Bidadari Tak Bersayap

1.9K 189 23
                                    

"Tuhan, kusayang sekali wanita ini."

***

Sumpah, kalau sudah seperti ini aku ingin menghilang saja dari muka bumi. Setelah dirayu dengan segala gombalan Sakti, kini terpaksa aku menerima ajakan laki-laki gila itu.

"Aku nggak nrima penolakan, Sekar. Mobil dah dibawa Arin sama Bintang," ucapnya sembari menarik paksa tanganku.

Aku mendesah, mengikuti kemauan laki-laki bertubuh atletis yang kini membungkus tubuhnya dengan hoodie. Menolak pun tak bisa, ada saja yang akan dia lakukan agar aku mau mengikuti kemauannya. Mulai dari membututiku sampai depan kamar, menggedor-gedor jendela, sampai menyuruh Ibu Kos untuk merayuku.

"Nduk Sekar, temeni Sakti belanja, ya."

Ibu Kos mengikuti kami sampai parkiran kosan. Beliau tersenyum manis sembari menyodorkan tas belanjaan juga dua lembar uang seratusan kepadaku.

"Nanti malam ibu ada acara," sambung beliau lagi sambil menepuk pundakku.

"Acara lamaran kita," bisik Sakti tiba-tiba membuatku terbelalak.

Resek memang laki-laki satu ini. Selalu menghubungkan segalanya dengan lamaran dan pernikahan.

Memang siapa yang mau menikah dengannya?

Sakti masih tersenyum menggodaku, dia bahkan tak malu mengedikkan mata ke arahku. Padahal, masih ada sang ibu yang memperhatikan tingkah kami.

"Heh, Ferguso. Nggak liat ada Ibu yang masih ngliatin kita."

Aku mencubit pinggang Sakti sambil cengar-cengir malu ke arah Ibu Kos yang menggeleng-gelengkan kepala. Kalau melihat Ibu Kos seperti itu, aku jadi ingat almarhummah Ibu. Dulu, Ibu sering bertingkah seperti Ibu Kos, tersenyum saat melihat tingkah konyolku dengan ....

Ah, lupakan. Aku masih belum bisa mengingat lelaki itu. Bahkan, untuk sekadar mengucap namanya pun aku tak mampu.

"Biarin, biar Ibu cepet-cepet nglamar kamu, Marimar," timpal Sakti kali ini dengan suara lumayan keras. "Iya, nggak, Bu," sambungnya lagi sambil menoleh ke arah sang ibu yang tiba-tiba mengusap lembut pucuk kepalaku.

"Iya, nanti secepatnya ibu lamar kalau Sekar sudah membuka hati. Udah cepetan pergi, mumpung belum ujan. Kasian Sekar kalau sampe kehujanan."

Aku hanya bisa menunduk mendengar perkataan Ibu Kos. Satu karena malu, satu lagi karena masih belum siap membuka hati untuk Sakti.

Sebenarnya, tak ada masalah dengan keluarga Sakti. Ibu dan bapaknya perhatian kepadaku, beliau bahkan sudah menganggapku seperti putri sendiri. Beliau juga tak segan mengundangku jika ada acara keluarga.

Tapi ....

Aku masih takut. Luka di dalam hati belum sepenuhnya kering, perih di dalamnya juga masih terasa. Jika, aku memaksa menjalin hubungan dengan Sakti, aku khawatir luka itu kembali terkoyak.

Sakti dan keluarganya juga belum tahu masa laluku. Aku takut mereka kecewa jika tahu tentang masa laluku.

Aku belum siap untuk terluka lagi, Tuhan.

"Mau berdiri di situ sampai kapan, Sekar?"

Suara Sakti tiba-tiba menyadarkanku. Sepertinya dari tadi laki-laki itu mengamatiku, begitu pula dengan Ibu Kos.

Aku menunduk, malu. Di saat-saat seperti ini, aku justru membayangkan hal yang tidak-tidak. Jika bukan karena bajingan itu mungkin hidupku tak akan serumit ini. Sialnya, sampai sekarang aku masih saja mencintainya.

Sakti memasang helm di kepalaku lalu bersiap mengendarai Kawasaki Ninja.

Kawasiki Ninja ....

Aku mematung. Demi apa pun, aku benci naik motor sialan ini. Jidatku pernah lebam gara-gara membentur helm milik Sakti, saat tak sengaja motor yang kami naiki melewati lubang besar di jalan.

Mati Rasa(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang