*9 - Just Wanna See You *

93 8 0
                                    

.

.

.

Sabrina ingin menangis karena terlampau bahagia ketika mendengar penjelasan dari Devon. Kiev hanya bisa tersenyum tipis memandang perempuan bersurai kecoklatan yang kini tengah berlarian kecil menuju kamar adiknya.

"Sorry nih, Mbak Bro," sergah Devon hingga langkah Sabrina terhenti. "Buat sekarang Briano masih tidur karena pengaruh obat penenang yang gue kasih tadi. Jadi lo belum bisa nemuin dia. Mungkin sejam, dua jam lagi, adik lo bakal bangun."

Sabrina menunduk kecewa. Namun raut kebahagiaan tak luput dari wajah cantiknya. Dia ingin sekali mengabari berita bahagia ini. Tapi akan lebih baik Sabrina memberitahu mereka jika Briano sudah bangun dari pengaruh obatnya. Setidaknya hari ini Sabrina sangat lega. Tanpa sadar seulas senyum terukir di bibirnya. Pandangannya tak lepas dari wajah tampan berbentuk oval yang kini menatapnya dengan senyuman tipis.

"Are you happy?" tanya Kiev.

Sabrina mengangguk. "Absolutely yes. Ini semua juga berkat lo, kan? Terima kasih."

Kiev menggeleng. "Gue nggak berbuat banyak kok. Tuhan yang sudah menakdirkan semuanya. Lo cuma harus percaya aja, okey?"

Sabrina memutar bola matanya. Berusaha mencerna kalimat itu. Seulas senyum kembali tercetak di wajah cantiknya. "I know. Tapi gue tetep pengin beterima kasih sama lo, Dokter Moritaka."

Kiev tersenyum lalu tertawa lebar. Dia menatap Sabrina lurus-lurus. "Gue juga harus beterima kasih sama lo."

Sabrina mengernyitkan alis tidak mengerti. Maksudnya apa? Kenapa Kiev harus mengucapkan terima kasih padanya?

Kiev yang menyadari kebingungan Sabrina segera menjelaskan. "Terima kasih karena telah memanggil nama gue dengan benar."

Sabrina akhirnya tertawa saat paham apa yang dimaksudkan dokter di hadapannya ini. "Lo Jepang, kan?"

Kiev mengangguk. "Bokap Japanese, nyokap Javanese. And here i am," ucap laki-laki itu lalu tertawa. Begitu juga dengan Sabrina.

"Ehem!!!"

Devon tiba-tiba berdeham. Membuat Kiev dan Sabrina tersentak kaget. Astaga! Mereka berdua asyik berbincang dan melupakan kehadiran dokter tengil itu.

"Well, kayaknya gue harus pergi. Ada jadwal visit pagi ini," Devon berusaha menahan tawa ketika melihat wajah mereka yang memerah malu. "BangKe, urus pasien lo baik-baik ya! Dia habis ngamuk tadi. Dan buat lo Mbak Bro," Devon mengedipkan matanya. "Semoga kita ketemu lagi. Bye!"

Dan hal itu membuat Kiev melotot. Berani-beraninya bocah itu menggoda Sabrina! Dasar! Sabrina hanya menggeleng geli memandang punggung Devon yang menjauh.

"Lucu ya dia," ucap Sabrina pada Kiev.

Kiev menggeleng keras-keras. "Nggak! Nggak lucu sama sekali!"

----O----

Hari ketiga setelah kesadaran Briano tak banyak hal yang berubah. Laki-laki itu kembali berteriak-teriak dan mengamuk. Bahkan gelas yang dibantingnya terus bertambah. Dia terus memaksa untuk bertemu Carissa di tengah kondisinya yang belum membaik.

Bahkan hari ini ketika Alena datang memeriksa kamar Briano lagi—seperti hari biasanya. Laki-laki itu masih meraung dan mengusirnya. Alena nyaris berteriak ketika sebuah serpihan
pecahan gelas menyambar kakinya.

"Kembaliin cewek gue sekarang!" teriak Briano pada Alena.

Alena maju dengan sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur untuk sarapan pagi Briano. "Udah waktunya sarapan! Berhenti banting-banting barang yang ada disini! Lo harus makan! Bahkan perut lo belum keisi dari kemarin!"

Diamond PastDär berättelser lever. Upptäck nu