Epilog

23 1 0
                                    

"Pak saya mohon, izinkan saya untuk membawa putri anda sebentar. Anak kami menginginkan dia untuk ikut. Maaf jika terdengar lancang, tapi kami tidak punya pilihan lain."

Sepanjang menit ini ayah Dodi masih berusaha untuk membawa Nia bersama mereka. Ayah Nia masih tetap diam dan ragu akan keputusannya. Sebagai seorang ayah, tak serta-merta dia bisa membiarkan putri semata wayangnya di bawah oleh orang yang baru dikenal.

Tapi, di satu sisi beliau nampak kasihan dengan Dodi. Dia tetap kekeh ingin Nia ikut bersamanya, dan menolak pergi jika Nia tidak ikut. Walaupun orangnya tuanya bisa saja memaksa untuk tetap pergi tanpa Nia, mereka tidak ingin membuat putranya bersedih dan berakibat pada kondisinya.

"Ayah...aku mohon. Biarkan aku pergi bersama mereka. Aku tidak tega melihatnya semakin melemah seperti itu. Tenang ayah...aku akan baik-baik saja. Hanya menemaninya ke rumah sakit setelah kita kembali." Nia juga mencoba mencoba membujuk ayahnya dengan wajah sedih. Berharap sang ayah dapat lunak hatinya.

"Tapi Nia, kamu juga tidak mungkin pergi seorang diri. Lagi pula bagaimana dengan kegiatan mu di rumah, Manado itu jauh lho nak. Nanti, kita jenguk temanmu ya...sekarang ini dia pergi ke rumah sakit duluan ya...," ujar ibu merayu balik Nia yang jelas membuat Nia tidak setuju.

Gadis itu hanya bisa diam, namun ekspresinya mejelaskan isi hatinya. Dia berjongkok di samping Dodi yang terbaring. Kedua mata mereka bertemu, membuat Nia semakin tidak sanggup mata hitam yang hampir kehilangan aura itu.

"Saya mohon pak! Saya mohon! Hanya dia satu-satunya anak kami! Sepuluh tahun yang lalu, kami gagal menyelamatkan anak perempuan kami. Dan secara kebetulan wajahnya mirip, jadi mungkin anak kami bisa lebih membaik dengan kehadiran putri anda. Untuk itu, kami tidak mau gagal untuk kedua kalinya!" Ayah Dodi hampir saja sujud di kaki ayah Nia jika saja beliau tidak mencegahnya.

Tanpa semua orang sadari ibu Nia memandang ke arah dua anak itu dengan pupil membesar. Tersirat rasa takut dan menyesal yang tidak bisa diungkapkan. Perlahan dia menunduk, dan hanya diam dengan dingin.

Pipi dan lensa kacamata ayah Dodi sudah penuh dengan air mata. Melihat keadaan yang semakin kalau ayah Nia akhirnya memutuskan, "Baiklah saya akan menolong anak bapak. Saya izinkan bapak untuk membawa putri saya. Dengan catatan, saya dan istri saya juga harus ikut. Karena Nia anak kami masih anak-anak."

Mendengar hal ini wajah kedua orang tua Dodi segera cerah, mereka seperti berhasil menemukan cahaya, "Terima kasih! Terima kasih banyak pak! Saya tidak tahu lagi harus berkata apa. Tentu, memang akan lebih baik jika anda dan istrinya ikut. Sekali lagi terima kasih banyak. Maaf bila kami yang orang asing ini tiba-tiba meminta bantuan tak terduga," ujar ayah Dodi memeluk ayah Nia.

Sementara ayah Nia membalas pelukan sambil tersenyum beliau menjawab, "Tidak papa pak! Sudah sewajarnya seorang manusia menolong manusia lain yang kesusahan. Apalagi ini masalah anak!"

Nia hanya bisa tersenyum bahagia dengan keputusan ayahnya. Baginya, inilah letak kehangatan dan kebijaksanaan dari sosok laki-laki pertama yang dia sayangi ini. Nia dari sana bisa melihat Dodi yang tersenyum tipis.
.
.
.
"Nia, nak! Apakah kamu yakin dengan keputusan ini?" Ibu Nia menggenggam lengan putrinya dan menatapnya nanar.

"Ya ibu, aku yakin. Tenang saja, aku akan baik-baik saja, aku janji," ujar Nia menatap ibunya yakin, membuat beliau semakin tak rela.

Dengan penuh kesedihan ibunya memeluk Nia. Mau tak mau dia harus merelakan keputusan putrinya. Sudah selayaknya orang tua mendukung tindakan positif anaknya. Nia membalas pelukan erat ibunya, rasanya tak percaya jika ibu yang ada di hadapannya adalah ibu angkat.

Kehangatan dan kasih sayang tak perbatasannya sudah seperti wanita yang memang membawa hidup di dunia ini. Ya, Nia memang lahir dari dirinya, dia lahir dari hati wanita yang benar-benar tulus padanya. Membuat Nia berharap bisa membanggakan dan membalas budi luhurnya.

Setelah kedua ayah bahu membahu membawa Dodi ke mobil, mereka pun segera bersiap. Nia pun mendekati mobil milik orang tua Dodi dengan jantung berdebar. Dia masih sedikit canggung dan tetap berdiri sebelum ayah Dodi menyadarkannya.

"Ayo nak, masuklah! Jangan sungkan-sungkan, anggap saja kita sudah saling lama kenal," ucap ayah Dodi dari dalam, sementara ibu Dodi memandangnya dengan senyuman.

Nia masih terlihat ragu, dipandangannya Dodi sejenak, sebelum beralih pandangan ke arah mobil di mana orang tuanya berada. Terlihat ibunya dari jendela, tersenyum sembari mengisyaratkan Nia untuk masuk.

Nia pun memutuskan masuk dengan sedikit kelegaan. Dia duduk persis di samping Dodi yang masih setengah sadar. Nia perlahan tapi pasti dia mendekati kembarannya. Suara mesin mobil mulai menggema, mereka perlahan meninggalkan tempat itu menunju rumah sakit.
.
.
.
Sebentar lagi kedua anak yang telah ditakdirkan kembar itu akan kembali ke tanah kelahirannya. Tepat sebelum Dodi kehilangan kesadaran, Nia mempertemukan kepala mereka. Seolah berbagi kehangatan dan kenyamanan satu sama lain, berharap dapat terbang ke dunia mimpi bersama-sama.

Sekarang masalah yang selama ini membayangi kedua insan itu telah selesai. Namun, kehidupan akan terus berjalan, dan takdir tak kenal lelah untuk terus menguji mereka. Setelah kedua keluarga mengetahui kebenaran ini, akankah keutuhan silaturahmi tetap berjalan? Atau malah berakhir luka dan dendam yang tak bisa diobati?

Entahlah siapa yang tahu, hati manusia selalu tidak menentu. Tapi kini, kedua insan itu masih berharap agar mereka bisa tetap hangat-rukun seperti saat mereka pertama kali bertemu. Semoga saja takdir juga menyetujui keinginan mereka.

- The End -

***

The Lost Twin (First Version)Where stories live. Discover now