10.

30.4K 3.4K 211
                                    

Aku dan Dru saling lirik sekilas, sementara Pak Bahrun menatap sepeda motornya dengan syok. Bagian depannya penyok parah, sementara salah satu spion patah, dan lampu depan pecah. Pelakunya? Aku, tentu saja. Setelah Dru mengacaukan pikiranku dengan kata-kata yang membuat perutku melilit, aku hilang konsentrasi dalam berkendara dan ... aku membuat sepeda motor itu menabrak tiang baliho!

Untungnya kendaraan tersebut masih bisa dinaiki sehingga kami bisa pulang ke butik dengan selamat. Sewaktu insiden kecelakaan itu terjadi, kami sempat buru-buru melompat hingga tak mengalami luka parah. Sejujurnya, Dru yang sigap menarik tubuhku ketika menyadari kendaraan itu oleng. Aku ingat ia mendekapku dengan sikap protektif hingga tubuhku tak menghantam tiang, lalu membawaku meloncat turun dan sempat terguling beberapa kali. Karena aksinya tersebut, Dru mengalami luka lecet di sepanjang lengan kanan dan bawah siku. Sementara diriku tak mengalami luka berati. Hanya sedikit nyeri di jemari kaki.

"Maaf, ya, Pak," ucapku penuh penyesalan. "Nanti aku akan minta orang untuk membawa ini ke Dealer agar diperbaiki. Untuk sementara, Pak Bahrun bisa pulang pakai mobilku saja," ucapku.

"Tapi Mbak Nessa nggak apa-apa, kan? Nggak ada yang luka parah, kan?" Pak Bahrun bertanya dengan nada cemas.

"Nggak apa-apa, kok. Cuma lecet-lecet dikit, nggak parah." Aku beranjak memasuki ruang butik.
Menyadari Dru yang masih berdiri canggung di dekat Pak Bahrun, aku berujar padanya, "My room, we need to talk."

Patuh akan ajakanku, pria itu melangkah mengikuti. Aku meminta pada Monik untuk membawakan obat merah ke ruanganku. "Kenapa, Mbak?" Ia bertanya kaget.
Setelah kutunjukkan luka-luka di lengan Dru, Ia dan Santi makin terkaget heboh.
"Kenapa, Mas? Jatuh?"

"Iya, jatuh dari motor sewaktu perjalanan pulang dari rumah Linda. Tapi nggak apa-apa, kok. Cuma lecet." Aku yang menjawab. Sementara Dru hanya tersenyum bingung ketika dua pegawaiku itu heboh mengelilinginya, menanyai keadaannya sambil menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dih, kenapa mereka yang cemas?

"Banyak darahnya, Mbak. Kayaknya parah ini." Monik setengah berteriak. Dan tiba-tiba saja aku langsung ikut heboh. "Hah, masa, sih?" Aku buru-buru berlari mendekati Dru dan memeriksa luka di tangannya. Dan ternyata benar, luka itu lebih buruk dari yang kubayangkan. Tidak hanya lecet, tapi goresan lumayan dalam hingga membuat kulitnya seolah terkelupas.

"Ke dokter saja, ya? Kayaknya ini perlu dijahit? Atau diapain gitu biar nggak berdarah mulu? Yang mana lagi yang luka? Nggak ada yang patah, kan? Atau mungkin tiba-tiba kamu merasa pusing?" tanyaku bertubi-tubi.

Dru menatapku bingung, sejurus kemudian ia terkekeh. "Nggak perlu ke dokter. Aku nggak pusing, nggak ada yang patah, dan nggak ada yang perlu dijahit. Bawakan saja obat merah dan kapas, biar kuobati sendiri," jawabnya.

Aku buru-buru mengangguk lalu mengajaknya ke ruanganku. "Nik, obat merahnya mana? Cepetan, ya," teriakku. "Kapas jangan lupa!" tambahku lagi. Ketika sampai di ambang pintu, aku kembali berteriak, "Cairan pembersih luka juga, ya!"

Beberapa detik kemudian, aku baru saja ingin berteriak kembali pada Monik untuk membawakan kain lap bersih, namun urung kulakukan ketika mataku bersitatap dengan Dru. Pria itu menatapku bingung. "Kamu mencemaskanku?"

Seolah menyadari kehebohan yang kubuat, aku buru-buru berdecih, "Nggak," jawabku pendek sambil beranjak lagi. Menjatuhkan diriku di sofa panjang yang ada di ruangan. Terlihat Dru mengulum senyum lalu ikut duduk di ujung sofa, berseberangan denganku.

Lima belas menit kemudian kami menghabiskan waktu berdiam diri. Dru sibuk mengoleskan obat merah pada luka di tangannya, sementara aku hanya duduk bersedekap tanpa mau repot-repot membantunya.

"Kakimu nggak apa-apa, kan?" tanyanya sambil melirikku. Aku buru-buru melengos sambil menjawab ketus, "Nggak."

"Bagian tubuh yang lain? Tangan? Siku? Ada yang sakit?"

Ayo Nikah Lagi! Where stories live. Discover now