sekolah dirumah

4.7K 443 33
                                    

Aktifitas setelah liburan mulai padat. Dari mulai bangun pagi sampai malam hendak tidur, tulisan rapi di banyak buku menjadi pemandangan utama Arkan akhir akhir ini. Remaja itu tengah mempersiapkan ujian masuk Perguruan Tinggi Favorit, incaran nya sejak dulu.

Meski agak bertentangan dengan keinginan sang ayah, Arkan tetap meyakinkan jika pilihannya adalah hal baik. Untungnya Yasinta, dan salahsatu kakaknya mendukung keputusan Arkan, meski butuh waktu, ditambah satu penyemangat kecil kesayangannya.

Arkan hanya harus berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan ayah dan kak Fano, ditambah usahanya masuk Perguruan Tinggi tanpa campur tangan keluarganya.

Ayah dan ibunya bukan orang biasa, terlebih dikalangan bisnis Indonesia, yang namanya dapat membuka banyak jalan mudah beberapa urusan. Salahsatunya masuk perguruan tinggi favorit sekalipun, bukan hal sulit bagi keluarga Bima.

Tapi Arkan tidak ingin berhasil karena nama orangtua. Ia ingin seperti kedua kakaknya, yang sudah sangat sukses, hasil kerja keras dan berhasil melambungkan nama sendiri.

Ketiga putra Bima dan Yasinta memang tidak suka memanfaatkan nama besar orangtua mereka.

Arkan menghela nafasnya berkali kali, soal didepannya adalah yang tersulit hari ini. Dirinya baru sempat membuka soal soal dari guru privat yang diberikan beberapa hari yang lalu.

Apalagi aktifitas disekolah juga makin padat, banyak jadwal Ujian Praktek dan Penambahan nilai lainnya yang menurut Arkan membosankan. Dia lebih suka belajar fokus menghadapi soal soal sulit masuk perguruan tinggi, daripada membenarkan nilai rapor yang sudah tertulis tiga tahun lamanya.

Tok tok

"Masuk" ujar Arkan agak menaikkan volume suaranya, mendengar pintu kamar diketuk.

Fano membuka pintu perlahan setelah mendapat ijin dari sang pemilik, sambil membawa nampan berisi makan malam, meski kesusahan.

Arkan yang melihatnya berdecak dan membantu kakak pertamanya, meski malas ia membawa nampan yang hampir terbalik itu.

"Kok gak sama bi Ira?" Tanya Arkan, sambil menyimpan nampan di meja depan sofa kamarnya.

"Lagi bantuin bunda dibawah. Kenapasih ga ikut makan malam lagi?" Fano duduk disofa berwarna navy itu, menyamankan tubuhnya yang cukup lelah.

"Dikasih banyak soal kak, beberapa hari ini kan gak bimbingan."

"Disekolah udah mulai sibuk ujian, emang?"

"Banget, makanya sengaja jadwal bimbingan dikosongin sama bunda."

Fano menarik nafas dalam, menatap adiknya yang mulai melahap makan malamnya.

"Yaudah pelan pelan aja."

Arkan mengangkat kepalanya, "makannya?"

Fano berdecak, "belajarnya, jangan terlalu diforsir tenaganya. Makan, istirahat, sama waktu keluarga itu penting. Usaha harus, tapi terlalu ambis juga gaboleh."

"Tapi kan namanya juga usaha, pasti harus maksimal. Ambis kan itu masuknya?"

"Ya ambis biasa aja boleh, asal gak mati matian sampe sakit atau lupa urusan lain."

Arkan manggut-manggut saja, sambil mengunyah masakan bunda. Fano hanya menggeleng melihat tingkah adiknya itu.

"Gaada mau rubah keputusan, gitu?" Tanya Fano, kini. Menghentikan gerakan menyendok Arkan.

"Keputusan gue udah bulat kak, gamau dan gabisa diubah. Mungkin keliatan kekanakkan, tapi menurut gue ini bentuk pendewasaan yang bisa dilakuin gue sekarang."

adrain [sudah terbit]Where stories live. Discover now