22. Dua Cogan

901 162 50
                                    

Gendhis dan Albert menoleh menatap Lud. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting yang baru saja diangkat dari air mendidih. Mata sipit itu memberikan tatapan tajam yang ingin mengoyak tubuh Albert. Langkah lelaki itu berderap mendekat.

Albert mengernyit sambil menoleh ke arah Gendhis. "Siapa, Ndhis? Kenal?"

Gendhis mengikuti drama Albert setiap memutuskan pacar-pacarnya. Gendhis hanya mengendikkan bahu. "Emang ada orang?"

Mata sipit Lud kini tinggal segaris. Bola matanya bergulir bergantian dari Gendhis ke Albert kembali lagi ke Gendhis. Ia mendengkus keras. Bisa-bisanya Gendhis yang selalu memujanya tiba-tiba menganggapnya tak kasatmata.

"Ndhis, kita ini kan udah tunangan? Kenapa kamu ja-"

Suara tepukan memutus ucapan Lud. Kepala Gendhis tengadah sambil matanya jelalatan tak tentu arah seolah sedang mengejar nyamuk. "Banyak nyamuk. Kok dari tadi berdenging mulu ya?"

"Iya, nih. Bikin gatel telinga." Albert juga menambahi dengan mengorek telinga kanannya.

"Gendhis!!" Sergahan itu membuat Gendhis benar-benar terlonjak. Namun, gadis itu hanya memberikan cengiran aneh di wajahnya.

"Eh, ada Mas Lud. Ngapain ke sini? Bukannya kita udah putus ya?" tanya Gendhis tampak tak acuh, walau sebenarnya batinnya kegirangan Lud ada di situ. Ia mengikuti isyarat Albert yang menggandeng tangannya agar ia tetap tenang.

"Ndhis, kamu salah paham," kata Lud masih dengan wajah yang suram.

"Apanya yang salah paham? Mas kira aku budeg apa? Aku denger semuanya dengan jelas!" tandas Gendhis dengan tidak kalah beringas.

Albert menyeringai menengahi perdebatan mereka. "Jauhin Gendhis dong! Dia terlalu berharga buat kamu, tahu nggak sih?"

Suara dalam dan tenang Albert, membuat Lud melempar tatapan sengit. "Siapa kamu?" tanya Lud dengan gerakan dagu. Gesturnya sarat dengan keangkuhan.

"Aku?" Albert menunjuk dadanya dengan kedua alis yang terangkat. "Kenalkan ... aku sahabat baik yang menyukai Gendhis sepenuh hati."

Kini giliran Gendhis melongo. Posturnya yang tidak terlalu tinggi itu membuat kepalanya mendongak. Ia menoleh ke kanan ke kiri bergantian dari Lud dan Albert. Seketika otaknya teringat drama Korea di mana tokoh utama cewek diperebutkan dua cowok ganteng. Gadis itu melongo. Ekspresinya beloon dengan lamunan di awang-awang.

"Udah, Ndhis. Nggak usah terharu gitu! Ntar laler masuk mulutmu loh." Albert merangkul Gendhis. Membuat tubuh yang tak terlalu tinggi itu berapit dengan badan kekar Albert yang sama jangkung dengan Lud.

Masih dalam dekapan Albert, Gendhis menengadah. Dari jarak kira-kira dua jengkal, ia bisa memindai rahang sahabatnya yang tegas. Bulu halus yang belum sempat dicukur membuat Albert terkesan jantan. Kulitnya yang kuning bersih mengundang decak kagum para gadis. Gendhis baru menyadari kenapa Albert dikatakan tampan oleh cewek-cewek yang memuja.

Melihat tatapan Gendhis yang bahkan tak mengerjap, tengkuk Lud terasa panas. Ia mengeratkan genggaman tangan berusaha tidak memberikan pukulan di wajah berhidung mancung milik Albert.

"Ndhis, kamu tuh tunanganku!" desis Lud dengan mata memicing. Bibirnya tak kelihatan bergerak karena rahangnya yang merapat.

Albert berbisik di telinga Gendhis. "Ndhis, tenang. Jangan mau tertipu dua kali."

Bisikan Albert itu diamini oleh nalar Gendhis. Rasa sakit hati saat putus itu tidak terlalu dalam dibandingkan luka yang tertoreh akibat verbal bullying. Saat itu juga Gendhis mengurai rangkulan Albert.

"Mas ngaku tunanganku?" Alis Gendhis mengerut.

"Kalau Mas tunanganku, kenapa Mas diam saja saat sahabat baik Mas, Si Be Jat yang mulutnya kaya comberan nggak ada saringan itu jelek-jelekin tunangan Mas. Mas diam 'kan?" tanya Gendhis dengan nada meninggi. Telunjuknya mengetuk dada bidang Lud.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang