Chãp 1

51 10 16
                                    

Jam tiga lewat sepuluh menit dini hari, tanpa alasan aku terbangun dari tidur. Mata ku tidak ada menandakan kantuk. Ruang kamar sepi, gelap, hanya lampu tidur sebagai penerang. Tidak banyak yang harus aku lakukan di pagi buta seperti ini. Aku berdiri, membuka gorden membiarkan cahaya bulan menyinari kamar. Bintang-gemintang juga ikut menghiasi langit, indah sekali.

Aku mengambil ponsel di atas nakas, lantas mengklik fitur di dalam nya. Rakan, nama salah satu kontak yang akan ku hubungi.

Tuuuttt.. Tuuuttt..

Lagi dan lagi Rakan tidak mengangkat teleponku. Hampir genap dua bulan kami tidak pernah berkontak satu sama lain. Entah apa yang terjadi dengan nya di sana. Aku berusaha tidak memikirkan hal buruk tentang Rakan.

Biasanya saat aku terbangun di malam hari, aku selalu menelepon nya, bercerita ringan mengisi waktu hingga kantuk ku kembali datang. Tapi sekarang, sepertinya aku tidak bisa berharap banyak.

Dia Rakan Reygand, laki-laki yang sering membuatku tertawa, dan dia satu-satunya sahabatku. Selama Sekolah Menengah Atas, semua orang menjauhiku, mungkin karena aku seorang introvert atau mereka beranggapan aku perempuan culun. Namun berbanding balik dengan Rakan, dia bagai malaikat pelindung.

Sejak perkenalan kami, hampir dari kata jarang aku dibully. Sebelumnya cacian, makian, ejekan selalu menusuk setiap hari. Tapi saat takdir mempertemukanku dengan nya kebahagiaan muncul dengan sendiri. Rakan lebih tua dua tahun dariku, dia juga tidak terlalu terkenal di sekolah. Dan dia sudah lulus dua tahun yang lalu. Rakan adalah orang paling perhatian yang pernah kutemui saat papa dan mama sibuk dengan bisnis nya.

Aku kembali berbaring di kasur, percuma menunggu panggilan masuk darinya. Apa dia baik-baik saja? Atau kah dia mengganti nomor? Atau jangan-jangan terjadi sesuatu padanya? Pikiran negatif berdatangan malam ini.

●●●

Tookkk.. Tookkk..

Ketukan pintu berhasil membangunkanku dari tidur. Seperti biasa alarm alami sudah mulai bekerja, mama, dia berteriak dari lantai satu.

"Alika bangun! Hari ini jadwal kontrol kamu," Teriak mama dari bawah.

Aku mengerjapkan mata, sinar matahari pagi menyiram tubuhku. Aku duduk dipinggir kasur, mengucek mata, sesekali menguap.

"Iya, mah! Aku segera bersiap." Mendengar balasan dariku tak terdengar lagi panggilan.

Aku berdiri, berjalan menuju kamar mandi. Hari ini jadwal kontrol ku ke rumah sakit. Mama aneh, kenapa aku harus kesana? padahal aku tidak merasa sakit sama sekali. Meskipun aku pernah masuk ke rumah sakit dua bulan yang lalu.

Berbeda dari wanita lain diluar sana yang harus bersiap satu jam atau lebih. Aku sudah siap dari dua puluh menit yang lalu. Dengan hoodie cream, celana jeans, dan rambut hitam yang sengaja ku gerai. Dan sedikit sentuhan jepitan rambut putih. Siap.

Aku keluar dari kamar, jam masih menunjuk angka delapan. Mama dan papa menatap ku dari meja makan, mereka tersenyum hangat. Kami sarapan bersama, dengan biskuit serta susu cokelat.

"Bagaimana keadaanmu?" Papa membuka suara.
"Seperti kelihatan nya." Aku mengunyah biskuit di meja lalu meneguk susu cokelat.

"Apa kamu sudah melup-" Papa menggantung kalimatnya saat sentuhan tangan mama mendarat di punggung tangannya. Raut wajah mereka sungguh tidak bisa ditebak ada ketakutan yang mereka sembunyikan.
"Ayo kita lanjut sarapan."

Sepuluh menit berjalan, sarapan kami habis tidak bersisa. Papa segera berdiri, keluar dari rumah disusul mama juga aku. Papa memasuki mobil nya yang bisa dibilang cukup tua. Aku dan mama juga ikut masuk. Papa menyalakan mesin lantas melesatkan mobilnya.

Ceŕmin {Eñd}Where stories live. Discover now