Prologue

8K 550 33
                                    

Bradford, December 1997

Langit sudah mulai terang saat keduanya sedang bermain. Angin dingin yang menusuk ke ulu tulang tidak membuat mereka berhenti bercanda ria. Salju yang sudah mulai turun semakin menambah kelembutan disetiap detik momen yang mereka buat.

"Hey! Kau tidak boleh curang!" Salah satu dari mereka, gadis kecil berambut hitam dikuncir kuda berlari mengejar sahabatnya. Rambutnya berayun - ayun seiring dia berlari.

Gadis itu tidak henti - hentinya tertawa meski harus berlarian kesana kemari mengejar sahabatnya yang usil. Sesekali ia membetulkan jaket tebal berwarna baby-bluenya karena terlalu kebesaran.

"Huh... Huh... Ayo tangkap aku kalau bisa... Huh..." Sahabat dari gadis itu akhirnya berhenti berlari, menopang tubuhnya dengan lutut sambil mengatur ritme nafasnya agar kembali normal.

Gadis kecil itu tersenyum lalu menubruk sahabatnya dengan sengaja hingga mereka berdua terjatuh dalam gumpalan salju. "Nah, sudah kubilang apa. Sini, mana permenku?!" Tangan mungilnya mengayun - ayun tepat di depan wajah temannya. Meminta permen yang menjadi tujuan utamanya mengejar teman - temannya itu.

"Nih, tapi Zayn bagi yaa?" Sahabatnya tersenyum, menyembunyikan permen milik gadis kecil itu di tangannya.

Gadis manis itu mengangguk, membuat rambutnya lagi - lagi ikut terayun seiring pergerakannya. Sahabatnya-Zayn pun menyodorkan satu permen untuknya dan satu lagi untuk Zayn sendiri.

"Zoe, kamu jangan makan permen terus, dong! Nanti kalau giginya rusak gimana?"

Gadis kecil bernama Zoe itu tidak menjawab. Malah asyik memakan permen coklatnya dengan penuh penghayatan seakan besok tak ada permen lagi di dunia ini.

Zayn mengeluh, ia menggoyangkan pundak Zoe agar sahabatnya itu mau mendengarkannya. "Zoe, kamu dengar Zayn tidak sih? Yasudah, Zayn marah nih ya?" Zayn bangkit berdiri lalu dengan perlahan berjalan pelan menjauhi Zoe. Dalam hati ia berharap Zoe mau mengejarnya dan menyuruhnya tetap tinggal.

Dan, benar! Zoe langsung menarik tangan Zayn kembali lalu menghampiri Zayn. Keduanya saling berhadapan dengan Zayn yang (sok) membuang muka dari Zoe.

Zoe menatap Zayn yang tingginya sepundak dirinya. "Iya deh, tapi Zayn jangan marah ya? Nanti kalau Zayn marah, Zoe berteman dengan siapa?" Wajah menggemaskan Zoe benar - benar membuat Zayn tidak tahan.

Mereka pun kembali akur dan kini sedang terduduk manis di batang pohon bersalju yang sudah diubah menjadi tempat duduk mereka berdua nongkrong. Keduanya saling menatap lurus ke depan, membiarkan suasana hening terjadi.

"Zayn?"

"Hmm," Zayn menoleh, mendapati mata hijau cerah Zoe yang menatapnya dalam. Hening sejenak, membiarkan semuanya terjadi tanpa memperdulikan keduanya masih terkunci dalam pandangan mereka.

"Jika seandainya kita akan berpisah, apa yang akan kau lakukan?" Pertanyaan dasar yang sering ditanyakan anak usia empat tahun kepada sahabat - sahabatnya.

Zayn mengerjapkan matanya, bulu - bulu matanya yang lentik itu pun ikut bergerak. Ia seakan mendapat timpukan batu didadanya akibat perkataan Zoe tadi. Untuk apa Zoe berkata seperti itu?

"Kenapa Zoe bertanya seperti itu?" Zayn mengalihkan pandangannya. Ia tidak mau menatap Zoe. Ia masih belum mengerti kenapa Zoe bertanya seperti itu. Apa Zoe ingin berpisah dengannya? Kalau begitu, kenapa?

"Tidak. Zoe hanya sedang berpikir. Kalau kita sudah besar nanti, apa kita harus selalu seperti ini? Bersahabat seperti ini?"

"Ya, tentu saja. Memangnya Zoe mau apa?"

Zoe berfikir sebentar. Dia menunduk malu membayangkan hal yang sedang ada di pikirannya. Dengan suara kecil, Zoe menjawab, "Aku... Akumaumenikahdenganmu, Zayn." Cicit Zoe dengan wajah sempurna memerah.

Zayn ternganga lebar. Apa ia tidak salah dengar? Lagi - lagi pikirannya melayang jauh. Mengapa Zoe tiba - tiba meminta hal seperti ini? Menikah? Mereka saja masih kecil. Ck, ada - ada saja.

Zoe juga tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Mengapa ia bisa berkata seperti itu? Zoe pun sepenuhnya tidak mengerti benar dengan kata "menikah". Ibunya pernah berkata kalau menikah adalah sebuah ikatan suci antara dua orang yang saling menyayangi. Lantas, Zoe dan Zayn berhak menikah, kan? Bukankah Zayn dan Zoe saling menyayangi, jadi mereka harus menikah, kan? Itulah pemikiran Zoe.

"Er-Tentu. Akuakanmenikahimunanti."

Seketika itu pula mata hijau Zoe bersinar terang seperti bintang dimalam hari yang sering ia lihat. "Benarkah? Janji?"

Zayn menatap jari kelingking kecil Zoe yang terarah padanya. Ia lalu memandang Zoe lagi, lalu kelingking itu lagi sampai beberapa kali hingga akhirnya jari kelingking Zayn terikat dengan Zoe.

"Janji."

Dan dengan itu, Zayn membuat janji besar untuk Zoe. Janji yang selalu diimpikan Zoe. Janji yang selalu Zoe ingat sampai kapanpun. Janji yang mungkin akan merubah segalanya...

PromiseWhere stories live. Discover now