Memori Lawas

2.9K 260 16
                                    

"Selamat Malam, Sekar Kinanti."

Laki-laki jangkung itu tampak tersenyum sembari menyodorkan teddy bear dan sekotak coklat ke arahku. Sementara, aku malah membeku, menatap lekat laki-laki yang kini seolah-olah sedang memainkan drama masa lalu.

Aku membiarkan tangan laki-laki itu menggantung di udara. Mengabaikan boneka yang seakan-akan berbisik kepadaku, "Masih ingat denganku, 'kan?"

Sedetik, dua detik, sakitnya masih bisa kutahan. Tapi, saat laki-laki itu kembali tersenyum pertahananku mendadak runtuh. Sekelumit kisah tujuh tahun lalu seperti memaksa keluar, menyerang dada, hati, juga otakku. Perih.

Air mata seketika jatuh membasahi pipi. Pandanganku mengabur. Suara-suara dari masa lalu seolah-olah kembali terdengar. Manisnya, sakitnya, semuanya belingsatan di dalam kepala. Membuatku tiba-tiba kehabisan udara. Sesak, rasanya seperti nyaris mati.

"Pergi! Kumohon, pergilah."

Aku beringsut, menjauh dari laki-laki yang kini bertingkah mirip dengan bajingan di masa laluku. Tujuh tahun aku mencoba melupakan lelaki bangsat itu, menghindari segala hal yang berkaitan dengannya. Kini, kenangan sialan itu justru terbuka kembali.

"Sekar, kamu kenapa?" Aku masih bisa mendengar samar-samar suara Arin. Tapi selebihnya, suara lelaki masa laluku yang mendominasi.

"Aku sayang kamu, Sekar. Kamu percaya, 'kan sama aku."

"Pergi! Kumohon, pergilah!" Sekali lagi aku memohon kepadanya sembari memejam. Tak tahan lagi menahan perih yang menyerang hati.

"Pergi!"

Aku membanting pintu, mengabaikan suara teriakan Arin dari luar sana. Memori sialan itu sungguh membuatku gemetar. Bahkan, untuk melangkah ke ranjang pun aku tak mampu.

Tubuhku melorot, semuanya terasa berat. Sesak menyeruak, lalu isakan keluar dari bibirku.

Aku duduk bersandar di pintu, melipat tangan di atas lutut, lalu menangis sekencang-kencangnya. Melepas perih yang sakitnya sungguh-sungguh menyiksa.

"Pergi! Kumohon ...."

Suara di luar sana tak lagi terdengar, cahaya lampu kamar perlahan-lahan menggelap. Semuanya mulai tak terlihat, hanya wajah laki-laki itu, juga wajah pucat Ibu yang tampak di depan mataku.

"Ibu besarin kamu, bukan untuk membuat ibu malu!"

Pasokan oksigen di paru-paruku terasa semakin menipis, seiring dengan suara Ibu yang seakan-akan kembali menggema.

Rupa-rupa saudara Ibu tampak begitu jelas di depan mataku. Tatapan nyalang mereka, makian mereka,  membuat tubuhku kian gemetar.

"Maafin Sekar, Bu. Maafin Sekar ...."

***

Dering ponsel terdengar memekakkan. Membuatku mau tak mau membuka mata, menatap ruangan yang tak lagi dipenuhi bayang-bayang masa lalu.

Perlahan, aku bangkit dari lantai. Memperhatikan jarum jam yang kini bertengger di angka dua. Rupanya, aku cukup lama tidur bersandar di pintu.

Dering ponsel kembali terdengar, membuatku cepat-cepat meraih ponsel yang tergeletak di ranjang.

"Hmm ... apa?" ucapku sesaat setelah menggeser icon telepon di layar.

"Astaga, Mblo. Kamu nggak papa, 'kan?"  Suara khas Arin terdengar dari ujung sana.

Wanita itu nyaris memekik saat mendengar suaraku. Sudah serupa ibu-ibu di sinetron ikan terbang. Heboh.

"Dari semalem aku telpon kamu. Ketok-ketok pintu kamu. Duh, kamu kenapa sih sebenarnya?" cecarnya lagi membuat perutku mendadak mual.

Mati Rasa(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang