Pekat

1.4K 178 34
                                    

Tujuh tahun silam ....

***

"Ibu!"

Aku memekik di tengah-tengah tangis saat melihat wajah pucat Ibu terbaring di brankar rumah sakit.

Tak ada senyum, makian yang beberapa jam lalu keluar dari mulut Ibu menjadi kata-kata terakhir yang beliau ucapkan kepadaku.

"Ibu ndak ngajarin kamu seperti ini, Nduk! Malu, Ibu. Malu!"

Aku masih meraung-raung di depan tubuh Ibu, tak ada helaan napas yang terdengar dari bibirnya, tak ada usapan lembut yang beliau berikan kepadaku. Tubuh itu sudah membeku, nyawanya telah berpulang di tempat yang telah Tuhan sediakan.

"Bu, Ibu bilang mau liat hari pertama Sekar kerja, 'kan?" Aku terkekeh sembari mengguncang tubuh Ibu.

Pagi tadi, Ibu menyiapkan seragam kerja untukku. Aroma khas baju yang baru disetrika menguar menyentuh indra penciumanku. Senyum semringah tercetak jelas di bibir Ibu, berkali-kali beliau bergumam, "Anakku ayu kalau pakai seragam ini."

"Sekar cantik, Bu, pas pake seragam itu. Ibu pengen liat, 'kan?"

Aku berputar-putar di depan Ibu, berharap wanita kesayanganku itu bangun lalu mendekapku dengan mata berkaca-kaca karena saking bahagianya.

"Kerja yang bener, Nduk. Biar kita bisa ngontrak rumah sendiri. Ndak numpang terus."

Ucapan Ibu waktu lalu membuatku kian terkekeh. Aku akan membawa Ibu pulang ke rumah kami. Rumah kecil yang rencananya akan kami kontrak setelah aku mendapatkan gaji pertama sebagai kasir di dept store terbesar di kota ini.

"Ibu pengen ngontrak, 'kan? Ayo, Bu, kita tinggal berdua saja."

Aku mengusap kasar pipiku, menghapus jejak basah yang tertinggal di sana. Kemudian kembali tersenyum sebelum tangan-tangan kasar itu menarikku keluar dari ruangan yang didominasi warna putih ini.

"Bu, Ibu mau ke mana, Bu. Ibu bilang nggak akan ninggalin Sekar, 'kan, Bu?" Aku mencoba mengempas tangan-tangan kasar yang mengapit lenganku. "Sekar cantik, Bu. Pas pake seragam itu. Ibu nggak pengen liat?"

Mereka membawa Ibu menjauh dariku. Orang-orang berseragam putih itu membawanya pergi dengan ambulans. Kata mereka, Ibu sudah berpulang. Pulang?

Aku tersungkur di lantai rumah sakit. Tangan-tangan yang tadi mengapit lenganku kini mulai mengendur. Sementara, aku kembali terkekeh mengingat wajah laki-laki bangsat yang telah menyebabkan Ibu pergi.

"Bangsat kamu, Ar!"

Gigiku bergemeletuk, tubuhku menegang, ingin rasanya kutendang laki-laki sialan itu. Tapi, aku tak bisa. Dia menghilang, dia benar-benar telah menghilang.

"Kamu percaya sama aku, 'kan, Sayang ...."

Bangsat!

Andai aku tak termakan rayuannya, mungkin Ibu akan tetap di sini bersamaku. Beliau akan mengusap lembut rambutku, menangkup pipiku dengan kedua tangannya yang hangat.

"Bu, Kalau pulang kenapa nggak ngajak Sekar sekalian?"

"Sana, ikut mati aja! Kamu yang bikin mbakku mati!"

Aku tersenyum melihat wanita yang kini menarik tubuhku. Itu Bibi Lina, adik Ibu yang tinggal di luar kota.

"Bibi bisa bikin Sekar pulang bareng Ibu. Iya, Bibi bisa, 'kan?"

Bibi Lina terlihat marah. Dia menarik tanganku kasar, mengapit lenganku bersama dengan wanita paruh baya yang kukenal dengan panggilan Bulek Isah.

"Bulek juga mau nganter aku ke tempat Ibu? Iya, Bulek?"

Mati Rasa(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang