Lelah

6.1K 263 3
                                    

Apa?!

Cukup di benak kutahan rasa terkejut. Pernah berfirasat akan begini akhirnya, melihat bagaimana borosnya mereka menghambur uang, hanya tak menyangka kalau secepat ini terjadi.

Aku tetap diam menunggu ia selesai bicara.

“… aku ada cicilan besar dan tambang lagi ngadat.” Wajahnya terpasang memelas.

“Sebesar berapa kok sampai terpikir jual pabrik, Mas?”

Ia memberanikan diri menatapku. “Hutang di bank hampir milyaran, Dik … belum lagi yang pribadi, ini gara-gara aku main saham.”

“Yang online itu?” tanyaku. Ia mengangguk lemah. “Ya Allah sejak dulu aku menentang keras Mas lakuin itu. Resikonya besar.”

“Terlanjur … rumah mungkin akan disita. Sebagian isinya diambil Jumri, puluhan juta uangnya kupinjam.”

Aku menghela nafas berat. “Kalian boros sekali. Belum setahun sudah mandi hutang. Kenapa bisa kelepasan begitu?”

“Pabrik dijual juga gak akan bisa nutupin kalau begitu, Mas. Lepasin semua aset kalian. Lunasi semua, biarkan barang habis asal lepas dari pinjaman, apalagi yang berbunga. Mobil, rumah lepasin semua. Pabrik itu untuk nyari rupiah biarpun sedikit hasilnya.

“Justru itu April tidak mau lepas mobilnya. Rumah itu juga suratnya di bank, paling-paling disita tanpa harga. Sudah nunggak dua bulan ini, Dik.”

Jujur sisi hitam hatiku mau tertawa melihat memelasnya wajah suami. Ia seperti anak tertua yang meminta jajan padaku.

Kamu memang lemah atur keuangan, Mas. Tambah lagi binimu itu cuma tahu buang uang tanpa pikir berusaha. Kasihan sekali.

“Aya paham, Mas … semoga urusan Mas Danang cepat selesai. Tapi pabrik juga sedang masa sulit. Sejak permintaan menurun gaji karyawan juga menyusut, banyak yang berhenti cari kerja lain. Suratnya pun aku pakai buat nyari dana kemarin pas lagi sulit-sulitnya, jadi kurasa tidak akan ada yang tertarik membelinya. Coba jual rumah yang Mas tempati itu sebelum disita bank, sisanya kan bisa dipakai nutupi yang lain.”

Aku cuma bisa menyarankan tapi juga ragu. Mana ada orang mau membeli bangunan yang sedang bermasalah dengan bank, kecuali dengan harga rendah.

Ia mengangkat wajah lesu.

“CV Kayu kita?”

Aku menarik napas panjang. “Itu satu-satunya untuk ngebulkan dapur, biaya anak sekolah. Kasihan anak-anak kalau itu dilepas.”

“Tapi kita bisa mulai usaha lain, Dik.”

Sampai di sini tubuhku menegang, gemerutuk gigi menahan geram, darah mengalir cepat memanaskan kepala.

“Kita pernah mulai dari nol saat CV belum ada apa-apanya. Ayo kita mulai lagi. Aku sedang tertekan ditagih terus. Aku bingung, Dik ....”

Tahukah kau Mas Danang, lelaki super egois! Di saat susah kau memohon ke sini, tapi saat senang kau hamburkan dengan hujan kesenangan pada yang lain. Maaf, aku bukan tong sampahmu …!

“Mas itu dulu, kita pernah sulit dan Mas mau aku mengulangi kesulitan itu lagi?” Nada suaraku sedikit meninggi. “Ini sudah tidak ada hubungan denganku. Obrolkan baik-baik dengan April, mulailah membagi bebanmu padanya, jangan hanya membagi kesenangan. Kalian pasti bisa mulai dari nol.”

Ia menatapku sebentar lalu memandang kosong dinding.

“Apa kamu benar-benar tidak bisa membantu? Tabungan asuransi masa tua kita bukankah bisa dicairkan saja?”

“Apa? Kenapa jadi semua mau diambil? Kita ini makin tua, kesehatan kita mana tahu ke depannya.” Aku tertawa tanpa suara.

"Silakan Mas Danang buat keputusan sendiri, yang pasti aku gak sanggup berpikir yang berat-berat. Mulailah dengan istrimu itu. Ia pasti bisa diandalkan.”

DIA NODA DALAM PERNIKAHANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang