1. 12 APRIL 2010

65 16 2
                                    

"kita tinggal disini ma?" Tanyaku seraya menatap rumah besar itu.

"iya. Rumah ini dulu dibeli mendiang Papa mu." Jawabnya.

"hah? Bukannya rumah yang papa beli dulu dekat rumah nenek?"

"iya. Itu rumah kita juga. Tapi, ini juga rumah kita. Kata papa mu kalau nanti dia ga ada lagi, dia pengen kita tinggal dirumah ini. Jadi kita harus mengikuti mau papa mu."

"oh gitu." Ucapku menutup pembicaraan.

Hari itu kami baru saja menginjakkan kaki di Indonesia setelah hampir 2 tahun tak kembali ke Indonesia. Dirumah inilah kami tinggal. Rumah dengan 3 lantai dan 1 taman di lantai dua nya yang dilengkapi dengan kolam renang.

Kedatangan kami langsung disambut oleh seorang lelaki dewasa yang Aku kenal. Kala itu, dialah yang selalu merawat dan membersihkan hunian kami. Dia telah bekerja untuk kami bahkan sebelum Aku lahir ke Dunia. Keluargaku sangat mempercayainya dalam urusan apapun. Namanya Ujang Sukarni, keluargaku biasa memanggilnya Mang Ujang. Lelaki berusia 45 tahun yang sangat ramah dan murah senyum.

"wah wah wah.. akhirnya nyonya sampai juga." "eh ada Den bryant juga toh. Udah gede aja sekarang ya Den ya." Sapa nya.

"yaiyalah mang, yakali Gue kecil mulu." "Mang Ujang punya dua badan ya Mang? Kan Mang Ujang kerjanya di rumah satu lagi. Kok ada disini juga?" tanyaku.

"Badan Mang Ujang cuman satu Den. Tadi, Mama Aden yang minta Mang Ujang untuk bersihin rumah ini. Katanya Aden mau pulang. Makanya Mang Ujang ada disini." Jawab Mang Ujang tersenyum.

"oh gitu."

Obrolan kami berlanjut terus sampai kami memasuki rumah itu. Hawa rumah itu tak buruk, bahkan hampir sama wanginya seperti kasturi.

"Baru tau gue kalau Mang Ujang punya anak." Ucap ku spontan menatap ke lantai tiga.

"hah? Anak? Mang Ujang kan mandul Den, dan juga ga adopsi anak sama sekali. Ada-ada aja Aden ini."

"lho itu yang di lantai tiga siapa? Tamu?" ucapku menunjuk mereka.

"mana nak? Ga ada apa-apa kok. Jangan ngarang ya. Kamu suka banget ngarang hal ga jelas." Saut Mama ku.

"yaudahlah, memang Mama ga pernah percaya Bryant." "Bryant mau cari kamar aja, males ngobrol disini lagi." Langkahku menaiki tangga ke lantai tiga.

Kala itu Aku tak menyadari dan terlalu polos untuk tau itu siapa. Dan karena sebelum kami datang, Mang Ujang sudah ada dirumah ini. Aku pikir mereka anak Mang Ujang atau tamu yang Mang Ujang undang kerumah.

Di lantai tiga, Aku melihat satu ruangan di ujung lorong. Dan ruangan itulah yang menjadi kamar ku sampai saat ini. Langkahku menuju ruangan itu terdengar menggema, seolah-olah ada 2 langkah lain di belakangku. Kubaringkan tubuhku di kasur empuk yang ada di ruangan itu.

Tak berselang lama, sesuatu melintas dengan sangat cepat di depan kamarku. Penasaran, Aku berlari melihat ke depan kamar itu. di samping ku, kulihat dia berdiri dan memalingkan wajahnya dariku. Ku sapa dia berulang kali, namun, tetap saja dia tak melihatkan wajahnya padaku. Saat mencoba untuk kembali masuk, kaki ku seperti ditahan olehnya. Perlahan, ia pun melihatkan wajahnya. Senyumnya sangat mengerikan, mulutnya terbuka lebar sampai ke pipi. Separuh wajahnya hancur, dengan bola mata yang sangat putih.

Aku berlari sekuat tenaga ku ke ranjang, dan menutup tubuhku dengan selimut tebal. Ia mengikutiku dan mengucapkan beberapa kata padaku sampai akhirnya dia bilang.

"Kami mau jadi teman mu."

Aku yang sudah sangat takut, menangis dan menjawab "ga. Gue gamau jadi temen lo."

Walaupun ku jawab begitu, dia terus saja mengajukan kalimat itu berulang kali dengan suara yang seolah-olah dekat sekali dengan telingaku. Suaranya sangat pelan. Tapi, sangat jelas terdengar olehku. Aku terus menjawab ucapan nya dengan kalimat yang sama berulang kali. Dan saat ucapan terakhir, Mang Ujang datang ke kamarku.

"Den! Ibu suruh makan dulu. Sudah Mang Ujang masakin makanan kesukaan Aden tu dibawah. Makan yuk."

Aku kaget, dan sepontan menanyakan hal yang baru saja terjadi. Mang Ujang tak melihat apapun, bahkan tak merasakan apapun. Kala itu, karena terlalu takut untuk melangkah keluar kamar, Aku menolak ajakan Mang Ujang untuk turun. Aku meminta nya untuk meninggalkanku dan makan duluan tanpa ku.

Usiaku yang terbilang masih sangat kecil kala itu, tentu sangat mudah tergiur dengan pujian dan rayuan. Terlebih lagi, Mang Ujang ahlinya dalam membujuk anak kecil.

Di lantai dua Aku menjumpai orang tuaku sudah duduk menunggu di meja makan. Senyum nya yang sangat manis, membuatku mudah melupakan kekesalan ku padanya. Namun, dia tidak sendiri disana. Ada mereka yang juga duduk di sana sambil tersenyum menatapku. Ketakutan ku menjadi-jadi. Aku berlari kembali ke kamarku dan menyelimuti tubuhku.

Di depan kamar, mereka tertawa sangat kencang. Dekikan tawanya, membuat ku yang sudah takut semakin takut. Sangking takutnya, kakiku mati rasa untuk di gerakkan. Mereka kembali melontarkan kalimat yang sama padaku. Kala itu, Aku sangat bingung harus bagaimana agar mereka tak menggangguku lagi. Aku berteriak sangat kencang. Lengkingan teriakku membawa Mang Ujang dan Ibuku datang. Ibuku berlari dan duduk di samping ku sambil mengelus kepalaku. Aku memeluk tubuhnya dengan rasa takut dan tangis. Mang Ujang kembali turun ke lantai dua entah mau kemana.

"ada apa nak? Sudah ya, jangan nangis lagi. Kita makan dulu yuk." Ucap nya menenangkan.

Aku hanya terdiam dan mengikuti langkahnya menggiringku untuk turun kembali ke meja makan. Apakah setelah itu baik-baik saja? Tentu tidak. Disana, Aku duduk menghadap ke arah taman yang kira kira 12 meter jauhnya dari meja makan itu. Mereka berdiri di taman itu, menghadap dan menatapku. Senyum mereka lah yang membuatku ingin menangis. Darah diwajahnya begitu banyak, sangat banyak. Pakaian mereka pun sangat kumuh dan berlumuran darah.

Mang Ujang melintas di depan pintu taman itu, dan mereka pun hilang dari hadapanku. Tapi desusan nafas dan hawa mereka masih terasa di telingaku.

"kok makannya cepat banget sih nak? Nanti batuk lho." Tegur Mamaku.

"gapapa Ma. Makanannya enak banget." "Ma, kenapa Mang Ujang ga ikut makan?" tanyaku.

"Mang Ujang bilang, dia mau beresin taman dulu. Nanti dia ikut makan."

"ajak Mang Ujang makan Ma. Kalau Mang Ujang ga makan bareng kita, Bryant ga mau makan lagi."

Ibuku langsung memanggil Mang Ujang yang lagi sibuk membersihkan taman.

"Mang, sekarang cuci tangannya. Bryant mau Mang Ujang ikut makan. Mau kan Mang?"

"iya Mang. Gue mau makan bareng Mang Ujang disini. Kalo ga, Gue ga mau makan lagi sampai 7 hari." Sautku.

"iya Den. Kalau gitu, Mang Ujang cuci tangan dulu ya."

TRY TO COME BACK HOME [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang