"Semangat dong nyanyinya, Anak Raja!" bentak Genari.

Raden tertawa lagi.

"AKU MENCINTAIMU LEBIH DARI YANG KAU TAHU. MESKI KAU TAKKAN PERNAH TAHU."

Pada akhirnya mereka berlomba-lomba bernyanyi dengan nada tinggi, dengan lagu yang masih sama hingga senja menghilang digantikan sang malam. Penghuni kosan lain sampai menegur mereka karena terlalu berisik.

Raden dan Genari tertawa, mereka akhirnya berhenti bernyanyi. Tenggorokan mereka mulai sakit, suara mereka berubah, tapi tak melunturkan kebahagian mereka. Raden masih memakai sepatu basket yang dipasangkan oleh Genari tadi.

Mungkin hari itu mereka belum menyadari arti lirik lagu yang sedang mereka nyanyikan dengan penuh emosi. Mereka akan menyadarinya bertahun-tahun yang akan datang.

* * *

"Genari sehat?" Suara dari ponsel Genari terdengar, wajah seorang wanita separuh baya juga tampak dari layar itu. Hal yang tak pernah terlewatkan oleh Genari dan Olla adalah video call.

"Sehat. Ibu gimana kabarnya?" tanya balik Genari sambil memperhatikan wajah ibunya dan sebagian interior rumah mewah yang terlihat dari layar ponsel yang sedang melakukan panggilan video itu.

Olla tersenyum. "Sehat, Nak."

"Ibu kapan pulang? Besok pembagian rapot, bentar lagi aku kelas delapan."

"Maaf, Sayang. Ibu belum bisa pulang. Nanti ibu telepon nenek Azahra atau ibunya Raden buat minta tolong ambilkan rapot kamu. Akhir tahun nanti mungkin Ibu pulang." Olla membalikkan badannya saat ada seseorang yang tertangkap dari kameranya.

"Eh, itu siapa, Bu?" Genari melihat sekilas ada sosok laki-laki dari layar kamera ibunya.

"Genari, udah dulu, ya—"

"Hai!"

Genari membulatkan mata saat tampilan layar ponselnya berubah menjadi sosok laki-laki berambut hitam legam, mata bermanik hitam tajam, alis tebal, hidung tepahat mancung, kulit sawo matang, dan bibir yang melengkung, tersenyum. Tampan.

"Hai," sapa Genari, ia memaksakan senyum. Sebelumnya ia tak pernah melihat laki-laki itu setiap mereka video call.

"Genari, ini Izz. Dia anak majikan ibu di sini," ujar Olla.

"Nama saya Izz." Laki-laki di sebelah Olla menyahut.

Genari mendengar suara Izz yang menggunakan logat melayu yang kental. Genari melamuni laki-laki itu dari layar ponsel, dia tampan sekali. Jika dilihat dari wajahnya, Genari tebak Izz kakak kelasnya, mungkin dia sudah SMA. Suaranya saja sudah berat.

"Hai Kak Izz, aku Genari," balas Genari malu-malu, entah laki-laki itu mengerti atau tidak apa yang diucapkannya.

"Udah dulu, ya, Genari. Ibu harus kerja lagi. Maaf ibu belum bisa pulang." Suara Olla terdengar saat layar ponsel menampilkan kembali wajah ibunya.

Panggilan video itu berakhir saat Genari tersenyum sambil mengangguk. Tak lupa sosok Izz yang terakhir ia lihat dari layar ponselnya.

"Genari." kamar kosan Genari diketuk. Suara Raden.

Genari mendekati pintu. "Apa, Den?" tanyanya.

"Makan malam kata nenek."

"Oke." Genari mengunci pintu kamar kosan, lalu mengikuti langkah Raden. Genari memikirkan Izz yang begitu rupawan dan rendah hati mau berkenalan dengannya yang notabenenya anak pembantu.

Tatapan Genari beralih ke punggung Raden. "Den, hari ini kamu ada latihan? Bukannya hari ini nggak ada jadwal latihan?" tanya Genari saat menyadari Raden menggunakan jersei.

Berpijak RasaWhere stories live. Discover now