Keinginannya Poligami

10.9K 300 9
                                    

Aku bukan manusia super kuat, penuh sabar, dan penuh maaf. Meskipun aib ini masih kugenggam tanpa siapa pun tahu kecuali Tuhan dan dua pelakunya, aku butuh waktu mendinginkan kepala untuk tetap berpikir jernih.

“Ini, buat bayar kos. Saatnya kamu belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Aku lepas tangan terhadapmu!” tekanku pada April di kamarnya sore ini. Saat ia baru pulang dengan sangat terlambat dari kampus.

Satu juta rupiah untuk bekal ia keluar dari rumah. Masalah lain harus belajar dipikirkannya sendiri. Anak kampung tak tahu diri ini harus sadar kalau apa yang diperbuat itu salah, dan aku sama sekali tidak menerima perbuatannya.

Tak menjawab satu kata pun April mulai menyiapkan barang-barangnya.

“Mau ke mana Kak April, Ma ...?” tanya Syifa.

Lewat depan kamarnya yang terbuka lebar aku dan April saling pandang, tampak ia tersenyum pada Syifa yang memang cukup dekat dengannya hari-hari.

“Kak April mulai nanti tinggal di kos dekat kampusnya,” jawabku datar.

“Kenapa pindah, Ma? Yahh ... gak asyik, aku kan suka jalan sama kak April.”

“Syifa, ayo mama antarin lesnya. Tuh bentar lagi mulai.” Aku menunjuk jam hampir pukul 2.

Anak ketigaku itu menurut, ia gegas menyambar tas.

“Oh ya biasanya jalan ke mana aja sama kak April itu?” Di mobil aku mengorek informasi.

“Kalo pulang sekolah kadang kami mampir dulu ke rujak es krimnya Mang Adul, Ma.”

Syifa bilang kalau April yang bayar.

“Trus kalau pulang les gini kami sering sempatin juga jalan ke bawah jembatan Kahayan, Ma. Nongkrong bentar.” Syifa meringis.

Kuelus kepalanya. “Nongkrong? Ngapain aja itu? Mama belum pernah nongkrong,” ujarku setengah bercanda, meski hati ini rasanya nyeri. Sedekat itu anakku dengan perempuan perusak itu!

“Gak ngapa-ngapain, sih, cuma lihat air sambil cemilin batagor goreng. Kak April juga yang traktir. Kadang kita bareng banyak kawannya ketemu di sana. Ohya ada kawan Kak April itu mukanya mirip Kim Bum. Cakep banget, Ma!”

“Kim Bum?”

“Itu yang jadi Yi Rang di film Korea Tale Of Gumiho.”

Hah?! Aku kemudian tertawa kaku. Mungkinkah aku sudah terlalu tua, sampai tak nyambung dengan Syifa bicarakan.

“Tau cakep juga nih sekarang?” alihku menyeimbangi pembicaraan putri remajaku ini.

“Iya dong, Ma. Kalau masih suka sama lawan jenis kan artinya normal.”

Itu kalimatku dulu saat kakaknya mulai suka lawan jenis, dan diulang oleh remaja 15 tahun ini dengan semringah.

Di tengah masalah Mas Danang aku juga tengah bergelut menjaga putri-putriku yang beranjak remaja.

Sepanjang jalan kami ngobrol santai seperti biasa, tapi kali ini aku lebih banyak jadi pendengar. Dikhianati dengan seseorang yang jauh lebih muda membuatku merasa … agh tidak, aku tak perlu rendah diri. Aku masih cantik dan segar, hanya mungkin ... aku kurang paham dunia anak muda saja.

DIA NODA DALAM PERNIKAHANKUWhere stories live. Discover now