Sudah Berbeda

7.2K 264 2
                                    

[Mas ini yang beli rumah minta dikosongkan besok. Katanya mau dipakai]

Pesanku terkirim. Tampak langsung dibaca.

Ponselku tak lama berbunyi. Sudah kuduga itu telepon dari Mas Danang. 

Kutarik napas tenang. “Assalamuallaikum, ya, Mas?” suara tetap selembut biasanya.

“Apa-apaan kamu mendadak begini, Soraya? Mana bisa April pindah secepat itu? Biar yunggu dapat rumah baru dulu.”

Jadi … Mas mau beli rumah baru? Okelah kasihan juga kalau kalian harus nyewa.

“Kebetulan yang beli ini gak sabar rumahnya mau didekor, Mas. Hadiah anniversary 15 tahun pernikahan buat istri katanya. Oh ya isinya juga dibeli lho, Mas, bilang April jangan bawa apa-apa.”

“Kamu ini kenapa baru ngomong sekarang?” Ia terdengar gusar.

“Buat seorang Mas Danang nyari rumah baru itu gampang. Aku tahu Mas punya saham di Batu Bara Adyaksa, tapi aku gak permasalahkan itu, silakan saja hasilnya untuk istri baru.”

Ia terdiam. Setelah pernikahan kedua banyak hal yang terkuak. Bisnis join Mas Danang dengan teman-teman lain, yang dulu mereka sembunyikan satu persatu mereka buka. Dulu takut aku sakit hati atau meminta cerai, tapi melihatku bisa tenang menikahkan suami mereka sepertinya percaya kalau aku bisa terima.

Ya, menikahkan memang lebih berat, dibanding tahu pintarnya ia sembunyikan sesuatu di belakangku. Menyadarkan diri tak cukup dalam mengenal sosoknya walaupun puluhan tahun bersama. Begitulah manusia, tak mudah terselami apa yang direncanakan dan dipikirkan.

“Soal itu maaf, Dik ... sebenarnya mas mau jujur tapi lupa.”

Senyumku mencuat. Bagaimana bisa terlupa, bukannya aku istrimu sejak lama?

“Gak ada yang perlu dimaafkan, Mas Danang. Aku sudah lebih dari bahagia, nggak pengen apapun yang lain.”

Kami mengakhiri panggilan karena ia harus segera mencari rumah buat April. Begitulah sekarang, seminggu pasca menikah lagi harinya banyak di sana. Kalaupun ke sini hanya sebentar, sempat minum, dan meyapa anak-anak sepulang sekolah. Sekadar berbasa-basi.

Bulan madu memang masih sangat manis, mungkin sayang ia lewatkan. Aku paham itu.

*

“Ma apa boleh aku nginap di rumah kak April?”

 Terdengar ragu Denok bertanya begitu. Aku yang tengah melihat surat kerjasama dengan perusahaan pengolahan kayu lekas menyingkirkan berkas ke sisi meja, menatap wajah anakku yang terlihat segan.

Senyum kuberikan, lalu menyentuh pipinya lembut. “Boleh aja, Sayang. Kenapa enggak, Ayah kan juga ada di sana.”

Matanya berbinar senang, tapi terasa menggores silet di dalam dada.

“Makasiih, Ma. Mama baiiik banget!” Tubuhku dipeluk dan pipi ini diciumnya gemas.

Gadis manja kelas 2 SMP itu segera menelepon seseorang sambil berjalan ke kamar.

“Kak April Mama bolehin. Jemput aku, ya! Oh Ayah? Oke, Kak, aku siap-siap dulu.”

Udara terasa sulit kuhela. Denok … masih begitu akrab dengannya.

DIA NODA DALAM PERNIKAHANKUWhere stories live. Discover now