. Discover now