24. Bimbang

Mulai dari awal
                                    

Satu jam kemudian, bel pintu apartemennya berdering nyaring. Lud sedang makan telur ceplok dengan nasi hangat. Masih mengunyah makanannya, Lud membuka pintu dan terkuaklah Ester dengan mata berkaca-kaca.

"Ce, awa ava?" Mulut Lud yang masih penuh membuat artikulasinya tak jelas.

Begitu masuk, gadis yang usianya tiga tahun di atas Lud itu, memeluk adiknya. Lud mengernyit. Ester selalu memeluknya bila ia sedih.

"Ada apa, Ce?" tanya Lud.

"Akong, Akong …." Jawaban Ester terbata.

"Kenapa Akong?"

"Akong di rumah sakit. Beliau kena serangan jantung pas denger Mami marahin kamu putus sama Gendhis. Kamu sih ditelepon nggak diangkat!" Ester menyeka air mata dengan punggung tangannya. Lalu ia memukul lengan kekar adiknya. "Lagian ngapain sih kalian pakai putus! Nggak jelas banget! Baru beberapa waktu lalu lamaran, udah putus!"

Lud meringis. Ia sungguh-sungguh tersiksa di antara para wanita. Merepotkan! Kalau tidak dicereweti, pasti akan dipukuli seperti ini. 

"Gendhis yang minta," kilah Lud, mwngusap lengannya naik turun.

"Kamu nggak inget apa pesennya Akong buat jagain Ndhis. Beliau itu sudah sayang sama Ndhis, Nyo!" Mata sipit yang bereyeliner membentuk mata kucing itu menyipit.

Lud tak menjawab. "Ya udah, Ce. Ayo kita susul ke Panti Rapih. Paling Papi juga belum sampai."

***
Benar dugaan Lud. Saat Lud dan Ester tiba di Panti Rapih, orang tuanya baru sampai di Turi. Mereka menunggu dengan gelisah di depan drop zone IGD.

Begitu mobil keluarga Keandra dengan plat nomor AA masuk halaman rumah sakit, Lud dan Ester menyongsong rombongan. Begitu membuka pintu mobil, Akong tergolek lemas di kabin kedua ditemani Mami Bella. Seorang satpam membantu untuk menurunkan Akong dari mobil dan membaringkan di atas brankar. 

Suasana riuh. Semua panik. Akong yang lemas itu membuat Lud merasa bersalah. Lud disuruh memarkir mobil sementara yang lain masuk ke dalam IGD. 

Lud memilih duduk di luar. Sudah terlalu banyak pengantar Akong di dalam. Sesaat kemudian, Papi Victor keluar dan duduk di samping anaknya. Ia sudah tahu duduk masalahnya saat istrinya yang cerewet berdoa dalam perjalanan sambil menyerocos mengeluhkan sikap anak bungsu mereka.

"Pi, gimana Akong?" tanya Lud sendu. 

"Semua baik-baik. Akong harus rawat inap Mami masih mengurus untuk memesan kamar."

Lud hanya menganggut. Rautnya kusut. "Pi, maaf."

Papi Victor menghela napas. "Nyo, Akong minta ketemu sama Ndhis. Kamu yang telepon minta dia datang gih."

Lud menunduk. Matanya tertuju pada ujung kaki yang berbalut sandal.

"Lud udah putus, Pi," ucap Lud lirih.

Papi Victor mengernyit. "Kenapa?"

Lud pun menceritakan semua hal yang terjadi dari awal sampai akhir. Papi Victor hanya mengangguk. "Lagian Gendhis kayanya udah deket sama cowok lain."

"Perasaanmu gimana, Nyo?" 

Lud membisu. Hanya papinya yang mengerti dia. Seolah mereka satu kubu dalam menghadapi kecerewetan para wanita yang selalu nengedepankan hati dari pada logika.

"Jujur, Lud kehilangan, Pi."

"Nyo, Papi nggak mau intervensi keputusan kalian. Tapi, cinta sekali pun kamu harus perjuangkan. Sekarang telepon Ndhis. Akong mau ketemu. Beliau udah sayang banget sama Ndhis. Jangan sampai beliau tahu, kamu nggak bisa menjaga Ndhis dengan baik."

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang