11.

28.4K 3.1K 252
                                    

“Papa yang menyarankan agar kalian bepergian berdua,” ucap papa yang masih bersandar di headboard. Ketika aku menatapnya dengan tatapan syok, ia mengangkat bahu putus asa.

“Papa …,” erangku. Aku terhuyung, menjatuhkan tubuhku di sofa. Sementara mama yang duduk di pinggiran ranjang hanya mampu mengelus lengan papa dengan lembut.

Lelaki itu menarik napas sebelum kembali berujar, “Dru menceritakan segalanya pada papa. Tentang pertemuan kalian secara nggak sengaja di sebuah kencan online. Setelah pertemuan kalian, ia datang kemari meminta restu untuk mendekatimu. Mengatakan bahwa kali ini ia yakin untuk memperjuangkanmu kembali. Kupikir ini adalah petunjuk dari Tuhan bahwa di antara kalian masih ada harapan. Jadi--,”

“Nggak bisa, Pa. Untuk semua luka yang kudapat selama ini, rasanya … sulit.” Air mataku kali ini merebak. Membayangkan tahun-tahun pernikahanku dengan Dru yang diselimuti kehampaan.

“Kalian sama-sama terluka, Ness. Dan papa pikir, menghabiskan waktu berdua saja dalam jangka waktu tertentu adalah cara terbaik. Kalian bisa saling membuka diri, bicara dari hati ke hati, dan tentunya … saling menyembuhkan.”

Aku menggeleng. “Nggak mungkin bisa, Pa. Hubungan kami sudah berakhir, selesai. Nggak ada lagi yang bisa dimulai.”

“Coba dulu, Ness. Toh kalian masih sama-sama sendiri. Apa salahnya mencoba berbaikan lagi. Lagipula, papa tahu dengan pasti bahwa selama ini kamu selalu memikirkannya. Kamu nggak bisa membohongi papa.”

Aku menggigit bibir. Menatap kembali ke arah papa dengan dada sesak. Aku tahu papa berniat baik. Tapi aku belum siap untuk memulai cerita baru dengan Dru, atau dengan lelaki manapun. Rasa sakit masih membekas jelas. Aku takut tak mampu bertahan andai tiba-tiba kali ini hubungan kami kembali tak berhasil.

“Ayolah, Ness. Cobalah dulu. Setidaknya jika ternyata hubungan kalian benar-benar nggak berhasil, kalian sudah bicara dari hati ke hati. Percayalah, solusi dari segala permasalahan ini sebenarnya adalah komunikasi yang baik. Akui saja bahwa selama ini komunikasi kalian memang buruk.”

Jawaban papa begitu menohok. Ibarat anak panah yang dilesatkan tepat pada sasaran. Nyeri, sampai ke ulut hati. Karena setelah dipikir-pikir, apa yang beliau sampaikan adalah fakta.

Betul, selama pernikahanku dengan Dru, komunikasi di antara kami memang buruk. Dru yang menerima perjodohan kami dengan setengah hati, berpadu dengan diriku yang tak sabaran, terlebih ketika tahu keberadaan Friska di tengah-tangah kami. Kondisi itu diperburuk karena Dru tak pandai menunjukkan isi hatinya. Lengkap rasanya.

Apakah dengan Dru yang sekarang, maka kami akan lebih pandai bertukar pikiran? Belum tentu. Faktanya setiap bertemu, ego dan amarah mengambil alih diriku.

“Kamu putri papa satu-satunya, Ness. Sebelum papa mati ---,”

“Pa …,” erangku lagi.

“Papa ingin kamu hidup bahagia dengan orang yang tepat. Dan ….”

“Pa, please stop it.” Aku menutup wajahku dengan kedua tangan lalu menangis. Membayangkan papa pergi sebelum aku berhasil membahagiakannya, hatiku tercabik-cabik. Apalagi jika melihat melihat wajahnya yang begitu mendamba cucu, aku serasa runtuh. Beberapa tahun lalu, ketika dokter mengatakan bahwa aku kehilangan bayiku, masih terlihat jelas di ingatanku bagaimana papa begitu syok dan histeris. Menangis tergugu di sisiku.

Ah, andaikan waktu itu aku tak berkendara dengan emosi.
Andaikan aku tak nekat menyusul Dru.
Andaikan waktu itu aku lebih sabar menunggu kepulangan Dru, pasti si kecil sudah bisa berlari-larian di sekitar papa.

***

Beberapa hari aku merenung, mencoba menimbang tawaran Dru dengan hati tenang. Sempat berencana untuk berbagi cerita pada Luna dan Milly, pada akhirnya aku memilih untuk memendamnya sendiri. Tidak, selama ini aku selalu mengandalkan mereka, kapan aku bisa mandiri dan obyektif? Ini masalah pribadiku, dan kali ini aku ingin menyelesaikannya dengan caraku sendiri.

Ayo Nikah Lagi! Where stories live. Discover now