I Need You

1.4K 150 26
                                    

"Karna semua punya rahasia ...."

***

"Sekar ...."

Laki-laki di depanku tampak berantakan. Dia bahkan masih mengenakan apron, rambutnya pun terlihat acak-acakan. Jauh dari Sakti yang biasa kulihat, Sakti yang selalu memperhatikan wajah dan rambutnya walau hanya di kos-an.

"Sudah ke Ibu?" tanyaku seraya bangkit dari kursi.

Kutatap lekat wajah pias yang ada di depanku. Dia tampak terpukul, berkali-kali dia mengusap kasar wajahnya lalu mendesah.

Perlahan aku mengulurkan tangan, membelai lembut pipinya sambil melempar senyum. "Aku anter ke ruangan Ibu, ya. Ibu manggil-manggil kamu dari tadi."

Sakti mengangguk, diraihnya tanganku yang meraba pipinya kemudian dia mengecupnya lembut. Mungkin laki-laki itu hanya mencoba mencari ketenangan lewat senyum di bibirku, lewat belaian tanganku.

Kami berbalik meninggalkan UGD lantas tanpa sengaja kami bersitatap dengan lelaki paruh baya yang berjalan tergopoh menuju Unit Gawat Darurat.

"Bagaimana adek--"

Om Destara--ayah Sakti--terlihat frustrasi. Mata sayunya yang mirip dengan milik Sakti tampak berkaca-kaca, tangan laki-laki paruh baya itu pun terlihat gemetar. Berkali-kali aku mendengar beliau menyebut nama Putri.

"Bagaimana kondisi Putri?" tanyanya lagi kali ini tanpa menyebut kata adik. Hanya Putri, dan pertanyaan itu dia tujukan kepadaku bukan kepada Sakti.

Aku menatap bapak dan anak itu bergantian, mereka sempat saling tatap lalu sama-sama memalingkan muka.

"Dokter masih belum keluar dari lima belas menit lalu, Om," jawabku memecah kekakuan yang terjadi di antara keduanya.

Om Destara mendesah, dilihatnya pintu UGD yang masih tertutup itu lantas dia mengalihkan pandangan ke arah Sakti.

"Pergilah, temani ibumu," ucap beliau sambil menepuk pundak Sakti, sebelum akhirnya berlalu menuju ruang UGD.

Hening, aku dan Sakti kembali melangkah bergandengan hingga lambaian Mas Dega menyadarkan kami. Pria berkaca mata yang tadi membantuku membawa Ibu Kos dan Putri ke rumah sakit itu, berjalan menghampiri kami. Wajahnya yang tadi sempat terlihat sama khawatirnya denganku, kini berganti dengan raut kelegaan.

"Ibu Kos sudah sadar, Bro. Temeninlah, manggil-manggil kamu terus dari tadi. Aku pikir kamu nyasar, shareloc-ku udah bener, 'kan?" tanya Mas Dega seraya mengedik ke arahku dan Sakti. Membuatku mau tak mau memalingkan muka.

"Thanks, Ga." 

Sakti mengeratkan genggaman di tanganku, melempar senyum ke arah Mas Dega kemudian buru-buru membawaku masuk ke ruang perawatan Ibu Kos. Meninggalkan Mas Dega yang masih menatap kami dengan tatapan tak biasa. Bisa jadi karena dia melihat penampilan kami yang aneh. Sakti dengan apron-nya, sedangkan aku malah lebih berantakan lagi, mengenakan baby doll bergambar Spongebob dan beralaskan sandal jepit. Tapi, bukannya Mas Dega sudah tahu kalau aku dari tadi mengenakan baby doll ini? Ah, entah.

"Sakti, adekmu, Nak. Adekmu ...."

Ibu Kos menyambut kedatangan kami dengan isakan. Wanita paruh baya itu mencoba turun dari ranjang, tapi dengan cepat Sakti berlari ke arahnya.

"Putri pasti baik-baik aja, Bu," ujar laki-laki itu sambil memegang pundak sang Ibu, memastikan ibunya kembali terbaring di ranjang dengan aman.

Sejenak, aku menatap ibu dan putranya yang saling menggenggam. Ada luka, juga ada sorot pasrah di mata keduanya.

Mati Rasa(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang